Bab 14. El Padre bagian 1



Pukul tujuh pagi, setelah sarapan cepat di rumah tempatku bermalam, aku dan Salonga meluncur menuju bandara. Tiga mobil jeep hitam metalik melesat di jalan tol. Satu Letnan dan delapan tukang pukul mengawalku.

Jalanan masih cukup lengang, kami tiba di bandara tiga puluh menit kemudian, langsung menuju apron pesawat jet pribadi.

Pagi ini aku menggunakan pesawat yang berbeda—meski tetap Edwin pilotnya. Togar memutuskan merotasi pesawat agar siapapun tidak bisa menebak aku berada di mana. Mengingat pesawat ini bisa mendarat di negara-negara lain yang diluar zona pengawasan Keluarga Tong, lebih baik mengambil langkah preventif.

“Selamat pagi, Tauke Besar.” Edwin menyapaku di ujung anak tangga.

“Pagi, Edwin.” Aku mengamati sekitar, “G650ER, bukan?”

“Iya, Tauke Besar.” Edwin tertawa, “Versi extended range dari G650. Bisa terbang hingga 13.900 kilometer, dengan kecepatan maksimal hingga 0.925 Mach. Kapasitas 12 penumpang, dengan interior minimalis tapi elegan. Pesawat ini juga telah dilengkapi dengan teknologi dan alat komunikasi terbaik, termasuk kacanya, anti peluru. Pesawat ini baru dikirim oleh pabrikan beberapa hari lalu. Fresh sekali. Aku beruntung menerbangkannya secara resmi pertama kali.”

“Pesawat yang satunya?”

“Sekarang digunakan oleh corporate bisnis kapal tanker, Tauke Besar. Basisnya dipindahkan ke Singapura. Parwez yang memerintahkan. Semua bekas kejadian kemarin pagi telah dibersihkan, tidak akan ada yang tahu jika pernah ada tragedi di pesawat itu.”

Aku mengangguk, melangkah menuju kursi. Diikuti oleh Salonga.

Salah-satu tukang pukul ikut menyusul naik, dia membawa dua stel pakaian formal.

“Bagus sekali, stelan-ku telah tiba.” Salonga mengambil salah-satu pakaian tersebut, “Tapi bagaimana jika ini kebesaran? Kalian tidak pernah mengukur ukuranku.”

“Divisi urusan rumah tangga Keluarga Tong memastikan stelan ini seratus persen sesuai ukuran, Tuan Salonga.” Tukang pukul itu menjelaskan, “Mereka cukup menggunakan rekaman video misalnya dari CCTV, lantas proyeksi ukuran baju seseorang bisa dimasukkan ke dalam aplikasi Keluarga Tong. Sub-departemen Tailor akan menggunakan data itu saat menyiapkan pakaian bagi anggota keluarga.”

Salonga menoleh kepadaku.

Aku mengangkat bahu—teknologi, jaman sudah berubah, Salonga. Tidak model lagi mengukur baju dengan meteran.

Tukang pukul melangkah lagi, membawa dua stel pakaian formal itu ke ruang ganti yang ada di dalam pesawat, menggantungkannya dengan rapi di lemari kayu. Lantas dia turun.

Pintu pesawat segera ditutup, Edwin kembali ke ruang pilot.

Lima belas menit, pesawat jet dengan warna perak itu telah melesat menuju angkasa. Tujuh jam lagi tiba di Tokyo.

***

Aku dan Salonga bergantian menggunakan ruangan ganti setelah pesawat stabil terbang di ketinggian tiga puluh ribu kaki.

“Bagaimana, Bujang?” Salonga terkekeh, keluar dari ruang ganti, “Aku tidak lagi terlihat seperti penjaga toko kelontong, bukan? Atau lebih sial lagi, dianggap kurcacimu, tukang bawa koper dan keperluan.”

Penampilannya yang biasanya hanya memakai celana kain gelap, kaos oblong tipis lengan pendek, sandal jepit dan topi lebar, berubah dratis. Dia sedikit meyakinkan pagi ini. Aku ikut tertawa. Yang sama adalah, Salonga tetap menyelipkan pistol di pinggangnya—dia tidak berpisah dengan pistol.

Setelah bergaya dan mematut sekali lagi, Salonga duduk kembali di kursinya.

“Ada berapa pesawat pribadi yang dimiliki Keluarga Tong, Bujang?” Salonga melepaskan kancing jas, santai. Mencomot sembarang topik percakapan.

“Lima belas, atau dua puluh, aku lupa persisnya. Edwin yang tahu.”

“Bukan main.”

Aku mengangkat bahu, pesawat-pesawat pribadi itu memang dibutuhkan oleh Keluarga Tong untuk keperluan bisnis.

“Kamu tahu, Bujang, untuk nyaris seluruh penduduk Bumi, punya satu pesawat pribadi sudah cukup membuatnya super kaya. Kalian, Keluarga Tong, punya lima belas, bahkan kamu lupa jumlah persisnya. Tauke Besar lama dulu benar-benar berhasil membuat keluarga kalian menjadi raksasa, dari ‘hanya’ pemain di ibukota provinsi menjadi salah-satu dari delapan keluarga penguasa shadow economy. Dia terus berlari, berlari dan berlari. Hingga tidak tahu lagi garis finish-nya. Terus bekerja meski sudah terbaring sakit di atas ranjang. Apa yang dia dapatkan saat kematian datang? Bahkan dia mati mengenaskan oleh pengkhianatan.”

Aku tahu arah percakapan Salonga, dia hendak membahas tentang itu lagi, “Aku belum selesai menjawab pertanyaanmu, Salonga. Lima belas atau dua puluh itu baru pesawat jet pribadi. Keluarga Tong juga memiliki setidaknya empat ratus pesawat komersil Boeing dan Airbus di maskapai penerbangan kelas dunia yang kami miliki. Parwez punya data lengkapnya jika kamu ingin tahu.”

Salonga tertawa pelan—dia juga tahu maksud jawabanku. Sarkasme.

“Tapi lihatlah dirimu, apakah kamu pernah bermimpi tiba di titik ini saat meninggalkan rimba Sumatera, Bujang?”

Aku menggeleng. Aku hanya ingin pergi dari Talang, pergi sejauh mungkin dari Bapak. Aku tidak pernah bermimpi menjadi kepala Keluarga Tong.

“Maka semoga kamu tidak lupa atas hal itu, Bujang. Tetap membumi.” Salonga meluruskan kakinya, “Baiklah, aku tahu kamu tidak suka topik percakapan seperti ini. Lagipula, lama-lama, aku jadi mirip guru mengaji-mu itu. Ceramah ini, ceramah itu. Aku akan tidur, bangunkan jika sudah tiba di Tokyo.”

Aku mengangguk.

Pukul sepuluh pagi, aku beranjak berdiri, mengambil laptop di bagasi kabin. Saatnya bekerja. Jam-jam ini, Parwez telah mengirimkan laporan harian.

Aku segera tenggelam menyimak dokumen-dokumen yang dikirimkan oleh Parwez. Dulu ini bukan tugasku, bahkan aku tidak suka melakukannya. Setiap kali masuk ke ruang kerja Tauke Besar, aku menatap jerih tumpukan dokumen di atas meja. Belum habis dokumen itu, Mansur telah membawa lagi dokumen baru—Mansur adalah kepala bisnis legal Keluarga Tong sebelum digantikan Parwez. Entah bagaimana Tauke Besar dulu menangani semuanya, tanpa teknologi, tanpa kemudahan jaman sekarang, karena dia tetap sempat melakukan banyak hal lainnya.

Parwez memberikan catatan berwarna merah di executive summary—itu berarti penting dan mendesak kutanggapi. Itu tentang harga saham perusahaan tambang emas milik Keluarga Tong yang tumbang. Turun lima persen di bursa New York tadi malam, menyusul pemberitaan besar-besaran atas gagalnya perundingan perpanjangan konsesi dengan pemerintah setempat. Hampir semua media bisnis dan keuangan dunia menuliskan tentang itu di headline, halaman pertama. Aku membaca seluruh dokumen yang dilampirkan oleh Parwez, menimbang situasinya, baru kemudian menuliskan perintah: “Temui kepala negara tersebut bersama Togar, gunakan kartu truf pemilihan presiden enam bulan lagi. Jika dia tidak bersedia memuluskan deal baru, kita akan mencari kandidat presiden lain yang bersedia.” Aku meng-klik pesan. Send. Di negara-negara berkembang, partai politik, jabatan, kekuasaan tidak lebih adalah mata pencaharian kelompok tertentu. Politisi hanyalah srigala rakus yang memakai topeng seolah baik—mereka bukan patriot, juga jauh dari idealis, uang adalah segalanya bagi mereka. Urusan konsesi akan selesai jika kami serius akan mendukung kandidat presiden lainnya.

Parwez juga mengirimkan beberapa catatan lain, tapi tidak terlalu penting. Seperti keterlambatan produksi pabrik otomotif di Thailand, dan atau dua kapal kami terlambat melintasi Samudera Hindia. Itu isu bisnis biasa, dia bisa menyelesaikannya dengan mendelegasikan ke staf senior.

Satu jam berlalu, hampir semua telah kuperiksa, termasuk dokumen yang harus kutanda-tangani secara online, aku hendak melipat laptop, saat suara beep pelan terdengar. Itu pertanda ada pesan masuk. Aku mengurungkan menutup laptop, meng-klik pesan itu. Dari Lubai.

“Bujang, berikut aku kirimkan hasil awal dari restorasi dokumen di kotak pos itu. Jika sudah ada kemajuan lagi, akan kukirimkan menyusul. Pronto.

Semoga sesuai dengan yang kamu cari.

Lubai.”

Aku menghembuskan nafas. Satu, untuk Lubai, yang tetap bekerja meskipun anaknya baru saja dikebumikan tadi malam. Dua, aku sudah menunggu hasilnya, ingin tahu surat apa yang sebenarnya ada di dalam kotak pos tempat Bapak dan istri pertamanya dulu menetap. 

Aku meng-klik lampiran pesan, ada foto tiga lembar surat yang ditulis tangan. Itu gabungan dari potongan-potongan kertas basah, rusak, dengan huruf samar, hilang dan terhapus. Tapi proses restorasi yang tepat membuatnya bisa dibaca kembali.

Ini jelas sebuah surat, ditulis dalam bahasa Spanyol. Aku hendak membangunkan Salonga, agar dia bisa membantu menerjemahkan—tapi orang tua itu tidur nyenyak. Meng-klik lampiran berikutnya. Tidak perlu. Profesor itu—mungkin dengan bantuan koleganya—bahkan berbaik hati telah menerjemahkan surat ini untukku.

28 Maret 1990, Cancún, Mexico, demikian tanggal dan tempat surat tersebut ditulis. Itu berarti dua puluh tujuh tahun lalu. Siapa yang mengirimkan surat ini? Bapak menikah tahun 1974, dan berpisah ditahun itu juga. Siapapun yang mengirimkannya, dia pastilah tidak tahu rumah itu telah lama ditinggalkan. Dan aku tahu Cancún, itu pantai yang indah di pesisir timur laut negara tersebut. Tempat ribuan turis berkunjung.

Aku meng-klik hasil terjemahan, memutuskan mulai membaca.

“Dear El Padre,

Berhenti sebentar. El Padre, aku tahu artinya, itu panggilan “Bapak” dalam bahasa Spanyol.

“Perkenalkan, namaku Diego.

Padre mungkin tak pernah mendengar namaku, tapi ijinkan aku memberitahu, aku adalah anak laki-laki Padre, dari seorang wanita bernama Catrina.

Aku tidak tahu apakah surat ini akan tiba di tangan Padre, dikirimkan menyeberangi Samudera Pasifik dari sebuah kota kecil di tepi pantai Meksiko, tapi aku memutuskan menuliskannya. Setidaknya, jika suatu saat Padre membacanya, Padre tahu kabar kami. Mama melarangku menghubungi Padre, tapi aku sudah cukup besar untuk memutuskan sendiri tentang ini, termasuk mengintip catatan Mamá, menyalin alamat rumah Padre nun jauh di sana. Dan menulis sepucuk surat—tidak ada yang perlu dicemaskan dari sepucuk surat, bukan? Semoga Padre masih di sana, belum pindah rumah.

Usiaku sekarang lima belas tahun, Padre. Tinggiku seratus tujuh puluh dua sentimeter.

Hari ini adalah ulang tahunku, dan sebagai hadianya, aku akhirnya tahu kisah hidupku. Mamá akhirnya menceritakannya. Kisah pertemuan Padre dengan Mamá, terus-terang itu kisah yang indah. Ijinkan aku menuliskan ulang kisah itu dalam surat ini, jika menurut Padre itu kurang akurat, mungkin Padre bisa memperbaikinya.

Kata Mamá, sore itu, di suatu hari pertengahan tahun 1973, awan gelap menutup kota Singapura. Mendung, langit-langit kota yang sebentar lagi malam nampak suram. Jam pulang kerja, rush hour, jalanan macet, taksi susah sekali dicari. Mamá yang hendak pergi ke restoran tempat dia menyanyi malam itu terpaksa berdiri lama di depan hotel tempat menginap, menunggu taksi, tidak bisa kemana-mana. Setelah hampir dua puluh menit menunggu, akhirnya sebuah taksi kosong masuk ke lobi hotel. Mamá bergegas hendak menaikinya, tapi sayang seribu sayang, taksi itu sudah dipesan tamu hotel lainnya.

“Maaf Señorita,” Petugas hotel buru-buru dengan sopan memberitahu Mamá, “Taksi ini sudah ada yang memesannya.”

Secara bersamaan, seorang pemuda gagah, mengenakan tuksedo rapi, sepatu disemir mengkilap, membawa payung besar, melangkah keluar dari lobi.

“Tapi saya harus bergegas—atau akan terlambat.” Mamá keberatan, tetap masuk taksi.

“Maaf Señorita, yang memesan taksi juga sudah menunggu sejak tadi.”

Pemuda yang memesan taksi itu berdiri di belakang petugas hotel. Pintu taksi masih terbuka, Mamá yang duduk di dalamnya menatap pemuda itu, meliriknya sekilas—tidak peduli.

“Dia bisa menunggu taksi berikutnya.” Mamá jelas tidak mau mengalah, berseru dalam bahasa Spanyol, “Urusanku lebih penting dibanding dia. Seratus orang menungguku tampil di restoran ternama kota ini. Dia paling hanya hendak berkeliling, turis, atau orang kaya baru. Berlagak parlente dengan membawa payung padahal belum hujan.”

“Señorita—” Petugas hotel menoleh ke belakang, menjadi serba-salah.

“No hay problema.” Pemuda itu tersenyum, menjawab dengan bahasa Spanyol yang lancar, “Dia boleh menaiki taksi ini. Aku akan menunggu yang berikutnya.”

Bagus. Mamá menutup pintu. Menyuruh sopir taksi segera melaju.

Tapi jendela kaca lebih dulu diketuk dari luar, sopir mengurungkan menginjak pedal gas.

Apa? Mamá menoleh.

Pemuda itu menyuruh Mamá menurunkan jendela kaca mobil.

Mamá menurunkan jendela kaca. Apalagi? Orang ini mau berkenalan? Bertanya namanya? “Payungnya, Señorita.” Pemuda itu menjulurkan payung, “Aku yakin, hujan akan turun sebentar lagi. Jika hujan, membawa payung akan membuatmu lebih mudah keluar masuk dari mobil.”

Payung?

Mamá jelas enggan menerimanya—dia paling malas berurusan dengan pemuda seperti ini, dia hafal kelakuan pemuda model ini. Play boy. Tapi sepertinya sopir taksi tidak akan melaju sebelum dia menerima payung tersebut. Mamá cepat mengambil payung itu, meletakkannya sembarang di bawah kaki, menyuruh sopir segera jalan.


Kata Mamá, sambil tersenyum mengenang kejadian itu, menceritakannya kepadaku, pemuda itu adalah Padre. Itulah pertemuan Padre dengan Mamá.

Waktu itu, Mamá telah menjadi penyanyi soprano di Spanyol. Usia Mamá dua puluh lima, cantik, terkenal, dan sering diundang menyanyi ke berbagai negara. Hari itu dia mendapat undangan menyanyi di acara restoran ternama Singapura. Pemilik restoran mengundangnya, merayakan tahun ke-2 beroperasinya restoran tersebut. Banyak orang penting hadir di acara makan malam itu, meja-meja dipenui oleh tamu, mereka harus reservasi sebulan sebelumnya, tak ada kursi yang tersisa.

Acara malam itu dimulai setiba Mamá di sana. Tuan Herge, Duta Besar Spanyol untuk Singapura, membuka acara, mewakili tuan rumah yang terlambat datang. “Malam ini spesial sekali, kota kita mendapatkan kehormatan didatangi seorang penyanyi soprano ternama dari Spanyol. Masih muda, dan masih lajang, hadirin, mari berikan tepuk-tangan yang meriah kepada Catrina.”

Acara malam itu berjalan sempurna. Mamá membawakan delapan lagu—termasuk favorit Mamá, Historia de un Amor dan Bésame Mucho, menyapa pengunjung yang mulai menghabiskan makan malam. Pelayan hilir mudik membawa piring-piring makanan. Berkali-kali tepuk-tangan memenuhi ruangan setiap kali Mamá selesai menyanyikan satu lagu. “Bravo! Bravo!” “Olé! Olé!” Teriak pengunjung.

Sementara di luar restoran, hujan turun deras sejak tadi. Jendela kaca restoran nampak basah oleh butir airnya. Satu setengah jam berlalu, acara makan malam akhirnya usai, tamu undangan mulai meninggalkan restoran satu-persatu. Menyisakan satu-dua yang masih mengobrol santai, memberikan selamat, sementara koki dan pelayan gesit merapikan restoran.

“Tadi bagus sekali, Catrina.” Istri Duta Besar Spanyol lembut memegang lengan Mamá, “Dan gaun yang kamu kenakan, indah sekali.”

Mamá mengangguk, “Terima kasih, Señora.”

Beberapa tamu lain juga mengucapkan selamat, menyalami Mamá.

“Ah, akhirnya pemilik restoran ini muncul.” Tuan Herge, Duta Besar Spanyol berseru ke seseorang yang mendekat.

Mamá menoleh. Dan dia langsung mematung.

“Selamat malam, Tuan Herge, malam, Señora.”

“Kemana saja kamu, Don Samad? Kamu tidak mendengarkan pertunjukan tadi—astaga, padahal kamu yang mengundangnya?”

“Aku mendengarkannya, Duta Besar.” Orang yang dipanggil Samad menjawab, “Tapi aku duduk paling pojok, di satu-satunya kursi yang tersisa kosong. Aku datang terlambat, susah sekali mencari taksi saat rush hour di kota ini.”

“Catrina, ini Samad, pemilik restoran.” Istri Duta Besar memperkenalkan pemuda yang baru saja datang, “Dia yang punya ide mengundang penyanyi dari Spanyol. Mengontak suamiku, agar mengurusnya. Lantas aku menghubungimu Catrina, memintamu terbang ke sini. Samad adalah sahabat yang menyenangkan.”

Pemuda itu mengangguk takjim. Sementara Mamá masih mematung.

“Eh, kalian sudah saling mengenal?”

Pemuda itu mengangguk lagi, “Sudah. Sebenarnya, eh, dia yang membuatku terlambat datang.”

Wajah Mamá merah-padam seperti kepiting rebus. Mamá tidak menduga jika pemuda ini adalah pemilik restoran yang mengundangnya. Suasana canggung.

“Ah, aku sepertinya bisa menebak apa yang terjadi.” Tuan Herge tertawa, melambaikan tangan, “Kesalahpahaman, bukan? Catrina memang tidak menyukai pemuda yang berlagak di depannya. Itulah kenapa dia masih lajang hingga hari ini, Samad. Dia membenci laki-laki, menjaga jarak, kasar atau bahkan dalam level tertentu, dia membenci istilah ‘jatuh cinta’ itu sendiri.”

Istri Duta Besar ikut tertawa, “Tapi Catrina, Samad adalah sahabat yang menyenangkan, dia tidak sedang berlagak, sok akrab apalagi sok ramah. Dia memang seorang gentlemen sejati, pemuda flamboyan. Bad boy. Itulah gaya aslinya, tidak dibuat-buat.”

“Pujian yang baik sekali, Señora,” Pemuda itu tertawa, “Kalau begitu aku akan meminta manajer restoran mengirim kupon diskon makan malam gratis selama seminggu ke depan.”

“Hei, pujian itu bernilai lebih dari itu. By the way, kapan kamu tiba di Singapura?”

“Tadi siang, Señora.”

“Samad bukan penduduk Singapura, Catrina. Dia datang dari negera tetangga. Dia sering ke sini untuk satu-dua urusan. Bisnis. Aku bertemu saat mempertemukan dia bersama Tauke Besar dengan pembuat kapal kargo dari Spanyol. Menjadi teman dekat sejak itu. Karena sering ke sini, Samad tertarik membeli satu-dua properti, salah-satunya restoran ini. Hotel tempatmu menginap juga milik Tauke Besar, kolega bisnis Samad.”

Percakapan itu berjalan hangat antara Pemuda itu dengan Tuan Herge dan istrinya, tapi tidak untuk Mamá, wajahnya masih kaku walau untuk tersenyum tipis.

Lima belas menit bercakap-cakap ringan, Duta Besar dan istrinya berpamitan pulang.

“Apakah kamu mau ikut mobil kami, Catrina? Itu satu arah dengan rumah, sopir bisa mampir sebentar mengantar ke hotel.” Duta besar Spanyol bertanya.

Mamá mengangguk. Di luar masih hujan deras, mencari taksi akan semakin susah.

Pemuda itu mengantar hingga pintu restoran.

“Selamat malam, Samad. Sampai bertemu lagi.” Duta Besar melambaikan tangan, salah-satu pelayan mengembangkan payung, membantu pasangan itu naik ke atas mobil.

Tiba giliran Mamá naik ke atas mobil, pemuda itu sendiri yang mengembangkan payung hitam besar miliknya.

“Mari, Señorita. Ijinkan orang kaya baru ini mengantar ke mobil.” Pemuda itu tersenyum, “Aku tahu, Señorita meninggalkan begitu saja payung yang kuberikan sebelumnya di taksi. Tapi tidak masalah, aku masih punya banyak payung lainnya.”

Mamá hendak menolaknya. Wajahnya ketus. Tapi jelas tidak mungkin dia berlarian ke mobil, jaraknya memang hanya dua meter, tapi hujan sederas ini tetap membuat gaunnya basah kuyup. Pelayan restoran lain juga tidak beranjak hendak membantu—membiarkan Pemuda itu yang melakukannya.

Di bawah butir air hujan deras, malam itu, Mamá akhirnya melangkah berdua berpayungan dengan Pemuda itu. Hanya sebentar, tapi momen itu sangat spesial.

Padre, saat menceritakan kejadian tersebut kepadaku, wajah Mamá terlihat begitu bahagia. Aku belum pernah melihatnya sebahagia tersebut—meski beberapa saat kemudian wajahnya kembali murung tanpa sebab. Malam itu, kata Mamá, dua kehidupan yang amat berbeda mulai bertemu dalam sebuah jalan cerita. Untuk esok-lusa, ternyata harus bertemu persimpangan penting. Sayangnya, Mama tidak mau bercerita lagi meski telah kubujuk-bujuk setengah mati.

Apakah kisah itu sama seperti yang diingat oleh Padre? Atau lebih indah dibanding itu? Semoga Padre sempat membaca surat ini. Di sini sudah larut pukul satu malam, aku harus segera tidur, besok aku ada ujian nasional kelas Sembilan. Aku berharap, besok-besok, Mamá akan kembali menceritakan tentang Padre. Aku berjanji akan mengirimkan lagi surat lainnya setiap kali mendengar kisah tersebut.

Buenas noches, Padre.

Dari anakmu, Diego

Aku menghela nafas. Bergegas menggerakkan mouse, hendak meng-klik halaman berikutnya dari terjemahan surat tersebut. Tapi tidak ada lagi; surat itu telah habis. Hanya ada catatan kecil di halaman terakhir: ‘Sementara baru surat ini yang berhasil diselamatkan. Kami sedang berusaha melakukan restorasi surat-surat berikutnya, jika telah ada kemajuan, akan segera kami kirimkan, a.s.a.p.’
___________________

bersambung ke Bab 15

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bab 5. Aplikasi Keluarga Tong

Bab 13. Kondangan Raisa