Bab 5. Aplikasi Keluarga Tong
Enam jam berlalu di atas Samudera Pasifik lebih lengang.
Salonga beranjak tidur setelah bercerita, bilang tubuh tuanya butuh
istirahat, kehilangan selera membahas lebih lanjut kisah masa lalu itu. Saat
Yuki dan Kiko terus kepo bertanya, Salonga menutup wajahnya dengan topi
cowboy-nya—tanda tidak mau lagi diganggu. Si Kembar berseru kecewa, persis
seperti dua anak kecil yang kehilangan dongeng pengantar tidur.
Tidak tertarik mengobrol dengan Si Kembar, White pindah ke kursi
depan, dia membersihkan peralatan marinirnya, serta senjata AK-47, mengelapnya
sepenuh jiwa—seperti sedang merawat kucing kesayangan. Senjata itu favorit,
White mendapatkannya saat bertugas di Irak, sebelum pensiun dini membuka
restoran di Hong Kong. Si Kembar, bosan, tidak ada lawan bertengkar, tidak
mengantuk, dan sungkan mengganggu tidur Salonga, mereka pindah ke kursi
belakang, membuka gadget, sepertinya bermain game online berdua—mungkin Candy
Crush atau CoC, mengisi waktu, masih beberapa jam lagi kami mendarat di Hong
Kong.
Aku meniru teladan Si Kembar, mengambil laptop dari bagasi kabin.
Pesawat jet ini tersambung dengan internet kecepatan tinggi, ada banyak
pekerjaan yang harus kulakukan, dimanapun dalam kondisi apapun. Jaman sudah
berubah, tidak seperti Tauke Besar sebelumnya yang mendapatkan laporan
pekerjaan secara lisan di ruangan kantornya, atau menunggu kiriman dokumen, aku
telah lama menggunakan beberapa aplikasi khusus Keluarga Tong. Terlindungi oleh
enkripsi tingkat tinggi, seluruh urusan bisnis Keluarga tersambung di sana.
Setiap anggota Keluarga memiliki username dan password sesuai level akses
masing-masing.
Cerita Salonga barusan sebenarnya membuatku berpikir banyak—itu benar,
tapi tidak ada waktu untuk bersikap sentimentil, aku mengklik layar laptop. Ini
sudah pagi di kotaku, Parwez seharusnya telah mengirimkan laporan harian.
Ah, buat kalian yang belum tahu siapa Parwez, dia adalah CEO alias
Direktur Utama, pimpinan tertinggi seluruh bisnis legal Keluarga Tong.
Setidaknya ada empat puluh perusahaan raksasa, mulai dari bisnis retail,
perbankan, keuangan, manufaktur, otomotif, penerbangan, perkapalan, semua ada
di bawah kendali Parwez. Tauke Besar dulu mengangkat Parwez dari Panti Asuhan
saat usianya empat belas tahun, keturunan India. Tauke terpesona melihat
kejeniusannya—semuda itu Parwez mengalahkan seorang Grand Master dalam
kompetisi catur internasional. Dia pintar, berbakat, berani dan amat setia.
Tambahkan, Parwez tidak menyukai kekerasan, tak sekalipun Parwez memukul—bahkan
memukul seekor lalat. Tauke menyekolahkannya setinggi mungkin, melatih insting
bisnisnya, menyiapkannya sebagai salah-satu anggota Keluarga Tong paling
penting. Melengkapi puzzle masa depan Keluarga Tong.
Aku menatap layar laptop, membuka laporan dari Parwez. Pertama-tama
memperhatikan harga saham perusahaan Keluarga Tong di berbagai bursa seluruh
dunia. Juga kurs mata uang, bursa komditi berjangka, memperhatikan grafik
dengan cepat. Dilanjutkan membaca executive summary. Isu-isu terpenting,
masalah yang belum diselesaikan, dan konsen lainnya terdaftar di situ, ada dua
puluh poin. Tidak ada yang penting, business as usual. Tapi baik ada satu yang
menarik perhatian, aku menandai tentang rencana penandatanganan MOU pembelian
190 pesawat udara komersil di Paris langsung dengan Presiden negara tersebut,
aku menulis komentar di situ: “Pastikan si Rusdi mengingatkan posisi Keluarga
Tong dalam pembicaraan empat mata dengan Presiden. Sekaligus bilang ke Rusdi,
sempatkan bertemu dengan Keluarga Liliane Arnault, penguasa shadow economy Perancis.
Bilang, aku Bujang, Tauke baru Keluarga Tong mengirim respek dan penghargaan.
Aku akan menyempatkan berkunjung ke mansion mereka suatu saat, balasan atas
kunjungan mereka beberapa tahun lalu ke Tauke sebelumnya.” Aku menekan tombol
klik, pesan itu langsung melesat dalam aplikasi, tiba di layar Parwez jika dia
sedang memegang gadget sekarang.
Masih ada beberapa isu yang harus kutanggapi, termasuk mendelegasikan
tugas ke beberapa anggota keluarga lainnya. Meminta informasi tambahan, cross
check, serta keputusan-keputusan lain. Juga menyetujui beberapa dokumen secara
online. Dulu aku tidak menyukai pekerjaan administrasi seperti ini, aku lebih
menyukai menjadi penyelesai konflik tingkat tinggi Keluarga Tong. Tapi posisi
baruku memaksa hal tersebut. Aku Tauke Besar, muara semua urusan administrasi
ada di tanganku.
Karena jaman sudah berubah, sejak aku berkuasa di Keluarga Tong, aku
mengubah banyak pendekatan bisnis. Kami bukan lagi Keluarga penguasa shadow
economy yang kuno dan feodal. Kami telah menggunakan sistem yang lebih canggih.
Pun, semua anggota dinilai dari kinerjanya, reward and punishment, jenjang
karir mereka jelas, dan bukan lagi seseorang yang paling jago berkelahi, paling
besar, paling menakutkan punya kesempatan promosi terbaik, melainkan yang
bekerja dengan otaknya. Tapi promosi tidak berlaku jika hanya pintar, sementara
tekadnya lembek. Di Keluarga Tong, semua orang harus memiliki keberanian,
courage. Menjadi keuntungan terbaik jika seseorang memiliki semua aspek itu,
otaknya brilian, hatinya berani, ototnya juga terlatih.
Mataku berhenti sejenak ke sebuah lampiran file berukuran besar.
Mengklik file tersebut. Parwez akhirnya mengirimkan rancangan pembangunan kota
satelit di dekat ibukota. Desain yang bagus, dikerjakan oleh firma arsitektur kelas
dunia. Itu proyek mega rakasasa, menguasai lahan nyaris tiga ribu hektare, dua
puluh tahun setelah selesai kelak, kota satelit itu bisa menampung lima juta
penduduk sekaligus pusat perdagangan baru, dan markas baru Keluarga Tong. Dari
luar proyek tersebut memang dikerjakan oleh perusahaan resmi, developer
ternama, tapi sebenarnya itu milik Keluarga Tong. Penghuni, pemilik rumah,
gedung perkantoran, dan fasilitasnya tidak tahu-menahu—dan memang sebaiknya
mereka tidak perlu tahu. Hei, siapa yang mau tinggal di kota satelit milik
mafia? Tidak ada. Termasuk tidak akan ada yang mau menabung di bank terbesar,
jika tahu bank itu sejatinya milik keluarga penguasa shadow economy.
Satu jam berlalu tidak terasa.
Aku mengusap wajah, melemaskan tangan, meluruskan kaki.
Menyibukkan diri seperti ini tidak terlalu efektif. Aku memang bisa
melupakan sejenak cerita Salonga, tapi tetap saja kepalaku memikirkan banyak
hal. Siapa yang tahu kisah itu lebih detail? Siapa yang bisa mengonfirmasi
bahwa Bapak memang pernah menikah sebelum pulang ke Talang? Siapa? Itu
pertanyaan terbesarnya. Memantul-mantul di kepalaku. Tauke Besar telah
meninggal tidak bisa kutanya-yanya, dia jelas pasti tahu tentang itu. Atau
Kopong, dia adalah kawan dekat Bapak, yang menemani Bapak pulang melamar Mamak
adalah Kopong, tapi Kopong juga telah meninggal. Siapa yang masih hidup dan
tahu kejadian tersebut? Apakah ada jejaknya, catatan, tempat yang bisa
kukunjungi. Aku menyisir rambut dengan jemari.
Suara ping pelan terdengar dari laptop.
Itu dari Parwez. Dia barusaja mengirim pesan. Aku meng-klik pesannya.
“Aku sudah bilang ke Rusdi tentang perintahmu. Dia akan
melaksanakannya. Btw, Bujang, apakah kamu jadi menghadiri pernikahan putra
bungsu Keluarga Yamaguchi dua hari lagi di Tokyo? Mereka tetap akan membuat
resepsi besar.”
Aku menatap layar laptop. Mematut-matut. Undangan itu, sudah aku
terima sejak seminggu lalu. Keluarga Yamaguchi adalah salah-satu dari delapan
keluarga penguasa shadow economy, dan terhitung dekat dengan Tauke Besar
sebelumnya—mereka lebih menyukai Keluarga Tong dibanding Master Dragon. Persis
menerima undangan tersebut, aku menelepon langsung Yamaguchi, mengucapkan
selamat sekaligus menyarankan agar acara pernikahan itu dilakukan tertutup
mengingat perkembangan situasi, tapi itu pernikahan terakhir di keluarga
mereka, putra bungsu, istri Yamaguchi tidak akan sependapat denganku.
Baiklah, aku menulis jawaban. Aku akan menghadirinya.
Ping. Parwez mengirim pesan lagi: “Bagaimana dengan misi di Meksiko?”
Aku kembali mengetikkan jawaban.
“Baik, Bujang. Hati-hati di perjalanan. Aku akan mengabarimu jika ada
informasi baru kalau benda tersebut dijual di pasar gelap. Kita akan tahu.”
Parwez meninggalkan percakapan.
Percakapan kami juga menggunakan aplikasi khusus Keluarga Tong,
tampilan, fitur, sama seperti aplikasi pesan yang dimiliki banyak orang. Juga
bisa mengirim selfie—jika itu penting sekali dilakukan. Tapi bedanya, aplikasi
ini dibentengi sistem keamanan terbaik, tidak akan ada yang bisa mengintip
percakapannya. Keluarga shadow economy yang bisa mengintip percakapan seluruh
dunia, bukan sebaliknya. Sudah lama Keluarga Tong berinvestasi di programmer
terbaik dunia, aku bahkan sedang menyiapkan membentuk divisi tersendiri, dengan
kepala divisi khusus. Masa depan pertarungan antar keluarga shadow economy ada
di teknologi, bukan pisau atau pistol. Benda anti serangan siber yang dicuri
salah-satu bagian dari proyek jangka panjang tersebut.
Aku menutup laptop, masih beberapa jam lagi kami mendarat di Hong
Kong. Saatnya aku istirahat sejenak. Meletakkan sembarang laptop di kursi
sebelah.
Persis aku bersiap memejamkan mata, telepon genggamku berbunyi.
Itu jalur yang sangat penting serta mendesak. Karena aku sekarang
adalah Tauke Besar, maka hanya ada satu orang yang bisa meneleponku dalam situasi
seperti ini, Togar—bahkan Parwez hanya bisa mengontakku lewat aplikasi.
Siapa Togar? Struktur Keluarga Tong ramping dan mudah dipahami. Di
bawahku hanya ada dua orang, Parwez dan Togar. Jika Parwez mengurus bisnis
legal, maka Togar adalah kepala tukang pukul, mengurusi kekerasan—posisi yang
dulu ditempati oleh Bapakku Samad, kemudian digantikan oleh Kopong, lantas
digantikan lagi oleh Basyir. Togar memimpin tiga puluh Letnan serta seribu
tukang pukul Keluarga Tong yang tersebar di banyak tempat. Mereka tidak lagi
seperti preman jaman dulu, mereka membaur di banyak titik strategis bisnis
Keluarga Tong. Terlihat seperti karyawan biasa, tapi sejatinya tukang pukul
terlatih.
Dan mengisi posisi kepala tukang pukul bukan perkara mudah. Selain
paling kuat, paling lihai, dan paling setia diantara kandidat lain, posisi itu
harus direbut melalui ritual Amok. Ratusan tukang pukul berkumpul di sebuah
lapangan luas, atau pantai, lantas kandidat akan menghadapi semua tukang pukul
dengan tangan kosong di sana. Saat teriakan “Amoook” terdengar, perkelahian
massal dimulai, satu melawan ratusan. Jika dia tetap berdiri setelah enam puluh
menit atau lebih, resmi sudah dia menjadi kepala tukang pukul. Togar tidak
melewati ritual Amok biasanya, dia bersisian bersamaku menghadapi Basyir
beserta tukang pukul pengkhianat lainnya. Selama satu jam lebih dia gigih
menahan serbuan di bawah gedung—hidup mati, itu lebih dari cukup sebagai
pengganti Amok, aku mengangkatnya sebagai kepala tukang pukul. (Kisah ini ada
di Novel PULANG).
“Hallo, Togar.” Aku mengangkat telepon.
“Maaf mengganggu Tauke Besar.” Suara lantang Togar terdengar.
“Tidak masalah. Ada apa?”
“Kabar buruk, Tauke Besar.”
“Katakan.”
“Kami barusaja menemukan instalasi bom di basemen kantor pusat
perbankan kita. Aku persis sedang di lokasi bersama tim penjinak bom Keluarga
Tong.”
Aku menelan ludah. Bom?
“Seberapa besar bom-nya, Togar?”
“Cukup untuk meledakkan seluruh basemen dan membuat gedung runtuh.”
Aku menggeram. Itu berarti serius. Bom ini, tidak terlalu mengejutkan
karena kami sedang dalam krisis. Perang antar keluarga di depan mata. Cara-cara
licik seperti itu jamak terjadi. Serbuan terang-terangan, sabotase, pembunuhan,
peledakan, atau teknik menikam dari belakang.
“Segera evakuasi seluruh gedung, Togar. Keselamatan karyawan
prioritas. Cari alasan bahwa kalian sedang ada latihan pemadam kebakaran, atau
genset rusak, atau apalah. Pastikan tidak ada informasi yang bocor keluar.
Jangan libatkan pihak lain, termasuk kepolisian. Selesaikan diam-diam. Aku
tidak ingin media tahu, itu bisa merusak harga saham. Apakah Parwez sudah
diberitahu.”
“Aku segera meneleponnya setelah ini, Tauke Besar.”
“Pastikan bom itu tidak meledak, Togar.”
“Pronto, Tauke. Dan masih ada satu lagi, kabar lebih buruk.”
“Apa?”
“Kami menemukan bukti kuat di lokasi bom, jika ada Letnan kita yang
menjadi mata-mata Keluarga Master Dragon.”
Aku terdiam lagi, itu jelas kabar lebih buruk. Meski sebenarnya itu
juga lazim terjadi antar keluarga penguasa shadow economy, mereka meletakkan
mata-mata di berbagai tempat penting, termasuk keluarga lain. Keluarga Tong
juga melakukannya. Tapi ini tetap mengejutkan, karena setelah Basyir kalah,
Togar atas perintahku menyingkirkan banyak sekali Letnan dan tukang pukul yang
dicurigai bermasalah.
“Siapa Letnan tersebut, Togar?”
“Chen. Letnan yang bertugas di kantor pusat bank. Dia luput satu hal,
mungkin terlalu percaya diri akan berhasil, sidik jarinya ada di instalasi bom.
Positif itu miliknya. Kami sedang memburunya, lokasinya sudah diketahui.”
Chen. Aku mendengus, aku tahu anak itu, aku sendiri yang merekrutnya
lima tahun lalu, catatan resume-nya bersih. Pintar, menguasai bela diri, datang
dari daratan China, dan bisa berbicara dalam beberapa bahasa, “Tangkap dia
hidup-hidup, Togar. Aku akan bicara dengannya sebelum dieksekusi. Mungkin itu
berguna untuk mengetahui rencana Master Dragon lainnya.”
“Pronto, Tauke Besar. Terima kasih banyak.”
Aku menutup sambungan.
Menghembuskan nafas pelan. Urusan ini semakin serius.
“Siapa yang menelepon, Bujang?” Salonga yang duduk di seberangku telah
bangun, melepas topi dari wajah. Dia terlihat segar setelah tidur enam jam.
“Togar.”
“Nampaknya Master Dragon telah tiba di kota kalian, bukan?”
Aku mengangguk. Belalai mengerikan Master Dragon telah tiba, dia telah
terang-terangan mengirim pesan peperangan lewat instalasi bom massif tersebut.
Jika kantor pusat perbankan kami runtuh, bisnis Keluarga Tong akan terganggu,
itulah tujuan Master Dragon.
Aku berdiri, segera membuat keputusan, melangkah menuju kokpit. Lebih
mendesak aku kembali ke kota kami daripada menuju Hong Kong sekarang. Melakukan
konsolidasi di markas Keluarga Tong, bersiap atas serangan lain, melapis
pertahanan, sambil menyusun rencana pembalasan. Aku juga tidak tahu, dari
delapan keluarga penguasa shadow economy, ada berapa yang bersekutu dengan
Master Dragon melawan Keluarga Tong. Urusan lain bisa ditunda.
“Ada apa, Tuan Salonga?” Yuki menatap punggungku. Si Kembar kembali ke
kursi semula saat tahu Salonga telah bangun.
“Kenapa Bujang ke kokpit?” Kiko menambahkan.
“Perang dimulai. Begitulah.” Salonga mengangkat bahu.
Si Kembar saling tatap.
Aku di depan membuka pintu kokpit.
“Point of destination baru, Edwin. Batalkan ke Hong Kong, kembali ke
kota kita.”
Edwin menoleh, menatapku sebentar, “Baik, Bujang. Point of destination
baru.”
Dia segera menggerakkan tuas kemudi, moncong pesawat jet berubah
haluan, menuju selatan.
***
___________________
catatan:
1. Cerbung ini kejar tayang, ditulis siang, diposting malam. Termasuk jika sy dlm perjalanan, itu berarti cerbung ditulis di atas kereta, di atas pesawat, bahkan bila perlu di atas taksi online. Jika sy tdk sempat ngetik, boleh jadi akan ada malam tanpa postingan. Jika sy lagi senggang, boleh jd ada 2 episode beruntun satu malam.
2. Naskah ini tdk sempat edit, detail, typo, dll, semua dibiarkan begitu saja kalau sdh terlanjur diposting.
3. Kapan naskah ini diterbitkan? Sy tdk peduli lagi soal diterbitkan. Kalau kalian mau nunggu edisi cetaknya, silahkan saja ditunggu, kali2 saja diterbitkan. Mungkin 2-3 tahun lagi. Toh, tdk terbit juga bukan masalah buat penulis. Tugasnya nulis, bukan nerbitin buku.
4. Nama Bapak Bujang itu memang ada 2 versi. Samad dan Syahdan. Mau yg mana saja, tidak masalah.
5. Kemungkinan besar, sy akan memasukkan jodoh Bujang di episode2 berikutnya. Tapi cerita ini adalah novel aksi, bukan roman. Porsinya tdk akan banyak. Besok2, kalau sy memposting cerbung baru, mungkin full tentang roman. Bosan juga nulis ttg berantem melulu.
6. Pastikan kalian rajin share, tdk perlu disuruh lagi, langsung share kemana2, tag teman2nya. Kami tidak membutuhkan like dan komen, tapi SHARE. Bantu kami menumbuhkan budaya literasi. Buku mahal, dibagikan saja gratis naskahnya. Tdk ada alasan lagi malas baca. Naskahnya sdh ada di gagdet, tinggal klik klik. Drpd melototin selfie dan foto2 lain tdk ada habisnya, mending baca, dpt pengetahuan baru.
____________________
bersambung ke Bab 6
Komentar
Posting Komentar