Bab 10. Ingin Menjadi Seperti Si Babi Hutan



Pukul dua dini hari. Aku sempat tidur satu jam, saat Salonga menepuk bahu, membangunkan. Kami sudah mendarat di ibukota provinsi, pesawat jet sedang bergerak menuju parkiran.

Lima menit, Edwin telah selesai memarkirkan pesawat. Pintu dibuka oleh kopilotnya.

Di bawah anak tangga, dua mobil lapangan berwarna hitam metalik menunggu. Togar sudah mengurus kedatanganku dengan memberitahu anggota Keluarga Tong di ibukota provinsi.

Walau markas besar Keluarga Tong telah dipindahkan sejak 17 tahun lalu dari sini, kami masih memiliki basis bisnis raksasa. Kilang minyak, perusahaan pertambangan, proyek properti, bahkan unit bisnis di sini merencanakan membangun sirkuit balap internasional, agar besok-besok tidak perlu jauh-jauh ke luar negeri menonton MotoGP atau Formula 1.

Kepala keluarga di ibukota provinsi sekarang adalah Lubai—dia termasuk satu angkatan dengan Kopong, senior. Orang yang sekarang tertawa lebar menungguku di bawah anak tangga, pukul dua dini hari.

“Maaf aku lupa membentangkan karpet merah, Bujang!” Lubai berseru.

Aku ikut tertawa. Lubai merentangkan tangan, memelukku erat-erat.

“Bukan main, Bujang.” Dia menepuk-nepuk pipiku, “Bukan main anaknya Samad. Lama tidak melihatmu, Nak. Kamu lebih gagah dibanding Samad.”

Usia Lubai enam puluh tahun. Dia adalah salah-satu tukang pukul kepercayaan Tauke Besar dulu. Dan dia juga salah-satu anggota rombongan yang menjemputku di Talang. Lebih dari itu, dia pun salah-satu yang berada di rimba belantara saat kami terpojok menghadapi raja babi di sana. Saksi mata pertarungan hidup-matiku melawan babi alfa rimba Sumatera. Selain Kopong, aku dekat dengannya—termasuk dengan keluarganya—hingga aku ikut pindah bersama Tauke Besar. Setelah pindah, aku jarang bertemu Lubai, karena memang tidak pernah pulang ke kota provinsi—buat apa aku pulang? Dan terakhir aku ke pusara Mamak dan Bapak, aku tidak singgah ke kota, langsung naik helikopter ke Talang.

“Tuan Salonga. Sungguh sebuah kehormatan bertemu dengan Anda.” Lubai menundukkan kepala dengan takjim.

“Malam, Lubai!” Salonga balas mengangguk, santai memasang topi cowboy.

Ada empat tukang pukul bersama Lubai, dan masih ada satu lagi seseorang, masih remaja.

“Ah, perkenalkan,” Lubai menoleh, menunjuk seseorang itu di belakangnya, “Saat kamu pindah, Bujang, usianya masih setahun. Namanya Rambang. Putra bungsuku. Usianya tujuh belas tahun, baru lulus SMA. Rambang, maju sini, cium tangan Tauke Besar.”

Anak itu maju, mencium tanganku.

“Anakku ini ingin sekali menjadi ‘tukang pukul’, Bujang.” Lubai berkata, sambil memeluk bahuku, kami mulai berjalan menuju mobil, “Dia pintar, juara seluruh sekolah provinsi, NEM tertinggi, punya medali Olimpiade Matematika. Dia jago bela diri, pemegang ban hitam karate. Ibunya hendak mengirim dia sekolah di kampus terbaik luar negeri, besok lusa menjadi dokter, atau insinyur, atau apalah, tapi cita-citanya ganjil sekali. Dia ingin seperti Bapaknya, bergabung dengan Keluarga Tong. Pusing sekali Ibunya, tapi dia mengotot, dia tidak mau melanjutkan sekolah jika tidak diijinkan bergabung dengan Keluarga Tong. Dan kamu tahu siapa idolanya, Bujang?”

Aku menggeleng. Tidak tahu.

“Coba tebak, Bujang.”

Aku tetap menggeleng. Tidak ada ide siapa idola para remaja sekarang. Jamanku dulu, aku terlalu sibuk berlatih tinju, menembak, dibanding menonton atau menghabiskan masa remaja.

“Idolanya bukan pemain bola terkenal. Bukan pula penyanyi, apalagi K-Pop, jauuuh. Siapa idolamu, Rambang? Katakan pada Tauke Besar. Jangan malu-malu.”

Anak itu mengangguk, berkata mantap, “Si Babi Hutan.”

“Naah! Kamu dengar, Bujang. Dia ingin sepertimu.” Lubai terkekeh lagi, “Padahal dia tahu persis, hanya hitungan jari orang yang tahu siapa sesungguhnya Si Babi Hutan. Tidak akan ada teman sekolahnya yang tahu apa maksudnya. Tapi anak sekarang, mereka punya mimpi dan ambisi sendiri. Aku dulu menjadi tukang pukul karena tidak ada pilihan, Tauke Besar mengambilku dari jalanan. Anak ini malah sukarela memilih jalan tersebut.”

Aku menatap Rambang dari kepala hingga kaki.

Anak ini dilihat dari postur tubuhnya, tinggi dan gagah, hampir setinggi aku. Cara dia bicara, cara membalas tatapanku, amat menjanjikan—padahal usianya baru tujuh belas, baru lulus SMA. Apa Lubai bilang tadi? Anak ini pintar dan jago bela diri. Itu potensi besar bagi Keluarga Tong.

“Tapi kita urus itu nanti-nanti, Bujang. Mari aku antar ke alamat yang dikirimkan Togar. Aku tahu lokasi rumah itu, dulu itu memang salah-satu rumah milik Keluarga Tong.”

Kami segera naik mobil.

Rambang yang menjadi sopir mobil yang kunaiki. Anak muda itu sepertinya memang disuruh oleh Bapaknya. Dan dia memang tangkas mengemudi, mobil segera melesat meninggalkan bandara. Satu mobil lagi dinaiki Lubai dan empat tukang pukul lainnya. Melintasi jalanan lengang, lewat tengah malam, penduduk telah nyenyak di atas ranjang. Lepas dari batas kota, hamparan tanah gambut mulai terbentang di kiri-kanan jalan, sesekali diselingi perkebunan karet.

“Berapa lama perjalanan menuju ke sana, Lubai?” Aku bertanya—dalam bahasa Inggris, sekaligus menguji kemampuan berbahasanya.

“Dengan kecepatan sekarang, itu berarti 29 menit, 7 detik, Tauke Besar.” Lubai menjawab fasih, dia tetap fokus menyetir.

“Astaga? Kamu bahkan tahu sampai detiknya?” Salonga ikut bicara.

“Aku tahu, Tuan Salonga. Itu mudah menghitungnya. Kecepatan rata-rata, jarak tempuh.
Aku suka Matematika.”

“Maksudku, bagaimana jika ada sapi tiba-tiba melintas di jalan raya? Kecepatan mobilmu berkurang, bukan?”

“Dengan segala respek, aku tidak menghentikan mobil hanya karena ada sapi melintas, Tuan Salonga. Aku membuat sapi itu menyingkir, lari terbirit-birit sebelum mobil yang kukemudikan melintas. Percayalah, 29 menit 7 detik lagi kita sampai.”

Salonga tertawa, “Aku suka anak ini.”

Dua mobil lapangan terus melaju menuju pinggiran ibukota provinsi.

***

Kami tiba di lokasi hampir pukul tiga dini hari.

Seperti yang disampaikan Tuanku Imam, rumah itu menghadap sungai berbatu, dengan belakangnya berlatar pegunungan. Rumah semi panggung dengan tiang beton setinggi satu meter, dinding dan lantai terbuat dari kayu, serta atap dari sirap. Ukurannya tidak besar, mungkin hanya enam puluh meter persegi, tapi halamannya luas. Bisa memarkir puluhan mobil, dengan taman bunga bogenvil. Rumah tua itu gelap total, tamannya dipenuhi semak belukar, atapnya mirip, lebih mirip rumah hantu. Sudah lama sekali rumah ini tidak dikunjungi. Tapi lokasi rumah ini indah. Suara sungai yang mengalir di depannya terdengar bergemericik, jika pagi tiba, aku yakin kabut mengambang di pegunungan dan sekitarnya.

Perkampungan terdekat dari rumah ini sekitar satu kilometer.

Aku menaiki anak tangga, disusul oleh Salonga, Lubai, dan tukang pukul yang membawa senter. Rambang gesit menuju sudut-sudut rumah, sepertinya mencari saklar listrik. Terdengar suara jegleg! Sekejap, lampu depan menyala.

“Listriknya masih ada, Tauke Besar. Hanya saklarnya turun.” Rambang berseru dari salah-satu tiang, dia yang menaikkan panel saklar listrik.

Aku mengangguk.

Tidak ada yang punya kunci, salah-satu tukang pukul membuka paksa pintu. Tidak sulit, engsel dan gagang pintunya sudah berkarat. Debu tebal terhampar di lantai kayu, menyisakan jejak kaki saat aku melangkah masuk. Sarang laba-laba, dan beberapa kelelawar terbang keluar, kaget melihat tamu tak diundang. Aku terus maju, memperhatikan sekitar—Rambang lagi-lagi telah menyalakan lampu, dia cekatan memeriksa dinding. Anak ini memiliki inisiatif yang tinggi, dan otaknya cerdas, dia bekerja efisien tanpa harus disuruh.

Kami sepertinya berada di ruang tamu. Ada meja kayu bundar dan empat kursi rotan. Ada sebuah lemari kecil terbuat dari kayu jati. Beberapa lukisan terpajang di dinding, tertutup debu dan sarang laba-laba. Salah-satunya masih terlihat, itu sebuah lukisan matador Spanyol dengan banteng mengamuk. Di sebelah lukisan itu, tergantung Sombrero, topi khas Meksiko.

Aku menelan ludah. Tidak salah lagi, tempat ini pasti menyimpan masa lalu itu.

Kami datang ke tempat yang tepat.

“Periksa seluruh rumah, cari foto, catatan, dokumen, apapun yang kalian temukan, kumpulkan! Sekecil apapun, seburuk apapun kondisinya.” Aku berseru, memberi perintah.

“Pronto, Tauke Besar.” Empat tukang pukul dan Rambang mengangguk, juga Lubai. Mereka segera bergerak berpencar mencari. Aku juga ikut melangkah memeriksa. Sementara Salonga, dia berdiri mengamati lukisan.
Rumah itu memiliki dua kamar, dengan ranjang dari besi. Aku memeriksa cepat dua kamar itu. Kasurnya sudah rusak, berlubang, kapasnya terhampar sembarang di lantai. Kelambunya robek, sudah lama tidak dipakai. Selain itu, ada ruang tengah yang cukup luas, dengan kursi rotan panjang, sebuah meja besar, dan lemari-lemari kecil. Radio transistor lama, televisi hitam putih, adalah benda mewah di jaman itu, teronggok bisu dengan debu tebal di ruangan. Juga ada ruangan kerja di dekatnya, dengan kursi dan meja. Ada mesin tik tua di atas mejanya, aku menyeka debu tebal, menatap merk mesin tik. Buku-buku dengan bahasa spanyol menumpuk berantakan di lemari dekat mesin tik. Juga ada mesin jahit lama, membisu di pojok ruangan. Kamar ini, mungkin dulu tempat Bapak menulis atau membaca sesuatu, sambil istri pertamanya tekun menjahit.

“Tauke Besar.” Suara Rambang terdengar di bawah bingkai pintu.

Aku menoleh. Rambang datang membawa selembar kertas—nampaknya dia berhasil menemukan sesuatu.

“Aku temukan ini di salah-satu laci lemari kamar.” Rambang menjulurkan sebuah foto.

Ujung foto itu telah dimakan rayap. Gambarnya telah kekuning-kuningan oleh usia, tapi masih cukup jelas untuk memastikan siapa yang ada di foto.

“Itu Samad. Tapi siapa perempuan itu?” Lubai yang berdiri di belakang anaknya menunjuk.

Aku mengangguk. Ini foto Bapak di usianya yang berbilang kepala tiga, bersama seorang gadis cantik dengan rambut bergelombang sebahu. Gadis itu mengenakan topi lebar dari anyaman rotan, pakaian bermotif bunga-bunga. Tersenyum. Wajahnya bukan wajah penduduk setempat, dia gadis Amerika Latin.

“Gagah sekali Bapak-mu, Bujang.” Salonga yang ikut melihat foto turut berkomentar.

“Siapa perempuan itu, Bujang?” Lubai sekali lagi bertanya.

“Orang yang sedang kita cari, Lubai.” Aku berkata tegas, tidak tertarik menjelaskan—
“Segera cari foto-foto lain, periksa setiap jengkal rumah ini.”

“Pronto, Tauke Besar.” Lubai mengangguk, bersama Rambang dan tukang pukul lainnya bergegas kembali balik kanan.

Meninggalkanku bersama Salonga yang menatap foto itu.

“Tahun 1974.” Aku bergumam pelan.

Salonga mengangguk. Dia juga melihat cetakan tanggal kapan foto ini dicetak.

“Satu tahun sebelum Samad lumpuh. Aku berani bertaruh, sepertinya di tahun itulah dia menikahi gadis cantik ini, membawanya kemari, tinggal di sini, jauh dari hiruk-pikuk Keluarga Tong, ditemani beberapa pembantu. Setiap akhir pecan Samad pulang, menghabiskan waktu libur sambil menatap pegunungan berkabut, mendengar gemericik sungai. Malamnya, membuat api unggun di halaman, membakar jagung, menatap bintang-gemintang, memetik gitar, berdansa berdua, menyanyikan lagu latin. Aku bisa membayangkannya. Bapakmu itu punya sisi romantis yang luar biasa.” Salonga tertawa pelan.

Aku tidak. Sejak tadi aku fokus. Segera kembali menelusuri meja dan lemari, membongkar buku-buku berbahasa Spanyol.

Hampir satu jam kami memeriksa setiap jengkal rumah, tapi sejauh ini hanya selembar foto itu saja yang berhasil ditemukan.

Lubai dan empat tukang pukul menyeka wajah yang berpeluh, cemong oleh debu. Rambut mereka dipenuhi sarang laba-laba. Pakaian mereka kotor. Mereka sampai memeriksa bawah ranjang, mendorong lemari, naik ke loteng, mengangkat tungku di dapur, celah apapun yang terlihat mereka periksa. Lubang atau sudut apapun yang boleh jadi digunakan tempat menyimpan sesuatu, mereka periksa. Nihil.

“Sepertinya tidak ada lagi dokumen, catatan atau foto yang lain, Bujang.” Lubai menghela nafas.

Aku mendengus. Aku sudah empat kali memeriksa ruang kerja, sekali lagi, sekali lagi dan sekali lagi, juga tetap tidak menemukan sesuatu.

“Kapan terakhir kali rumah ini ada penghuninya, Lubai? Maksudku, apakah setelah Samad berhenti bekerja, apakah ada tukang pukul lain yang kemudian menghuni rumah ini.”

“Setahuku tidak ada, Tuan Salonga.” Lubai menggeleng, “Menurut informasi dari divisi yang mengelola semua daftar properti Keluarga Tong di ibukota Provinsi—aku sempat bertanya dengan mereka sebelum menjemput ke bandara, rumah ini dibiarkan kosong. Pernah ada memang penduduk kampung yang ditugaskan sesekali membersihkan rumah, memotong rumput, merapikan taman, tapi itu mungkin dua puluh tahun lalu. Orang tersebut telah meninggal dan tidak ada lagi yang melanjutkan pekerjaan tersebut.”

“Ini sepertinya buntu, Bujang.” Salonga berkata pelan, “Hanya foto itu yang tersisa. Boleh jadi, sebelum penghuni rumah ini pergi, semua barang, kenangan, ikut dibawa atau dimusnahkan. Kita beruntung masih menemukan foto tua ini. Menatap foto ini, aku bisa membayangkan situasinya, kesedihan, berkemas-kemas. Foto, dokumen, catatan, mungkin dibuang ke tungku, dibakar sebelum pergi. Hanya kenangan yang dibawa.”

Aku diam, tidak menanggapi Salonga.

Sementara kami mengobrol di ruang tamu, Rambang masih semangat mencari. Entah apa yang dilakukan anak muda itu, dia barusaja berlarian menuruni anak tangga. Terus berlari ke gerbang pagar, mengeduk sesuatu di tanah.

“Atau ada penduduk kampung dekat sini yang tahu soal Samad, Lubai?” Salonga memikirkan kemungkinan lain.

“Tidak ada, Tuang Salonga. Tadi sore, persis menerima kabar dari Togar, aku sudah mengirim dua orang menemui penduduk kampung, bertanya-tanya. Mereka hanya tahu tempat ini rumah peristirahatan orang penting dari kota, dan sudah puluhan tahun tidak berpenghuni, mereka tidak mengenal siapa yang pernah tinggal di sini. Mereka takut kemari, menganggap bangunan ini berhantu—saking lamanya tidak ditempati.”

Salonga menghela nafas pelan. Menyerah.

“Tauke Besar!” Rambang berseru dari gerbang halaman.

“Ada apa, Rambang?” Lubai balas berseru kepada anaknya.

“Aku menemukan sesuatu, Tauke Besar.”

Tanpa menunggu Rambang membawa sesuatu itu, aku segera menuruni anak tangga. Disusul oleh Salonga dan yang lain.

“Ini.” Rambang hati-hati mengangkat dokumen dari kotak kaleng yang telah terbuka, “Ini sepertinya surat-surat lama. Petugas pos meletakkannya di dalam kotak surat ini.”

Brilian. Sangat brilian. Aku segera mengerti apa yang dilakukan anak ini. Rambang memikirkan soal itu. Rumah ini memang memiliki kotak pos yang berdiri di dekat gerbang. Tiang kotak pos itu telah tumbang, karatan, kalengnya terbenam separuh di tanah, di antara ilalang liar. Tapi kaleng kotaknya masih utuh. Ada setumpuk surat di dalam kaleng, beberapa dibungkus oleh plastik yang terkelupas. Itu sepertinya surat-surat lama, dikirim lewat Pos. Petugas meletakkannya di kotak pos, terus menumpuknya setiap ada surat baru yang dialamatkan ke rumah ini, kemudian terlupakan. Berpuluh tahun. Buruk sekali kondisi surat-suratnya, tapi ini boleh jadi harta karun berharga, jawaban atas pertanyaan yang kumiliki.

“Ambil box plastik dari mobil.” Lubai berseru.

Salah-satu tukang pukul bergegas mengambilnya.

Rambang hati-hati meletakkan tumpukan surat itu ke dalam box bersih. Dia memastikan surat-surat itu tidak robek berceceran karena kondisinya buruk.

Aku memperhatikan salah-satu surat, tulisan alamat di sampulnya telah luntur, tak terbaca, kertas-kertas menempel satu sama lain, entah bagaimana nasib bagian dalamnya. Terbenam di dalam kaleng puluhan tahun, kehujanan, kering, basah, silih berganti—apalagi yang bisa diharapkan?

“Surat-surat ini mungkin masih bisa dibaca, Tauke Besar,” Rambang berkata mantap, “Aku tahu di kampus ibukota provinsi ada seorang Profesor yang ahli menangani arsip kuno. Aku pernah membaca beritanya. Dia jago sekali memulihkan dokumen-dokumen tua hingga bisa dibaca lagi, bahkan di-digitalisasi. Kita bisa membawanya ke sana.”

Itu solusi yang brilian—sekali lagi. Aku menatap Rambang yang sejak tadi sangat antusias.

“Terima kasih, Rambang. Kerja yang bagus.”

Anak muda itu mengangguk, dia kembali memeriksa kaleng kotak pos, memastikan tidak ada yang tersisa di dalamnya.

Salonga tertawa pelan, “Anakmu hebat sekali, Lubai.”

Lubai ikut tertawa—senang anaknya dipuji oleh Salonga.

“Baik. Segera bawa dokumen ini ke Profesor tersebut, minta dia mengerjakannya.” Aku memberi perintah, “Sepertinya tidak ada lagi yang ada di rumah ini, kita kembali ke bandara.”

Lubai mengangguk, tukang pukulnya segera menyiapkan mobil.


***
___________________

bersambung ke Bab 11

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bab 5. Aplikasi Keluarga Tong

Bab 13. Kondangan Raisa