Bab 3. La Llorona
“NO TE MUEVAS!” Salah-satu agen Secret Service Amerika Serikat dengan
rompi anti peluru berlarian masuk ke dalam gudang dengan pistol teracung,
diikuti oleh perwira polisi Meksiko bersama belasan anak buahnya, juga menyerbu
masuk. Cahaya senter besar mengarah kesana-kemari, membuat terang gudang.
Sebagai jawaban, White menginjak gas mobil jeep kencang-kencang.
Salonga telah duduk mantap di belakang bersama Yuki dan Kiko, aku duduk di
samping White.
Mobil jeep semi terbuka yang kami tumpangi melompat, menuju pintu
belakang gudang yang tertutup, White tidak mengurangi kecepatan, dia justeru
menekan pedal gas dalam-dalam, sengaja menabraknya. Kami merunduk berpegangan
kokoh, pintu yang terbuat dari pelat aluminium tipis itu terpelanting, jeep
melesat keluar.
“Persíguelos!! DARSE PRISA!!” Agen Secret Service itu berteriak.
Tidak perlu diteriaki dua kali, sebagian besar polisi Meksiko segera
berlarian kembali ke mobil. Berlompatan memegang setir kemudi, sisanya naik
cepat.
Belasan mobil polisi segera meliuk di depan stasiun kereta, mengejar
kami. Sirene kencang kembali terdengar. Beberapa polisi tetap tinggal di
gudang, memeriksa kontainer dan puluhan sicario yang terkapar di sana.
White konsentrasi penuh mengendalikan setir, mobil jeep melintasi
tumpukan kontainer di halaman stasiun, juga beberapa gantry crane—alat bongkar
muat kontainer. White sedang berusaha mencari pintu keluar menuju jalan raya.
Karena gerbang depan stasiun telah di blokade, dia harus mencari alternatif lain.
“Arah jam tiga, Tuan Marinir.” Yuki yang berdiri berteriak sambil
menunjuk, kepalanya sejak tadi melongok keluar dari atap jeep, ikut membantu.
White membanting setir, mobil berbelok tajam, menyerempet sebuah
kontainer, membuat percik api dan suara nyilu saat dindingnya bergesekan, tapi
segera kembali ke jalur, melesat menuju titik yang ditunjuk Yuki. Itu gerbang
belakang stasiun. Ada palang penghalang—bukan masalah. Mobil jeep menabraknya
tanpa ampun, membuatnya patah dua.
Kami akhirnya berada di jalan raya, keluar dari stasiun kereta.
Pukul satu malam, jalanan kota Tijuana lengang. Mobil melesat dengan
kecepatan seratus dua puluh kilometer per jam.
“Kita kemana, Bujang?” White bertanya.
“Bandara.” Aku menjawab cepat.
“Bagaimana dengan benda yang dicuri? Orang bertopeng tadi?”
“Itu bisa diurus nanti-nanti, White. Polisi Meksiko mengejar kita di
belakang, kita tidak ingin membuat masalah tambahan dengan mereka. Meninggalkan
kota ini secepatnya adalah pilihan terbaik.” Salonga yang menjawab.
White menatapku, menunggu keputusan.
Aku mengangguk. Salonga benar.
“Aye-aye, Bujang. Ke arah mana bandara, Yuki?” White menoleh ke
belakang, mobil tiba di persimpangan.
Yuki sudah kembali duduk, cepat membuka gadget di tangan, peta kota
Tijuana, mencari rute tercepat menuju bandara.
“Belok kiri, Tuan Marinir!” Yuki balas berseru.
White menggeram, kembali membanting setir, tanpa mengurangi kecepatan.
Mobil jeep meliuk tajam ke kiri. Aku berpegangan.
Di belakang kami, belasan mobil polisi telah keluar dari gerbang
stasiun, mereka tertinggal dua ratus meter, tapi dengan cepat mengejar kami,
memangkas jarak.
Mobil jeep menuruni tanjakan, kami sekarang melintasi kawasan padat,
rumah-rumah penduduk kota Tijuana yang khas. Kota ini sepi, sebagian besar
penduduknya telah beranjak tidur, menyisakan cahaya lampu bangunan. Satu-dua
bendera Meksiko berkibar. Satu-dua toko yang buka dua puluh empat jam terlihat,
sisanya lengang. Yuki terus menuntun arah, dan White gesit mengikutinya.
Melewati sebuah katedral besar, bangunan warna-warni, mobil tiba di
ujung pemukiman, bertemu jalan layang.
“Belok kanan!” Yuki memberitahu.
White mengangguk, cekatan memutar kemudi.
“Naik ke atas, Tuan Marinir. Highway.”
White telah melihatnya, mobil jeep segera menaiki ramp jalan layang.
“Terus ikuti highway ini, Tuan Marinir, dua belas kilometer, bandara
ada di ujung jalan ini.”
White mengangguk. Dia menekan pedal gas semakin dalam.
Di belakang kami belasan mobil polisi juga telah menaiki jalan bebas
hambatan, berhasil memangkas jarak, tinggal seratus meter.
Kiko menoleh ke belakang.
“Mobil mereka semakin dekat, Tuan Marinir.”
“Tentu saja. Kita menaiki mobil four wheel, mereka membawa sedan
patroli dengan kecepatan hingga seratus delapan puluh. Mobil kita bukan lawan
sepadan di jalan bebas hambatan.” White mendengus.
“Lebih cepat, Tuan Marinir. Mobil ini seperti kura-kura.”
“Ini sudah maksimal, Kiko.” White berseru jengkel, menunjuk
speedometer.
Aku menoleh ke belakang, situasi kami genting.
“SEMUA MERUNDUK!” Aku berseru.
Salah-satu pengejar mulai melepas tembakan dari senapan mesin.
Tembakan itu mendesing di kepala, menghantam spion, melubangi dinding
jeep. Menembus kursi.
White membanting setir, membuat mobil jeep bergerak zig-zag,
menghindari tembakan.
Salonga dan Si Kembar yang duduk di belakang merunduk.
“Apa yang harus kita lakukan, Bujang?” White bertanya, di tengah kacau
balau desing peluru.
Kami harus melakukan sesuatu, atau kami akan masuk penjara Meksiko
malam ini.
“Yuki, buka kotak di belakangmu.” Aku memberi perintah.
Yuki mengangguk, dia bergerak ke belakang kursi. Tembakan dari para
pengejar tertahan, ada mobil truk besar yang menghalangi mereka.
“Keren!” Yuki tertawa kecil saat melihat isi kotak. Bazooka.
Senjata itu memang disiapkan oleh kontak Keluarga Tong di Meksiko
sebelumnya. Aku tidak tahu sicario El Pacho akan dipersenjatai apa, kemungkinan
terburuk, aku memutuskan meminta kontak Keluarga Tong juga menyiapkan artleri
berat. Boleh jadi diperlukan dalam pertempuran melawan mafia penyelundup
narkoba itu.
“Tidak ada waktu main-main, Yuki!” Aku berseru.
Yuki mengangguk, memperbaiki posisi bando hello kitty-nya, lantas
memanggul bazooka di pundaknya. Berdiri di atas jeep semi terbuka.
Jarak mobil polisi yang mengejar tinggal lima puluh meter. Mobil truk
sudah tertinggal di belakang. Para pengejar siap-siap melepas tembakan lagi.
Yuki mengarahkan moncong bazooka ke mereka.
“Bukan mobilnya, Yuki!” Aku berseru serius.
Yuki menoleh, tertawa, “Hanya bergurau, Bujang.”
Dia tahu persis harus menembak apa. Tidak ada poinnya menembak mobil polisi,
kami hanya butuh menghambat mereka, bukan membunuh polisi. Yuki mengalihkan
arah bazooka ke atas, ke pelang alias papan nama besar di atas highway yang
menunjukkan arah kota serta jarak kilometer tersisa. Setiap beberapa kilometer,
pelang itu terpasang. Itulah targetnya.
“Tembak, Yuki!” Aku berseru—sebelum kami kembali ditembaki.
Yuki menarik pelatuk bazooka. Peluru bazooka terlontar ke tiang
pelang.
BOOM!! Tiang itu hancur lebur, membuat papan nama runtuh ke atas
highway, tiang sisi satunya juga ikut patah, tidak kuat menahan beban,
bergelimpangan. Papan nama itu lebih dari cukup membuat blokade di jalan. Di
belakang kami, belasan mobil polisi yang mengejar bergegas menginjak pedal rem
saat menyaksikan pelang itu berguling di depan mereka. “CUIDADO!!” Mereka
berteriak. Terlambat, satu-dua mobil polisi saling tabrak, tidak sempat
menghindar, terbalik.
“Tembakan yang bagus, Yuki.” Kiko mengacungkan jempol.
“Yeah.” Yuki tertawa kecil, meletakkan bazooka ke kotak belakang.
White menghembuskan nafas, dia tetap tidak mengurangi kecepatan meski
para pengejar telah tertinggal jauh.
***
Lima menit.
Mobil jeep masuk ke run away bandara, berhenti persis di kaki pesawat
jet.
Tidak sempat untuk mengurus proses imigrasi, kami segera berlompatan,
segera menaiki pesawat. Dua orang kontak Keluarga Tong segera membawa mobil
jeep beserta senjata berat di dalamnya pergi, mereka yang akan mengurus
sisanya, termasuk urusan ke otoritas bandara setempat.
Edwin, pilot pesawat jet keluar dari kokpit.
“Sudah selesai urusannya, Bujang?”
“Belum. Tapi segera berangkat, Edwin. Kita menuju Hong Kong.” Aku
berseru.
“Siap, Bujang.” Edwin mengangguk, kembali masuk kokpit.
Aku menghempaskan punggung di kursi pesawat. Juga Salonga dan White.
Menyisir rambutku dengan jemari. Kemeja yang kukenakan telah kering, melesat
cepat di highway tadi membuat peluh menguap dengan sendirinya.
Si Kembar meloloskan peralatan ninja mereka, samurai, shuriken,
meletakkannya sembarang di bawah kursi. Sementara pintu pesawat jet telah
ditutup, roda pesawat mulai bergerak.
“Misi tadi berjalan buruk sekali.” Kiko bergumam, melepas bando hello
kitty, membiarkan rambutnya tergerai.
“Yeah! Seharusnya Bujang tidak perlu menanggapi pertarungan tangan
kosong. Biarkan aku menghabisi orang bertopeng tadi dengan AK-47.” White
mendengus.
Aku tidak menanggapi, meluruskan kaki.
“Dan Salonga, aku bisa menembaknya dengan mudah saat dia naik kuda.
Apa susahnya—”
“Itu tidak terhormat, White. Berapa kali harus kukatakan?” Salonga
berkata datar, “Terus terang, aku juga tidak suka dengan keputusan Bujang. Dia
selalu lebih menyukai teknik ninja Bushi dibanding menggunakan pistolku. Bahkan
aku mengusirnya dua kali dari Tondo karena dia tetap mengotot begitu, dia tetap
bebal. Tapi kesepakatan adalah kesepakatan, kamu tidak bisa melanggarnya,
White.”
White tetap mendengus—meski tidak membantah Salonga.
Aku tetap diam.
Sepuluh tahun terakhir, aku telah melakukan puluhan misi bersama White
dan Si Kembar, satu-dua diantaranya tidak berjalan mulus. Ini bukan kali
pertama. Kami pernah dihabisi saat misi di Myanmar. Waktu itu Tauke Besar
menyuruhku membereskan rekan Keluarga Tong yang berkhianat dan lari ke sana.
Misi itu berjalan kacau balau, di luar dugaan kami, militan separatis Myanmar
telah menunggu di sana—mereka yang melindungi rekanan tadi. Aku, White dan Si
Kembar terdesak di hutan lebat. Mereka juga memeriksa bandara, Edwin terpaksa
terbang tanpa kami. Hampir empat hari kami harus bergerak melintasi rimba
belantara, menggunakan perahu, berjalan kaki, menuju perbatasan menuju Thailand,
dikejar-kejar oleh militan separatis, bertemu buaya, ular. Tauke Besar terkekeh
saat melihat kami pulang dengan kondisi buruk. Misi itu gagal total.
Tapi yang tadi memang buruk sekali. White benar. Tepatnya, aku mengira
semua akan berjalan lancar, hingga mendadak semua menjadi seratus delapan puluh
derajat terbalik. Aku tidak menyangka orang bertopeng itu dengan mudah
mengalahkan teknik menghilang Guru Bushi. Dan sialnya, aku juga kehilangan
benda berharga milik Keluarga Tong.
“Siapa orang bertopeng tadi?” Yuki bertanya.
“Zorro!” White sengaja menjawab sembarang—dia masih kesal.
Yuki dan Kiko tertawa—itu gurauan yang baik setelah semua kejadian
menyebalkan.
Sementara pesawat jet telah bersiap di ujung run away. Edwin menunggu
clearance final dari Menara pengawas.
“Setidaknya kamu tidak perlu
mengkhawatirkan soal benda tadi, Bujang.” Salonga ikut bicara—dia meletakkan
topi cowboy-nya di samping kursi, “Orang itu jelas bukan suruhan El Pacho. Aku
yakin dia bekerja sendiri. Benda itu jauh lebih aman saat tidak jatuh ke
kelompok tertentu.”
Aku mengangguk.
“Situasi sekarang rumit bagi Keluarga Tong. Dengan kejadian ini, El
Pacho jelas berada di pihak Master Dragon. Kita tidak perlu lagi memastikan hal
tersebut—apalagi bertanya dengan mereka.”
Aku kembali mengangguk. Salonga sekali lagi benar.
“Sementara benda itu dibawa pergi, saatnya memikirkan langkah terbaik
menghadapi masalah lebih pelik, Bujang. Master Dragon. Kamu harus mulai mencari
sekutu melawannya, gunakan strategi lama tersebut, musuh dari musuh kita adalah
teman.”
Aku menatap keluar jendela, pesawat jet mulai terbang.
Tanpa diketahui oleh orang banyak, ada delapan keluarga penguasa
shadow economy di Asia Pasifik. Mereka adalah: Keluarga Tong—itu berarti kami,
Keluarga Lin di Makau, El Pacho di Meksiko, satu di Miami Florida, satu di
Tokyo, satu di Beijing, satu di Moskow, dan satu lagi, kepala dari seluruh
Keluarga, Master Dragon di Hong Kong. Pimpinan tunggal dari delapan keluarga.
Ada tujuh milyar penduduk di dunia saat ini, nyaris tujuh milyarnya
tidak tahu tentang fakta jika ada kelompok yang mengendalikan ekonomi bayangan
di dunia, shadow economy. Apa itu shadow economy? Itu adalah ekonomi yang
berjalan di ruang hitam. Black market, underground economy.
Kita tidak sedang bicara tentang perdagangan obat-obatan, narkoba,
atau prostitusi, atau judi dan sebagainya. Itu adalah masa lalu shadow economy,
ketika mereka hanya menjadi kecoa haram dan menjijikkan dalam sistem ekonomi
dunia (meskipun beberapa Keluarga tetap menjalankan bisnis kotor itu hingga
sekarang). Hari ini, kita bicara tentang pencucian uang, perdagangan senjata,
transportasi, properti, minyak bumi, valas, pasar modal, retail, teknologi
mutakhir, hingga penemuan dunia medis yang tidak ternilai. Yang semuanya
dikendalikan oleh institusi ekonomi pasar gelap. Mereka tidak dikenali oleh
masyarakat, tidak terdaftar di pemerintah, dan jelas tidak diliput media massa.
Mereka berdiri di balik bayangan. Menatap semua kepalsuan sistem dunia.
Dulu mungkin mereka dikenal dengan istilah mafia, yakuza, triad, tapi
hari ini tidak lagi. Mereka telah bertransformasi menjadi perusahaan multi
nasional, konglomerasi raksasa. Keluarga Tong misalnya, memiliki puluhan
perusahaan di Asia Pasifik, terdaftar di bursa saham internasional. Dua puluh
tahun terakhir, shadow economy berubah secara menakjubkan. Mengubah sesuatu
yang gelap menjadi remang, yang remang menjadi terang. Catat baik-baik: Satu
diantara empat kapal di perairan dunia adalah milik keluarga penguasa shadow
economy. Satu diantara enam properti penting di dunia adalah milik shadow
economy. Bahkan satu diantara dua belas lembar pakaian, satu diantara delapan
telepon genggam, satu diantara sembilan website adalah milik jaringan
organisasi shadow economy. Media sosial raksasa tempat banyak orang memposting
foto, status, atau aplikasi transportasi online misalnya, itu adalah milik
shadow economy¬—disamarkan lewat startup yang sesungguhnya dimodali oleh
Keluarga shadow economy. Berapa besar nilai bisnis shadow economy? Nyaris
seperempat dari GDP dunia.
Mereka bagai gurita, menguasai hampir seluruh aspek ekonomi. Ada lebih
dari enam ratus juta tenaga kerja yang bekerja di ekonomi bayangan seluruh
dunia—tentu saja, sebagian besar diantara mereka tidak menyadari sedang bekerja
di bisnis milik Keluarga shadow economy.
Delapan Keluarga yang menguasai shadow economy di Asia Pasifik berbagi
wilayah kekuasaan. Kami tidak mengganggu pemerintah legal berkuasa, dan
sebaliknya, mereka jangan coba-coba mengganggu kami. Jika ada dispute, masalah,
diselesaikan dengan pembicaraan diam-diam, dan solusi tingkat tinggi selalu
tersedia. Tapi sekali kepentingan Keluarga shadow economy diganggu oleh
pemerintah berkuasa, lihat saja, kami bisa menimbulkan prahara politik dan
ekonomi. Tidak terhitung rezim berkuasa yang tumbang oleh kami lewat rekayasa
mutakhir. Termasuk yang berkuasa puluhan tahun, mudah saja menyingkirkannya.
Untuk menjaga stabilitas, aturan main yang sama juga berlaku antar
delapan keluarga. Tidak saling ganggu, tidak saling sikut. Jika terjadi
perselisihan, Master Dragon akan membuat pertemuan di Hong Kong,
membicarakannya.
Hanya saja bisnis adalah bisnis. Di permukaan terlihat tenang, tapi di
dalamnya selalu ada gejolak. Masing-masing Keluarga juga memiliki masalah
tersendiri. Keluarga Tong misalnya, baru hitungan hari kami melewati krisis
serius. Basyir, kepala tukang pukul, yang dibesarkan puluhan tahun oleh Tauke
Besar melakukan pengkhianatan, dan dia didukung oleh Keluarga Lin yang mencoba
mencari kesempatan dalam kesempitan. Mahal sekali harga yang harus dibayar
Keluarga Tong. Puluhan anggota kami tewas, Tauke Besar juga wafat. Tampuk
kepemimpinan berganti, aku yang selama ini menjadi jagal nomor satu Keluarga
Tong naik pangkat menjadi Tauke Besar. (Kisah ini ada di Novel PULANG)
Sepertinya masalahnya hanya itu dan telah selesai. Aku bisa mulai
melakukan konsolidasi Keluarga Tong, mengingat usia kepemimpinanku baru
hitungan hari. Hingga beberapa hari lalu aku mendapatkan informasi intelijen
dari Keluarga Tong di Hong Kong, bahwa Master Dragon-lah yang diam-diam
memberikan perintah agar Keluarga Lin merecoki kami. Itu informasi yang serius
sekali. Bukan rahasia lagi, Master Dragon sejak lama tidak menyukai Keluarga
Tong yang semakin meraksasa di Asia Pasifik, itu bisa mengancam posisinya
sebagai penguasa delapan keluarga. Untuk menghentikan itu, bunuh harimau
sebelum dia semakin besar dan kuat. Informasi itu sangat mengejutkan, dan belum
sempat aku menentukan langkah terbaik, Parwez mengirim kabar tentang teknologi
anti serangan siber yang dicuri El Pacho. Boleh jadi, El Pacho juga disuruh
oleh Master Dragon untuk melakukannya—sama seperti saat Keluarga Lin
mengkhianati Tauke Besar dulu.
“Kalian mau softdrink dingin?” Yuki bertanya, dia telah berdiri.
Pesawat jet telah mengudara di ketinggian tiga puluh ribu kaki, lampu
penanda safety belt telah dipadamkan oleh Edwin.
“Aku mau, Yuki, please.” White mengangguk.
“Bujang?”
Aku juga mengangguk. Mengusap wajah. Pertanyaan Yuki memutus lamunanku
sejenak—sambil menatap keluar jendela pesawat jet, menatap gemerlap lampu Kota
Tijuana.
“Ambilkan aku air mineral biasa, Yuki.”
“Baik Tuan Salonga.” Yuki mengangguk, dia melangkah menuju belakang.
Pesawat jet terbang stabil.
“Hei, Bujang” Kepala Kiko muncul dari sandaran kursiku, “Aku tetap
penasaran dengan orang bertopeng tadi. Apakah kamu bisa menduga-duga siapa
dia?”
“Zorro, kan?” Aku menjawab sembarang.
Kiko menyeringai, “Itu tidak lucu lagi, Bujang.”
White yang tertawa—melihat wajah terlipat Kiko.
Aku menyeringai lebar.
“Apa arti kata El Espiritu, Tuang Salonga?” Kiko bertanya, menoleh ke
kursi satunya, mengabaikan White dan aku.
“Spirit. Roh.” Salonga bersidekap.
“Roh? Orang itu punya julukan begitu? Apa maksudnya?”
“Aku tidak tahu, Kiko…. Penduduk Meksiko memiliki banyak legenda dan
cerita terkait hal tersebut. Mereka adalah negara dengan kepercayaan mistis
tinggi, menyukai kisah-kisah serupa. Mereka bahkan punya perayaan besar yang
disebut Día de Muertos, Hari Kematian. Keluarga, teman, akan berkumpul saat
perayaan tersebut, mereka percaya roh orang mati sedang pulang ke dunia
menjenguk di hari tersebut. Festival besar diadakan. El Espiritu, roh, spirit.
Julukan itu bisa melambangkan apapun. Baik simbol kebaikan, atau sebaliknya
kejahatan.”
“Orang bertopeng itu juga menyebut tentang La Llorona. Apa maksudnya?”
Kiko penasaran.
“Yeah, dia memang menyebut istilah itu.” Salonga mengangguk takjim.
Dari kursi seberangnya, aku dan White ikut memperhatikan penjelasan
Salonga.
“La Llorona artinya adalah wanita yang menangis. Itu sebuah cerita di
Meksiko, ada banyak versinya. Tapi yang paling terkenal adalah tentang seorang
perempuan cantik bernama Maria yang patah hati. Itu sungguh kisah menyedihkan.
Perempuan itu membenamkan putranya sendiri ke sungai, sebagai balasan karena
suaminya pergi untuk mengejar wanita lain, tidak lagi mencintai dia. Perempuan
itu marah, membawa putranya ke sungai. Awalnya dia tidak sungguh-sungguh ingin
membunuh putranya, dia hanya mencari perhatian dari mantan suaminya, tapi saat
dia menyadari tubuh putranya telah membeku, perempuan itu panik, gelap mata,
memutuskan ikut menenggelamkan diri di aliran sungai.
“Di gerbang surga, oleh Malaikat perempuan itu ditolak masuk hingga
dia bisa menemukan lagi jasad Putranya. Perempuan itu dikembalikan ke muka
bumi, untuk mencari di mana Putranya. Sia-sia, dia tidak akan pernah
menemukannya lagi hingga kiamat tiba, sejak saat itu dia terus dikutuk
mengelilingi penjuru Meksiko sambil menangis mencari putranya, La Llorona.
Itulah maksudnya.”
Kursi-kursi pesawat jet lengang sejenak. Yuki yang baru kembali dengan
minuman dingin ikut diam—dia sempat mendengarkan percakapan.
“Kenapa orang bertopeng itu menyebut istilah itu sambil bilang tentang
Ibu-nya yang suka berteriak, menangis hingga mati? Apakah ada hubungannya?”
Kiko bertanya lagi.
“Aku tidak tahu, Kiko.” Salonga menggeleng.
Yuki meletakkan botol minuman di tatakan meja. Percakapan ini membuat
kami melupakan sejenak minuman dingin.
“Tapi di luar itu semua, sesungguhnya ada satu hal yang sangat penting
dari percakapan Bujang dan orang bertopeng tadi. Dan boleh jadi, itu kunci
untuk mengetahui siapa dia sebenarnya.” Salonga menghembuskan nafas perlahan.
“Apa itu?” Kiko langsung menyambar.
“Ada di kalimat terakhir sebelum dia pergi. Orang bertopeng itu bilang
ke Bujang, Adios, selamat tinggal, Hermanito.” Salonga mengusap dahinya, diam
sejenak.
Kami berempat sempurna menatap Salonga. Menunggu.
“Hermanito…. Dia sungguh-sungguh saat mengatakan istilah itu. Aku bisa
merasakan intonasinya, aku bisa menatap matanya yang menatap tajam. Itu bukan
hanya istilah sambil lalu, basa-basi, istilah itu dikatakan sepenuh perasaan.
Hermanito….”
“Apa arti Hermanito?” Kiko mendesak.
Salonga justeru menoleh, sekarang menatapku lamat-lamat.
Aku balas menatap Salonga. Kenapa dia jadi menatapku demikian?
“Itu artinya Little Brother. Adik laki-laki. Dia memanggil Bujang
demikian sebelum pergi, Adios, Hermanito.”
“Astaga?” Kiko berseru tertahan, menutup mulutnya dengan jemari.
White menepuk tatakan kursi. Terkejut.
Aku terdiam.
Mematung.
_________________________________________________________
bersambung ke Bab 4
Komentar
Posting Komentar