Bab 9. Pertanyaan Sederhana, Jawaban Panjang
Mobil Jeep melesat di jalan tol antar kota. Sudah pukul sepuluh malam,
aku harus tiba di bandara sebelum tengah malam. Edwin sudah kembali dari Hong
Kong mengantar White, dia menungguku di sana, untuk terbang menuju ibukota
provinsi.
Aku sempat menelepon Togar saat istirahat sejenak di rest area jalan
tol—mengisi bensin mobil sekaligus Salonga hendak ke toilet.
“Kabar terkini, Togar?”
“Pronto, Tauke Besar. Aku telah memanggil seluruh Letnan. Dua
diantaranya dinon-aktifkan hingga penyelidikan selesai. Jika mereka tidak
terbukti terlibat dengan Chen, mereka akan kembali bertugas.” Togar segera memberi
laporan.
“Aku juga telah memeriksa rumah kediaman Chen, positif, dia yang telah
membocorkan informasi riset benda anti serangan siber di Meksiko kepada Master
Dragon. Ada dua lokasi riset lain yang juga bocor, New Delhi serta London. Aku
telah menugaskan jaringan kita disana agar secepat mungkin memindahkan
sementara laboratorium beserta Profesornya.”
Aku bergumam—dua lokasi itu juga riset tentang teknologi informasi.
Master Dragon sepertinya amat tertarik dengan hal itu.
“Penjagaan seluruh bangunan strategis telah dilipatgandakan, Tauke
Besar, efektif tadi sore pukul lima. CCTV telah ditambah, jadwal patroli, shift
berjaga telah diperbaiki. Aku telah bicara dengan Parwez, dia memahami situasi
terbaru, dan mengusulkan agar kita membagikan selebaran prosedur darurat ke
seluruh karyawan berbagai perusahaan Keluarga Tong, agar mereka yang tidak
tahu-menahu soal peperangan ini juga bersiap dan melakukan latihan jika terjadi
situasi tersebut. Parwez juga segera menyiapkan beberapa skenario konferensi pers
dalam kondisi darurat.”
“Itu ide bagus, Togar.”
“Pronto, Tauke Besar. Kami juga menambah pengawalan pada Parwez—meski
dia keberatan. Aku memastikan sendiri pengawalannya tidak mencolok. Dan Payong
juga telah mengamankan markas besar, anak itu tahu persis apa yang harus
dilakukan. Dia memperbarui sistem pertahanan markas yang dulu dibuat oleh
Kopong.”
Aku mengangguk. Itu berarti sejauh ini tidak ada masalah.
“Hanya saja, Tauke Besar, Si Kembar marah-marah.”
“Yuki dan Kiko?”
“Pronto, Tauke Besar. Mereka berdua meminta presidential suite hotel
terbaik Keluarga Tong sebagai basecamp.”
“Apa masalahnya? Berikan saja, Togar.” Aku mengusap wajah, Si Kembar
memang selalu meminta hal aneh-aneh, mereka seolah lupa, mereka kutugaskan
mencari tahu tentang pembunuh bayaran yang disewa Master Dragon, bukan sedang
liburan mewah.
“Masalahnya, kamar type tersebut sudah dipesan jauh-jauh
hari oleh rombongan Kerajaan Arab, Tauke Besar, kamar itu akan digunakan Raja
dalam kunjungan ke sini dua minggu lagi. Si Kembar marah-marah, mereka
berseru-seru meneriakiku dalam bahasa Jepang, watashi wa kinishinai, oroka,
entahlah aku tidak paham. Mereka mengotot, mereka juga memberikan daftar
panjang yang harus dipenuhi, seperti sandal jepit berwarna pink, jubah mandi
dengan motif hello kitty—”
“Berikan saja ke Yuki dan Kiko, Togar. Cucu Guru Bushi berhak
mendapatkan apapun, se-absurd apapun permintaan mereka. Carikan kamar lain
untuk rombongan kerajaan tersebut, bila perlu tawarkan kamar dan fasilitas
tambahan di Bali sebagai kompensasi perubahan kamar. Lagipula itu ada bagusnya,
jika hotel itu menjadi target Master Dragon, setidaknya Raja tidak menginap di
sana. Kita tidak mengurusi keselamatan orang lain, apalagi terlibat insiden
diplomasi.”
“Pronto, Tauke Besar.”
“Laporkan segera jika ada informasi penting, Togar. Aku sedang menuju
ibukota Provinsi, ada urusan masa lalu yang hendak kuselesaikan di sana, aku
akan mengirimkan informasi lewat pesan tertulis, termasuk alamat tujuan,
siapkan segala sesuatunya.” Aku menutup telepon. Salonga sudah keluar dari
toilet, menepuk-nepuk ujung kemeja yang basah.
Mobil Jeep kembali melesat di jalan tol yang lengang.
Di atas langit sana, purnama tertutup separuh oleh awan tebal.
Salonga merebahkan sandaran kursi, dia beranjak tidur lagi.
***
Pukul 23.45, aku tiba di bandara.
Pesawat jet telah menunggu di parkiran, Edwin menyapaku.
“Selamat malam, Tauke Besar.”
Aku mengangguk, menaiki anak tangga. Disusul oleh Salonga.
“Kamu cukup istirahat, Edwin? Maksudku setelah berjam-jam terbang
antar benua.”
Edwin tertawa kecil, “Aku pernah menerbangkan pesawat lebih lama dari
itu secara marathon, Tauke Besar. Lagipula kopilot selalu diganti dan aku
sempat istirahat beberapa jam sambil menunggu di bandara, itu cukup.”
“Baik, kita menuju ibukota provinsi. Ada urusan yang harus
kuselesaikan di sana.”
Edwin mengangguk.
Buat kalian yang belum mengenal Edwin, akan kuberitahu rahasia kecil
tentangnya. Nama ‘lengkapnya’ adalah Edwin “Maverick” Bradshaw, sama seperti
White dan Frank, dia adalah warga negara Amerika—Maverick adalah julukannya di
angkasa sana. Dia pilot muda, usia dua puluh delapan tahun, lulusan terbaik
dari U.S. Navy Fighter Weapons School atau TOP GUN—yeah, kalian mungkin tahu
film tersebut, tidak perlu kujelaskan betapa elitnya sekolah tersebut. Karir
militernya cemerlang, hingga suatu hari, dia nekad menerbangkan pesawat tempur
dalam misi personal. Mendaratkannya di landasan pacu komersil, membuat kacau
balau seratus penerbangan. Insiden itu membuat berang atasannya, dia dipecat
tidak hormat.
Aku yang merekrut langsung Edwin lima tahun lalu, menemuinya saat
sedang berada di San Diego. Tertawa lebar ketika tahu apa misi personalnya
tersebut. Edwin hanya ingin bergegas pulang menemui Ibunya yang sakit keras di
kota lain. Tidak ada penerbangan komersil, dia dikejar oleh waktu, atau boleh
jadi tidak sempat lagi menemui Ibunya, Edwin ‘meminjam’ pesawat tempur.
Manusiawi sekali, karena Edwin menyayangi Ibunya. Tapi bagi petinggi militer,
itu tetap pelanggaran serius, ditambah lagi dia bersikeras dalam penyelidikan,
tidak menyesali apa yang terjadi, karir militernya tamat.
Edwin adalah pilot serba-bisa, dia juga bisa menerbangkan helikopter,
dan berbagai jenis pesawat lain. Keterampilan yang langka. Aku menawarkan Edwin
menjadi pilot Keluarga Tong—gaji dan fasilitas empat kali lipat dengan bonus
dia bebas memakai beberapa pesawat jet canggih milik Keluarga Tong, bahkan
kalaupun dia hanya ingin mengajak Ibunya (yang syukurlah ternyata sembuh) makan
siang di Hawaii. Tidak akan ada yang memecatnya. Satu hari setelah
menimbang-nimbang, dia menerima tawaran tersebut. Keluarga Tong memiliki
belasan pesawat jet pribadi—juga ratusan pesawat komersil lewat perusahaan
penerbangan resmi, tapi aku selalu menaiki pesawat yang dikemudikan oleh Edwin,
bukan yang lain, aku mempercayai dia.
Pesawat jet mulai berlarian di run-away, take off menuju langit malam.
Aku merebahkan punggung di kursi. Salonga duduk di seberangku.
Gemerlap lampu kota terlihat dari bingkai jendela, nampak menawan. Aku
menyisir rambut dengan jemari. Dulu, di talang dekat rimba Sumatera, hanya
kunang-kunang yang kulihat. Di sela semak belukar, di belakang rumah panggung,
banyak kunang-kunangnya, terbang kesana-kemari. Sesekali aku menangkapinya,
memasukkannya ke dalam botol kosong, menggantungkannya di kama, menjadi lampu
kunang-kunang. Aku tidak pernah tahu tentang tempat lain selain talang kami.
Dan jelas tidak pernah menyangka jika suatu hari, Tauke Besar menjemputku. Dia
datang dengan mobil-mobil berisi puluhan orang yang hendak berburu babi. Aku
pikir mereka hanya rombongan biasa, memang banyak rombongan berburu babi di
masa itu. Itu semacam olahraga orang kaya. Tidak, Tauke ternyata datang bersama
tukang pukulnya. Sengaja menjemputku sambil liburan, refreshing berburu babi.
Itu perjanjian lama antara Bapak dan Tauker Besar. Aku tidak tahu jika Bapak
pernah menjadi kepala tukang pukul Keluarga Tong. Mamak memelukku erat saat
itu, berlinang air mata melepasku. Mamak jelas keberatan, karena dia tahu apa
yang akan terjadi kemudian. Tapi dia tidak kuasa menolaknya. Itu seperti sudah
menjadi garis hidupku. Aku pergi meninggalkan talang.
Kunang-kunang itu. Banyak terbang di antara semak belukar—
“Hei, Bujang, kamu ingin minum apa?” Salonga bertanya sekali lagi.
Aku menoleh, maaf aku tidak mendengarnya. Masa lalu itu melintas
kembali di kepala. Aku menggeleng, aku tidak haus, terserah Salonga mau
mengambilkan minuman apa. Pesawat jet telah meninggalkan kota, gelap di luar
sana, hanya purnama yang tertutup awan hitam. Lampu sabuk pengaman telah
dipadamkan kopilot Edwin.
Salonga melangkah ke belakang pesawat, menuju ruangan tempat menyimpan
makanan dan minuman, kembali lagi membawa dua botol air mineral dingin.
Menyerahkan salah satu kepadaku, lantas duduk merebahkan punggung. Rileks.
Tanpa percakapan. Kabin pesawat terasa senyap. Salonga meneguk
minumannya.
“Boleh aku bertanya sesuatu yang personal, Salonga?” Aku memecah
lengang, sambil mematut-matut botol air minum di tanganku.
“Bertanya boleh saja, Bujang. Bebas. Soal aku mau menjawab atau tidak,
itu urusan lain.” Salonga meluruskan kakinya, meletakkan botol di tatakan
kursi.
Aku hendak tertawa mendengar responnya—Salonga adalah versi Yuki dan
Kiko setelah berusia tujuh puluh tahun.
“Apa pertanyaanmu, Bujang?”
Salonga menunggu.
“Apakah kamu merasa hidupmu selurus itu, Salonga? Maksudku, percakapan
di sekolah agama Tuanku Imam. Tentang menghadiri kebaktian—”
Salonga tertawa kecil, “Aku tahu maksudmu, Bujang. Dan aku akan
berkata serius, aku memang rajin pergi ke gereja. Apakah aku merasa aku adalah
orang baiknya hanya karena rajin ke gereja? Iya. Kenapa tidak?”
Aku menggeleng pelan, “Kamu pernah menjadi pembunuh bayaran, Salonga.
Kamu bertanggung-jawab atas setidaknya seratus pembunuhan di Asia
Pasifik—termasuk calon presiden Filipina. Pensiun di Tondo, membuka sekolah
menembak bagi anak-anak gelandangan, melakukan kerja sosial, rajin pergi ke
gereja, tidak mengubah fakta itu.”
“Hei, aku memang pernah menjadi pembunuh bayaran, Bujang. Tapi aku
tahu persis setiap kali menarik pelatuk pistolku. Aku membunuh orang-orang yang
memang patut mati. Penipu, penjahat, politisi koruptor, diktator, tukang
selingkuh, penjudi, panjang daftarnya, Bujang. Bahkan jika targetku tidak masuk
dalam kategori itu, mereka tetap saja jahat dan layak dibunuh.”
“Astaga! Kamu dibayar melakukannya, Salonga. Itu bukan tindakan idealisme.”
“Tentu saja, aku dibayar. Itu bukan pekerjaan mudah, membutuhkan
keterampilan dan keberanian tingkat tinggi. Mencukur rambut saja dibayar,
Bujang, se-idealis apapun seorang tukang cukur, misalnya bercita-cita besar
hendak membuat rapi seluruh kepala umat manusia, dia tetap dibayar. Tapi aku
bisa memilih harus menerima bayaran dari siapa dan apa targetnya. Aku mengingat
semua korbanku, Bujang. Apakah aku bisa tidur nyenyak setelah menembak mereka.
Bisa. Aku tidak akan membiarkan perasaan bersalah, atau orang lain
menghakimiku, karena mereka tidak berhak melakukannya, judgement. Biarlah Tuhan
kelak yang menghakiminya. Apakah aku memang seorang pembunuh terkutuk atau
bukan. Apakah aku orang jahat atau segala sesuatu memang ada alasannya di dunia
ini, kenapa dia harus hidup atau mati, biarlah itu urusan nanti.
“Aku tidak sedang mencari redemption, atonement dengan pergi ke
gereja, juga dengan aktivitas sosial, mengurus anak-anak gelandangan itu,
Bujang, aku hanya memberikan mereka jalan, agar mereka juga menemukan alasan
dalam kehidupan mereka. Seperti aku menemukan alasan dengan pistolku.”
Intonasi suara Salonga terdengar santai.
“Aku tetap tidak memahaminya, Salonga.” Aku meletakkan botol air.
Salonga tertawa, melambaikan tangan.
“Aku lahir miskin di kawasan Tondo, kota Manila. Sebuah kawasan
super-padat di ibukota Filipina, Bujang. Kamu tahu persis tempat itu. Gang-gang
kumuh, jalan sempit, rumah menempel rapat satu sama lain, bau pengap dari
got-got, dengan ratusan tindak kriminal terjadi setiap hari di atasnya. Aku
besar di jalanan yang keras. Sejak kecil aku sudah belajar memukul, mencuri.
Hingga usiaku dua belas, seseorang berbaik hati mengangkatku menjadi anak. Aku
akhirnya menemukan kasih-sayang keluarga. Nanay—ibu angkatku, demikian aku memanggilnya,
merawatku. Tatay—ayah angkatku, menyekolahkanku. Aku kembali menjadi anak yang
baik. Pagi sekolah, siang membantu menjaga toko kelontong mereka.
“Enam bulan di sana, hidupku mendadak berubah lagi. Suatu sore, ada
dua preman Tondo memaksa meminta uang di toko Tatay, mereka mabuk berat, Tatay
telat menyerahkan uangnya, mereka mengamuk. Tatay dan Nanay tewas ditembak
persis di hadapanku. Dua preman itu terkekeh, menendang tubuh Tatay dan Nanay,
lantas pergi. Tondo di jaman itu adalah neraka jalanan, polisi tidak berani
menangkap preman berkuasa di sana.
“Kejadian itu….” Salonga mendongak menatap langit-langit pesawat jet,
“Ternyata adalah jalan Tuhan memanggilku, Bujang. Dia datang dalam sebuah
mimpi, menyerahkan sepucuk pistol. Tubuhku pendek, gempal, aku tidak cocok
menjadi tukang pukul seperti Bapakmu, tapi ajaib sekali, aku tidak perlu
belajar saat menyentuh pistol. Aku mahir seketika. Besok sore, selepas Tatay
dan Nanay dikuburkan, aku membawa pistol itu, mendatangi rumah preman tersebut
sendirian. Menembak jantung mereka, membuat dua preman itu tewas di tempat
bahkan sebelum menyadari apa yang menembus dada mereka. Sejak saat itu aku tahu
alasan hidupku. Pistol adalah alasan yang diberikan oleh Tuhan.”
Aku menghembuskan nafas, “Itu tetap bukan sebuah kebenaran, Salonga.
Itu lebih mirip pembenaran yang naif.”
“Naif? Jika demikian, baik, akan kujelaskan lebih mudah.” Salonga
mengubah posisi duduknya, menghadap ke samping, “Apakah menurutmu Tauke Besar
yang membesarkanmu adalah orang baik? Orang lurus?”
“Jelas tidak. Dia bandit. Kepala Keluarga Tong.”
“Tidak. Tidak. Maksudku bukan itu, Bujang.” Salonga menggeleng,
“Maksudku adalah, apakah menurutmu Tauke Besar adalah orang baiknya diantara
keluarga penguasa shadow economy lainnya? Dia adalah jagoan terhormatnya,
sementara Lin, Master Dragon, El Pacho dan yang lain adalah penjahatnya?”
Aku terdiam. Mencerna kalimat Salonga.
“Atau apakah menurutmu Basyir yang mengkhianati Tauke Besar adalah
penjahatnya? Basyir yang orang-tuanya dibunuh oleh Tauke Besar, padahal mereka
hanya berada di tempat yang salah, waktu yang salah, adalah penjahat? Sementara
Tauke Besar adalah orang lurusnya karena dia punya alasan mulia sedang
melakukan ekspansi Keluarga Tong?”
Aku terdiam lagi.
“Jawabannya tidak, Bujang. Kamu boleh saja begitu hormat, kagum,
respek kepada Tauke Besar yang mendidikmu. Kamu boleh saja meneriakkan namanya
dengan begitu agung. Tapi dia tidak lebih baik dibanding penjahat lainnya.”
“Coba perhatikan nama ‘Keluarga Tong’. Apakah kamu tahu siapa yang
bernama Tong di keluarga itu. Tidak ada. Tauke Besar bukan itu namanya. Tauke
Besar sebelumnya, bapak darinya juga bukan itu. Kenapa tidak ada nama Tong tersebut?
Karena dia telah mati. Tong, pendiri pertama keluarga tersebut telah tewas
dalam perebutan kekuasaan di ibukota provinsi. Siapa yang membunuhnya? Tauke
Besar sebelumnya. Dia mengkhianatinya dengan cara yang amat licik, Tong mati.
Nama dan keluarganya diambil alih oleh Tauke Besar. Hanya karena Tauke Besar
menang, maka sejarah mencatat dialah orang-orang terhormatnya. Lain jika dia
kalah, dia akan dicatat seperti Basyir. Pengkhianat rendahan.”
“Usiaku sudah tujuh puluh tahun, Bujang. Dalam beberapa kali kita
bertemu di Tondo, aku selalu bilang bahwa entah apalagi yang sebenarnya dikejar
oleh Keluarga Tong. Berlarian, tidak pernah berhenti. Keluarga kalian telah
menguasai banyak hal. Tauke Besar terus merasa kurang, kurang dan kurang,
hingga saat terbaring sakit di ranjang sekalipun dia tetap ambisius. Boleh jadi
langit adalah batasnya. Dia terobsesi sekali menjadi lebih besar dibanding
Bapaknya, hingga lupa, kerajaan yang dia pimpin adalah hasil curian dari milik
dan nama orang lain. Apa poinnya dia melakukan itu? Dia tidak pernah menemukan
alasan hidupnya—selain terus rakus tak mau berhenti.”
“Di dunia shadow economy, batas antara orang lurus dan jahat tidak
ada, Bujang. Apakah kamu merasa menjadi orang lurus saat mengalahkan Basyir,
Bujang? Apakah kamu merasa berhak menggagalkan Basyir membunuh Tauke Besar,
seseorang yang secara keji membunuh keluarganya dulu. Basyir hendak balas
dendam, tidak lebih tidak kurang. Dia berhak melakukannya. Itu pertanyaan
milikmu sekarang. Termasuk kemana kamu akan pergi sekarang. Kemana Keluarga
Tong akan dibawa pergi. Guru mengaji itu benar sekali mengatakan hal tersebut.”
Salonga diam sebentar, menatapku lamat-lamat.
Kabin pesawat jet lengang.
“Lantas kenapa kamu menolongku mengalahkan Basyir jika itu tidak
benar, Salonga? Kamu sendiri yang datang membawa pasukan berpistol dari Tondo.”
Aku bertanya.
Salonga terkekeh, “Itu pertanyaan bagus, Bujang. Meski retoris.
Pertama, aku butuh refreshing, sudah lama tidak terjun ke peperangan besar.
Kedua, aku berhutang nyawa kepada Keluarga Tong saat Tauke menyelamatkanku dari
tiang gantungan. Ketiga, kamu adalah muridku. Keempat, alasan yang paling
penting, karena aku bosan melihat siklus itu tidak pernah berhenti.
Pengkhianatan. Berganti lagi dengan pengkhianatan. Seperti lorong tanpa ujung.
Posisimu unik, Bujang. Kamu adalah satu-satunya penguasa kepala keluarga yang
tidak dilahirkan oleh pengkhianatan. Dan kamu tidak menginginkan kekuasaan
tersebut. Hingga detik terakhir kematian Tauke Besar, kamu menolak menjadi
kepala Keluarga Tong. Itulah yang membuatku datang, termasuk hingga sekarang,
tetap menemanimu, padahal di Tondo ratusan murid menungguku. Aku berharap
banyak padamu, Bujang. Sama seperti guru mengaji itu, dia berharap banyak.”
“Dan bicara tentang guru mengaji itu, apakah menurutmu dia sesuci yang
terlihat. Maksudku, yeah, dia memang baik, lurus, aku menjamin seratus persen
hidupnya tidak pernah menyakiti orang lain, hatinya bersih, berakhlak dan
bermanfaat banyak. Tapi siapa yang menyuruhmu mengambil alih kekuasaan dari
Basyir? Dia. Siapa yang bersedia mengawasimu, membantumu diam-diam. Dia. Siapa
yang menyemangatimu saat dalam posisi terendah. Dia. Guru mengaji itu secara
tidak langsung, menempatkanmu dalam posisi sebagai kepala keluarga bandit
besar. Aku yakin, setiap malam, dia pasti akan memikirkan hal itu, bahwa dia
berkontribusi. Tapi dia tidak punya pilihan lebih baik. Dia telah terlibat
dalam urusan ini persis ketika Samad menikah dengan Mamak-mu, dan seorang anak
bernama Agam, kelak berjulukan Si Babi Hutan, lahir ke muka bumi. Itu alasan
yang diberikan oleh Tuhan kepadanya. Nah, boleh jadi, fakta bahwa Samad punya
anak di pernikahan pertamanya, munculnya kakakmu di Meksiko, itu adalah alasan
hidupmu. Akhirnya kamu menemukannya, Bujang. Alasan. Atau dalam istilah guru
mengaji itu: ‘pergi’. Kemana kamu akan pergi? Ah, kata ‘pergi’ lebih cocok
menjadi judul sebuah novel dibanding ‘alasan’.”
Aku terdiam, menatap botol air mineral.
Percakapan ini, entah kenapa Salonga turut membawa nama Tuanku Imam.
Dia juga membahas tentang filosofi kehidupan—seolah hidupnya sudah paling benar
sejagad raya. Aku benci percakapan seperti ini—meski poin-poin di dalamnya
berisi sesuatu yang mau tidak mau terus bertalu-talu muncul di kepalaku. Aku
pikir dengan menjadi Tauke Besar, berdamai dengan masa lalu,
pertanyaan-pertanyaan itu akan hilang, alih-alih, pertanyaan itu semakin
banyak.
“Aku tadi hanya bertanya satu hal sederhana, Salonga.” Aku akhirnya
berkata pelan, meluruskan kaki, “Tapi percakapan ini kemana-mana akhirnya. Aku
bertanya, apakah kamu memang merasa hidupmu selurus itu, Salonga. Hanya itu.”
____________________
bersambung ke Bab 10
Komentar
Posting Komentar