Bab 11. Senjata M24



Rambang kembali mengemudikan mobil yang kunaiki, melesat menuju bandara. Pukul lima dini hari, sebentar lagi matahari terbit. Semburat kemerah-merahan terlihat di ufuk timur.

“Seberapa besar keinginanmu menjadi tukang pukul, Rambang?” Aku bertanya, memecah lengang.

“Aku tidak ingin menjadi tukang pukul, Tauke Besar.”

“Bukannya bapakmu bilang begitu?”

Remaja usia delapan belas itu menggeleng, “Bapak tidak memahami cita-citaku sepenuhnya. Aku tidak ingin menjadi tukang pukul seperti dia. Aku ingin menjadi penyelesai masalah tingkat tinggi. Sekali ada masalah yang tidak mungkin diselesaikan, aku yang akan menyelesaikannya.”

Dia mengatakan kalimat itu sungguh-sungguh. Aku tahu maksud anak ini.

“Termasuk jika harus membunuh?” Salonga ikut bertanya—tertarik dengan percakapan.

“Aku tidak ingin menjadi tukang pukul seperti itu, Tuan Salonga. Dengan segala hormat, ada banyak solusi selain membunuh seseorang. Kecuali tidak ada jalan keluar lagi. Tidak selalu seorang tukang pukul itu pembunuh atau penjahat.”

“Menjadi anggota Keluarga Tong itu berarti kamu menjadi anggota bandit besar, Nak.”

“Tidak, Tuan Salonga. Pun tidak semua anggota Keluarga Tong itu jahat seperti yang disangka. Banyak orang baik yang selama ini disalahpahami sebagai penjahat. Robin Hood misalnya.”

Salonga tertawa, “Robin Hood adalah kisah fiksi, Nak. Hanya dongeng. Sementara Keluarga Tong senyata remaja sekarang yang suka membuka aplikasi Instagram.”

“Aku tahu itu fiksi, Tuan Salonga. Cerita-cerita dongeng memang fiksi, tapi inspirasi yang ditimbulkan jelas nyata. Dalam sistem dunia sekarang, pemerintah tidak bisa dipercaya, dipenuhi oleh politisi korup dan jahat. Sistem formal dan legal dunia juga korup, kapitalisme, demokrasi, itu cara jahat yang dilegalisasi. Kemiskinan dan kelaparan tetap ada di mana-mana, peperangan, ketidakadilan. Sistem itu sudah rusak. Maka boleh jadi ada alternatif lain memperbaikinya. Lewat Keluarga Tong, lewat penguasa shadow economy. Aku ingin menjadi penyelesai masalah tingkat tinggi. Seperti Si Babi Hutan.” Rambang menjawab mantap.

Aku menatap ke depan, anak ini, dia seperti lebih dewasa sepuluh tahun dibanding usianya.

“Tapi Babi Hutan sekarang sudah menjadi Tauke Besar, Nak. Dia bukan lagi orang seperti itu. Apakah kamu ingin menjadi Tauke Besar juga kelak?” Salonga tersenyum.

“Tidak, Tuan Salonga. Aku tidak tertarik. Aku hanya ingin menjadi seperti yang kubilang. Berpindah tempat, terbang kemana-mana, menggunakan seluruh kecerdasan dan ketangguhan fisik untuk menyelesaikan misi. Itu keren sekali. Menjadi seseorang yang tersenyum dibalik semua kepalsuan hidup, aku ingin menegakkan kebenaran dan keadilan.”

Bahkan sekarang Salonga menjadi terdiam. Kebenaran dan keadilan?

“Apakah Ibumu menyetujui cita-cita itu, Rambang? Bukankah Lubai bilang, dia keberatan?” Aku bertanya setelah senyap beberapa jenak.

“Iya, Ibu keberatan. Tapi dia akan memahaminya. Aku tidak dan tidak akan pernah menjadi penjahat. Ibu akan tahu itu suatu saat kelak. Aku menjadi penyelesai masalah tingkat tinggi.”

“Baik, aku tahu maksudmu, Rambang. Tapi jika Keluarga Tong menolakmu, apa yang akan kamu lakukan? Ibu-mu menyuruhmu masuk sekolah kedokteran atau teknik, bukan? Itu mungkin bisa menjadi pilihan yang lebih baik.”

“Cita-citaku sudah bulat, Tauke Besar. Aku akan membuktikan jika aku layak. Berkali-kali, berkali-kali, berkali-kali. Tidak akan pernah berhenti.” Anak itu menjawab sungguh-sungguh.

Aku mematut-matut sejenak. Menoleh ke Salonga.

“Dia cerdas, tidak diragukan lagi. Berani, tentu saja. Dan punya hati yang teguh.” Salonga santai meluruskan kaki, merebahkan punggung di jok mobl, “Matanya tajam, instingnya terlatih, dia bisa memikirkan tentang kotak pos itu. Dan jangan lupakan, anak ini persis membawa kita tiba di rumah berhantu tadi 29 menit 7 detik. Aku memeriksa timer jam-ku, aku pikir dia bermulut besar. Anak ini spesial, dia bisa jadi rekrutan berkelas bagi Keluarga Tong.”

Aku mengangguk. Membuat keputusan—yang beberapa jam kemudian kusesali.

***

“Apakah kamu tidak ingin mampir sebentar ke rumah, Bujang?” Lubai mengantarku hingga kaki pesawat jet di bandara, “Istriku ingin bertemu, dia telah menyiapkan pindang ikan kesukaanmu persis Togar memberi kabar kamu akan ke ibukota provinsi.”

Aku menggeleng, “Jika situasi lebih santai, aku bisa mampir. Aku sudah lama tidak bertemu dengan Bibi Kim. Dia selalu rajin mengirimi makanan saat aku tinggal di rumah Tauke dulu. Tapi kita sedang dalam krisis, Lubai.”

Lubai mengangguk—dia telah mendapatkan briefing dari Togar. Kabar serangan Master Dragon ke kantor pusat bank milik Keluarga Tong.

“Sampaikan salam hormatku untuk Bibi Kim.”

“Tentu, Bujang.” Lubai mengangguk, “Mari Rambang, kita bergegas membawa surat-surat itu ke Profesor sesuai saranmu. Agar Tauke Besar segera mendapatkan informasi yang dia cari.”

Tapi Rambang tidak bergerak, sejak tadi dia berdiri di belakangku.

“Ayo, Rambang. Bergegas!”

Rambang tetap diam. Lubai menatap anaknya—tidak mengerti.

“Rambang akan ikut bersamaku, Lubai.” Aku tersenyum menjelaskan.

“Astaga? Apa maksudmu, Bujang?” Lubai berseru. Ekspresi wajahnya berubah.

“Aku memutuskan mendidiknya langsung di markas Keluarga Tong. Dia akan menjadi orang penting besok lusa—bahkan seorang presiden, raja-raja akan terdiam mendengarnya bicara. Dia akan memenuhi cita-citanya, menjadi penyelesai masalah tingkat tinggi. Apa dia bilang tadi, menegakkan kebenaran dan keadilan. Cita-cita itu cocok sekali dengan transformasi dan haluan baru Keluarga Tong.”

Lubai menatapku seperti tidak percaya.

“Ini sungguhan, Tauke Besar?”

Aku mengangguk.

“Dia harus ikut denganku segera, karena masa perkuliahan telah di mulai, dia harus berangkat pagi ini juga, aku akan meminta Parwez memasukkannya di salah-satu kampus terbaik. Dia bilang, ingin belajar tentang ekonomi, lebih spesifik lagi tentang sistem keuangan dunia. Bilang Bibi Kim, dia tidak akan menjadi tukang pukul seperti Bapaknya, dia akan menjadi sesuatu yang berbeda. Semoga Bibi Kim bisa memahaminya, Rambang tidak sempat berpamitan. Dia akan sekolah setinggi mungkin, berlatih banyak hal. Aku sendiri yang akan mengawasinya. Rambang bisa pulang setiap enam bulan sekali saat liburan, melepas rindu dengan Bibi Kim.”

“Ini sebuah kehormatan, Tauke Besar. Ini sungguh sebuah—” Lubai mengusap pipinya. Dia merentangkan tangannya, memelukku erat-erat.

Juga sejenak kemudian, memeluk anaknya—yang sejengkal lebih tinggi dibanding dia.

“Jaga dirimu baik-baik, Rambang.” Lubai berkata dengan suara serak.

Rambang mengangguk.

Aku menepuk bahu Lubai, “Kamu keliru, Lubai. Dialah yang akan menjagaku. Dialah yang akan menjaga kehormatan Keluarga Tong. Generasi emas berikutnya.”

Lima menit memastikan semua baik-baik saja, aku segera menaiki anak tangga, disusul Salonga, dan terakhir Rambang. Persis seperti waktu aku dulu dijemput Tauke, Rambang juga tidak sempat berkemas dengan baik, dia hanya berangkat dengan pakaian seadanya. Kaos tipis, celana jeans, sepatu kets. Bedanya, dia dilepas dengan bahagia oleh Bapaknya, dan kapanpun dia bisa pulang menjenguk Ibunya. Dia tidak menjadi ‘anak hilang’ seperti aku dulu.

“Kembali ke markas Keluarga Tong, Edwin.” Aku memberitahu pilot.

“Laksanakan, Tauke Besar. Markas Keluarga Tong.” Edwin mengangguk, segera menyiapkan proses keberangkatan.

***

Pesawat jet lepas landas persis saat cahaya matahari pertama menyiram bandara. Cahaya itu menembus jendela, lembut membasuh wajah. Pesawat segera menuju ketinggian tiga puluh ribu kaki, membuat ibukota provinsi semakin kecil dan tertinggal di bawah sana.

Salonga memutuskan tidur sepanjang perjalanan pulang. Menutup wajahnya dengan topi cowboy—tanda tidak mau diganggu siapapun. Aku menyuruh Rambang tidur. Meski dia jelas sangat antusias, dan perjalanan ini tidak akan membuatnya tertidur. Aku dulu juga susah sekali tidur dalam perjalanan menuju ibukota provinsi, bahkan setelah seminggu di markas Keluarga Tong, jadwal tidurku kacau balau. Semua hal baru yang kulihat membuatku tidak mengantuk.

Tapi Rambang menurut, dia mengambil selimut dari kabin—seperti tahu persis tempatnya di sana, anak ini kemampuan adaptasinya mengagumkan; mengenakannya, kemudian beranjak tidur.

Aku juga merebahkan badan di kursi. Dua hari terakhir aku kurang istirahat. Tidur lelap dua jam akan efektif dampaknya. Tidak ada lagi sekarang yang bisa kulakukan terkait mencari tahu siapa istri pertama Bapak, aku hanya bisa menunggu. Semoga tumpukan surat di kotak pos itu masih bisa dibaca dan memuat informasi penting. Aku juga belum bisa menghubungi Togar bertanya kabar terbaru, atau Si Kembar dan White, ini masih terlalu pagi.

Dua jam berlalu tanpa terasa.

Aku terbangun saat mendengar lampu mengenakan safety belt dinyalakan Edwin. Beranjak duduk, menegakkan sandaran, memasang sabuk.

“Pagi, Bujang.” Salonga menyapaku di sebelah. Dia juga telah bangun.

Aroma kopi tercium pekat, aku menoleh.

“Kamu mau kopi?” Salonga menatapku, “Anak itu membuatkanku segelas kopi lezat lima menit lalu—bahkan sebelum kusuruh. Dia semangat sekali.”

Aku menoleh ke belakang, Rambang kembali dari dapur, membawa botol minuman dingin.

“Apakah Tauke Besar mau air mineral?”

Aku mengangguk, menerima botol air.

Rambang segera kembali ke kursinya, mengenakan sabuk pengaman.

Pendaratan yang mulus, pesawat jet dengan warna putih dan kelir kuning keemasan itu mendarat di bandara lima belas menit kemudian. Langsung menuju parkiran pesawat pribadi. Di bawah sana, terlihat dari jendela pesawat, tiga mobil hitam metalik telah menunggu. Enam tukang pukul dan seorang Letnan bertugas menjemputku di bandara. Aku meletakkan botol kosong. Bersiap turun.

Saat itulah, aku benar-benar tidak menyangka, belalai mengerikan milik Master Dragon telah menungguku. Hitam pekat belalai itu bergerak di atas ibukota, persisnya di atas sebuah gedung dua puluh lantai, 1.500 meter jaraknya dari bandara. Seorang pembunuh kelas dunia telah menunggu dengan sabar sejak dua jam lalu.

Pesawat telah berhenti. Lampu safety belt telah dipadamkan.

Aku melepas sabuk pengaman. Berdiri.

Persis saat aku berdiri tersebut, senjata M-24 itu telah teracung sempurna ke pintu pesawat. Pembunuh itu mengenali pesawat jet milik Keluarga Tong, dan lebih dari itu, dia tahu itu pesawat yang kunaiki. Dia bersiap menghabisiku.

Aku melangkah melewati lorong pesawat, menuju pintu yang telah dibuka oleh kopilot. Di belakangku menyusul Rambang dan Salonga.

Persis saat itu, saat melangkah tersebut, pembunuh itu telah siap memuntahkan peluru. Dia telah memperhitungkan kecepatan dan arah angin. Bidikannya telah sempurna. Teleksop di senjatanya telah meng-close up pintu pesawat yang terbuka, menunggu aku keluar.

Aku bersiap keluar dari pesawat. Menuruni anak tangga. Satu langkah lagi.

Persis saat itu, target terkonfirmasi, pembunuh itu telah melihat wajahku di teleskop, dia tidak menunggu lagi, segera menarik pelatuk senjata M24. Peluru tajam itu melesat dengan kecepatan 700 meter/detik. Tembakan yang jitu, tak meleset walau semili. Tapi takdir berkata lain, bukan aku yang tewas pagi itu, melainkan seseorang. Rambang! Dia mendadak melangkah cepat, dia memotong posisiku.

“Biarkan aku di depan, Tauke Besar.”

Aku mengangguk. Anak ini tahu persis tugas seorang anggota Keluarga Tong—bahkan sebelum diajarkan. Rambang melangkah mantap di depanku, itu prosedur resmi pengawalan. Seorang pengawal turun lebih dulu sebelum Tauke Besar.

Sedetik.

Peluru itu menembus dahinya.

Darah muncrat kemana-mana. Ke dinding, ke lantai. Tubuh Rambang terkulai jatuh.

Aku terperangah.

 “SNIPER, BUJANG!! Berlindung!” Salonga yang berdiri di belakangku berteriak.

Aku tidak perlu diteriaki dua kali, segera lompat ke belakang.

“SNIPER!!!” Letnan dan Enam tukang pukul Keluarga Tong yang bersiap menjemput di bawah segera berseru-seru melihat kejadian tersebut, empat diantaranya berlarian ke atas anak tangga, “LINDUNGI TAUKE BESAR!!” Mereka segera memasang pagar hidup di pintu pesawat.

Pembunuh itu masih mencoba melepas dua kali tembakan, mengenai tukang pukul tersebut, tapi dia tidak tahu dimana posisiku di dalam pesawat jet. Sia-sia saja melepas tembakan membai-buta. Tembakan berhenti, pembunuh itu segera membereskan peralatannya sebelum posisinya diketahui. Lengang. Entah dari mana persisnya tembakan itu berasal, ada setidaknya tiga gedung tinggi di kejauhan yang bisa melihat posisi pesawat jet.

Aku menyeka cipratan darah dari wajah.

Pagi itu, aku benar-benar tidak menyangka, pembunuh bayaran yang disewa Master Dragon telah tiba di kota kami. Dari jarak 1.500 meter, pembunuh itu mengirim kematian. Rambang tergeletak di lantai pesawat jet, bersama genangan darah. Dua tukang pukul lain terluka parah, bahu dan kaki mereka ditembus peluru.

“MEDIS!! Keluarkan peralatan medis.” Letnan berseru.

Dua tukang pukul segera membuka pintu belakang salah-satu jeep, mengeluarkan peralatan—peralatan itu selalu ada dalam mobil rombongan yang mengawalku. Dua rekan lainnya segera menurunkan Rambang dari pesawat. Tapi apalagi yang harus dilakukan, peluru itu menembus dahinya. Dia tewas seketika. Hanya dua tukang pukul lain yang masih tertolong.

Aku dan Salonga turun dari pesawat.

“Tauke Besar baik-baik saja?” Letnan bertanya.

Aku mengangguk, mengusap wajahku yang terkena cipratan darah.

Salah-satu tukang pukul memberikan tisu basah.

“Segera bawa Tauke Besar pergi!” Salonga memberi perintah.

“Pronto, Tuan Salonga.”

Aku segera menaiki salah-satu mobil jeep dengan kaca anti peluru.

Salonga ikut naik.

“Pastikan kalian mengurus peristiwa ini, bersihkan sisa-sisa kejadian, sebelum diketahui oleh otoritas bandara atau aparat. Bilang ke Edwin, segera pindahkan pesawat ke lokasi lain.”

Letnan mengangguk.

“Bawa tubuh anak itu ke markas besar. Dia akan diurus penuh kehormatan. Beritahu Togar segera, agar dia menuju titik pertemuan darurat yang akan kuinformasikan beberapa saat lagi.”

“Pronto, Tauke Besar!” Letnan sekali lagi mengangguk.

Dua mobil segera meluncur meninggalkan bandara. Satu mobil tetap tinggal di sana, menaikkan jasad Rambang dan tukang pukul yang terluka.

“Ini semua kacau balau, Bujang!” Salonga bergumam.

Aku mendengus, masih membersihkan darah dari wajah.

“Kali ini si bedebah Master Dragon benar-benar serius. Dia mengincarmu.”


“Master Dragon akan menerima pembalasannya, Salonga. Aku bersumpah. Tapi sebelum jasad anak itu dikebumikan, aku akan memastikan pembunuh bayaran itu diurus lebih dahulu, aku akan menangkap pembunuh itu. Kejadian ini…. Astaga! Apa yang harus kukatakan kepada Lubai dan Bibi Kim! Anak mereka, putra bungsu mereka meninggal pagi ini karena melindungiku.”
____________________

bersambung ke Bab 12

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bab 5. Aplikasi Keluarga Tong

Bab 13. Kondangan Raisa

Bab 14. El Padre bagian 1