Bab 4. Historia de un Amor
Pesawat jet terus melintasi Samudera Pasifik.
Di luar jendela hanya bulan purnama yang terlihat. Di ketinggian tiga
puluh ribu kaki, purnama terlihat besar, terang, seperti bisa diraih dari
jendela pesawat.
“Aku tidak mengenal bapakmu Samad secara dekat, Bujang.” Salonga
meluruskan kaki, “Aku hanya pernah bertemu beberapa kali saat
Tauke Besar masih yang dulu. Dan Keluarga Tong masih ada di Ibukota Provinsi,
masih berkutat bisnis penyelundupan, belum sebesar sekarang.”
“Usiaku masih dua puluh tahunan, bertemu pertama kali dengannya. Waktu
itu, Tauke Besar memintaku menyelesaikan sebuah tugas bersama Samad. Aku datang
langsung dari Manila, dijemput di bandara, di bawa ke markas Keluarga Tong,
berkenalan. Itu pertemuan yang sangat mengesankan. Samad, kepala tukang pukul
Keluarga Tong. Sosoknya tinggi besar, wajahnya tampan, suaranya tegas
berwibawa, pintar, dan pandai berkelahi. Usianya lebih tua beberapa tahun
dariku. Kami disuruh menyerbu gudang penyelundupan minyak, ada pesaing baru
Keluarga Tong di Ibukota Provinsi, itulah tugas dari Tauke. Pesaing ini
memiliki para penembak jarak-jauh terlatih, itulah tugasku, berjaga dari tower
air seberang jalan, menghabisi mereka sebelum penyerangan, sementara Samad dan
tukang pukul lain menyerbu di bawah.”
“Misi malam itu berjalan kacau balau, aku memang bisa
menjatuhkan empat sniper di atas gudang tempat drum-drum minyak mereka, tapi
ternyata di dalam gudang besar itu, juga terdapat penembak jitu yang
ditempatkan diam-diam. Saat Samad dan tukang pukul menyerbu masuk,
selain harus berhadapan dengan tukang pukul lawan berpisau besar, mereka
mendapatkan masalah serius dari atas. Satu-persatu tukang pukul Keluarga Tong
jatuh oleh tembakan. Bersembunyi dibalik drum percuma, penembak jitu ada di
empat sisi. Aku segera berlarian turun dari tower air, hendak membantu masuk ke
dalam gudang. Tapi itu terlambat, jarakku nyaris seratus meter, belum lagi
gerbang telah kembali dikuasai tukang pukul lawan.
“Situasi genting, saat kami akan habis dibantai, Samad berteriak
menyemangati anak buahnya, lantas dia sendiri, yang merangsek menaiki anak
tangga, menuju dinding gedung, menghabisi satu persatu penembak jitu itu dengan
pisaunya. Itu tindakan nekad yang susah dipercaya. Dia berhasil melewati hujan
peluru, dua peluru memang mengenai bahu Samad, juga menyerempet dadanya, tapi
dia berhasil. Tanpa ancaman dari penembak jitu lagi, anak buah Samad ikut
berteriak buas, terinspirasi, keluar dari balik drum, situasi menjadi berbalik
seratus delapan puluh derajat, mereka kembali menguasai pertempuran. Aku juga
sudah bisa melewati gerbang, ikut membantu menghabisi tukang pukul lawan.”
Salonga diam sejenak, meraih botol air mineralnya, menenggak habis.
White, Yuki dan Kiko mendengarkan takjim, kaleng soft drink mereka sudah
kosong. Apalagi aku, sejak tadi aku menyimak setiap kata dari Salonga.
“Buruk sekali kondisi Samad. Tubuhnya bermandikan darah, pisaunya
apalagi. Tapi malam itu, aku menyaksikan sendiri kehebatannya. Dia adalah
petarung jarak dekat yang sangat mematikan. Anak buahnya mengelu-elukan Samad.
Kami menang. Keluarga Tong menguasai kembali lokasi penyelundupan minyak di
Ibukota Provinsi.”
“Kami kembali ke markas Keluarga Tong, Tauke Besar tertawa
menepuk-nepuk pipi kami satu persatu, lantas lama sekali dia memeluk Samad.
Membiarkan pakaiannya ikut bersimbah darah. Seperti memeluk saudara kandung
sendiri. Malam itu juga kami merayakan kemenangan besar. Saat duduk bersama
Tauke Besar, mendengar cerita dari Tauke, aku tahu, jika Samad adalah putra
dari Si Mata Merah. Jagal terbesar di pulau Sumatera. Nama itu sohor sekali,
bahkan hingga Manila—aku pernah mendengar nama tersebut.”
“Mata Merah? Itu julukan?” Yuki bertanya.
“Yeah, itulah Bapaknya Samad, atau Kakek-nya Bujang. Matanya selalu
merah, seperti ada gumpalan darah di sana, dari situ julukan tersebut berasal.
Tapi itu bukan hal paling mengerikan dari Mata Merah. Melainkan, bisikkan
namanya di kedai makan sebuah kota, maka bergegas seluruh penduduk kota masuk
ke dalam rumah, menutup pintu rapat-rapat. Sebutkan namanya iseng di
balai-balai bambu sebuah kota, maka terbirit-birit orang tua meneriaki anaknya
pulang, mengunci jendela dan pintu. Mengerikan sekali reputasinya. Kejam, tidak
ada ampun, menghabisi siapapun yang menghalanginya.”
“Samad, memiliki ambisi lebih besar lagi dibanding Mata Merah,
Bapaknya. Samad bermimpi menjadi tukang pukul terbesar di seluruh negeri, bukan
hanya seluruh Pulau. Dan dia bekerja di Keluarga Tong, yang juga punya ambisi
menjadi keluarga terbesar di seluruh negeri. Itu cocok satu sama lain. Dua
ambisi bertemu, saling melengkapi. Sejak saat itu, Keluarga Tong mulai
memperbesar pengaruh, mereka tetap jadi pemain di Ibukota Provinsi, tapi
jaringan mereka mulai menyebar hingga Malaysia, Singapura, Filipina. Kali kedua
aku bertemu dengan Samad saat Tauke Besar berkunjung ke Singapura dua tahun kemudian,
itu pertemuan tidak disengaja, aku sedang dalam misi menghabisi seorang
politisi setempat, sedangkan Tauke Besar datang membicarakan tentang membeli
kapal kargo. Kami kebetulan menginap di hotel yang sama. Pertemuan kebetulan
yang menyenangkan.
“Bukan main, aku dulu hanya melihat Samad dengan pakaian jagalnya,
kaos putih lengan pendek, celana kain seadanya, sandal jepit, membawa pisau. Di
Singapura, saat menemani Tauker Besar, Samad mengenakan kemeja lengan panjang
terbaik, jas berwarna gelap, celana kain kualitas nomor satu, sepatu disemir
mengkilat, dengan sabuk mahal. Bukan main, dia lebih mirip aktor ternama
Hollywood dibanding tukang pukul. Wajahnya tampan berkarisma, rambutnya disisir
rapi, senyumnya memesona dan dia….” Salonga terkekeh pelan sejenak, mengenang
masa lalu itu.
“Dan dia apa, Tuan Salonga?” Yuki bertanya tidak sabaran.
“Dia belajar bahasa asing dua tahun terakhir, Yuki. Samad telah
menguasai bahasa Inggris dan Spanyol. Tidak lancar, tapi itu lebih dari cukup
untuk membuat orang lain terkesan. Aku juga baru tahu jika dia pandai bermain
gitar dan bernyanyi. Saat kami makan malam di sebuah restoran ternama di
Singapura, Tauke Besar mengajakku merayakan pertemuan kami, saat kami asyik
makan di sebuah restoran Spanyol, bahkan gadis-gadis yang kebetulan sedang
makan malam di sana, berseru-seru, jejeritan, ketika Samad entah apa yang ada
di kepalanya, mendadak menawarkan diri menggantikan penyanyi yang bertugas
menghibur pengunjung. Samad memetik gitar dan bernyanyi lagu ‘Historia De Un Amor’
di atas panggung. Astaga—”
“Dia pandai sekali menyanyikan lagu itu. Pengunjung restoran
mengelu-elukannya. Satu-dua meminta foto bersama. Jika aku berdiri di sebelah
Samad, tubuhku pendek, gempal, aku lebih mirip kurcaci jelek dibanding Bapakmu,
Bujang,” Salonga tertawa, mengusap wajahnya, “Tapi itulah Bapakmu, dia seorang
flamboyan, dia seorang gentleman. Aku tahu, dia bukan play boy, syukurlah, dia
tidak mempermainkan wanita, tapi dengan semua yang dia miliki, lumrah saja jika
banyak wanita yang jatuh cinta padanya. Dia tukang pukul hebat, bekerja pada
keluarga kaya, tambahkan bad boy, dalam situasi tertentu itu menambah
pesonanya.”
“Aku masih beberapa kali lagi bertemu dengan Samad, di Hong Kong, di
Makau, dalam beberapa misi dan tugas. Dia tumbuh semakin hebat, reputasinya
kemana-mana, menjadi jagal nomor satu Keluarga Tong, orang kepercayaan Tauke
Besar…. Aku tahu dia bekerja dengan Keluarga Tong selama lima belas tahun,
hingga terbetik kabar sedih hingga ke Manila, jika sebuah pengkhianatan telah terjadi,
markas Keluarga Tong di Ibukota Provinsi diserbu, Samad berhasil mempertahankan
kehormatan Keluarga Tong, tapi harganya mahal. Tauke Besar tewas, semua anggota
keluarganya tewas, menyisakan Tauke Muda, yang kemudian naik pangkat, Tauke
Muda yang menjadi ayah angkatmu, Bujang. Sementara Samad, kakinya lumpuh, dia
tidak lagi bisa jadi tukang pukul, pesonanya memudar, era-nya berakhir
bersamaan dengan tewasnya Tauke Besar.
“Menurut kabar yang kudengar dari Kopong, Samad kemudian memutuskan
pulang ke tanah kelahirannya, menikah dengan gadis yang sejak kecil dia sukai.
Tinggal di pedalaman rimba Sumatera, menjadi petani. Entahlah, apakah dia
pintar bertani atau tidak, dia hendak memukuli siapa di sana, memukuli batang
padi mungkin. Kisahnya di dunia hitam berakhir sejak itu. Aku tidak tahu lagi
kabar beritanya lima belas tahun berlalu, hingga mendadak Tauke Muda, maksudku
yang telah menjadi Tauke Besar menyelamatkanku dari hukuman mati di Manila, dia
membawaku ke negara kalian, lantas bilang di kantornya, ‘Ajarkan anak Samad
menembak, Salonga!’ Mataku membesar mendengar kalimat itu. Samad punya anak?
Itu kejutan, seperti apa anaknya? Apakah sehebat Bapaknya. Dan aku bertemu
denganmu, Bujang, nasib, murid paling bebal selama hidupku.”
Kiko reflek tertawa—Yuki menyikutnya.
“Hei, tapi itu benar kan? Bujang murid paling bebal. Tuan Salonga yang
bilang. Aku percaya itu.” Kiko menyeringai lebar.
Yuki melotot—ini bukan saatnya bergurau. Kami sedang membahas
kehidupan Bujang. Kisah orang tuanya, tidak pantas bergurau dalam pembicaraan
seserius ini. Hanya Salonga yang boleh begitu—karena dia yang bercerita.
“Maka, Bujang,” Salonga mengabaikan tawa Kiko, “Jika
orang bertopeng tadi adalah kakak-mu, dia memanggilmu little brother,
kemungkinan terbesarnya adalah Samad pernah menikah dengan seorang gadis
sebelum dia pulang ke tanah kelahirannya, sebelum dia menikah dengan Ibumu. Dan itu sangat
masuk akal. Panjang sekali antrian gadis yang jatuh cinta pada Bapakmu itu,
Bujang. Mungkin satu diantaranya, akhirnya berhasil melelehkan hatinya yang
membantu. Mungkin satu diantaranya berhasil membuat Bapakmu bertekuk lutut.”
Aku tetap diam, menyisir rambut dengan jemari. Mencerna cerita
Salonga.
Salonga benar, itulah kemungkinannya. Lima belas tahun di Ibukota
Provinsi, lima belas tahun menjadi tukang pukul Tauke Besar, apapun bisa
terjadi, termasuk menikah dan punya anak.
“Tapi bagaimana anak itu bisa tinggal di Meksiko, Tuan Salonga?” Yuki
bertanya.
“Aku tidak tahu.” Salonga mengangkat bahu, “Tapi jangan lupakan fakta,
dunia ini kecil bagi keluarga shadow economy, Yuki. Empat puluh tahun lalu,
penerbangan antar benua juga sudah ada, akses ke berbagai negara tersedia.
Boleh jadi Samad berkenalan dengan gadis Spanyol di negara yang dia kunjungi
bersama Tauke Besar, menikah, kemudian gadis itu pindah ke Meksiko. Atau
kemungkinan lainnya, boleh jadi anak itu punya leluhur di Meksiko dari garis
Ibunya. Tapi menilik postur tubuhnya, tatapan matanya, pandainya dia bermain
gitar, jika topeng itu dilepas, aku bisa membayangkan, anak itu memang kental
mewarisi darah Samad. Boleh jadi itulah alasannya kenapa dia muncul di sana
dengan topeng, agar wajah miripnya dengan Samad tidak membuat Bujang kaget.”
Yuki mengangguk. Itu masuk akal.
Kursi-kursi pesawat jet lengang sejenak.
Salonga bersidekap, menatap langit-langit kabin.
“Alangkah hebat kisah cinta Bapakmu, Bujang.” Kiko akhirnya bergumam,
“Ini bahkan lebih hebat dibanding telenovela.”
Yuki lagi-lagi menyikut lengan saudara kembarnya.
“Hei, benar kan? Boleh jadi nama Ibu Tiri Bujang itu adalah Maria
Mercedes? Dan boleh jadi nama lengkap Bapak Bujang itu adalah Samad Fernando.”
“Astaga, Kiko. Berhenti bergurau.” White berseru galak, “Kita sedang
membicarakan orang tua Bujang. Lihatlah, sejak tadi Bujang hanya diam. Ini
sesuatu, eh sesuatu yang sangat emosional baginya. Ini menyedihkan. Dia tidak
tahu kalau punya seorang kakak. Dan kamu hanya cengengesan tertawa. Dasar tidak
sopan.”
Aku mengusap wajahku. Menghela nafas perlahan.
“Jika kamu ingin menangis, silahkan saja, Kawan. Tumpahkan saja.” White
menepuk-nepuk bahuku, berusaha menghibur.
Aku melotot ke arah White. Siapa yang hendak menangis?
“Eh, kamu tidak sedih, Bujang?” White menatapku serba-salah.
Aku menurunkan tangan White dari bahuku. Aku tidak sedih.
Kisah lama ini justeru membuatku marah.
Tidak ada sepotong pun kenangan baik yang kuingat dari Bapak. Dia
hanya selalu membuat Mamak menangis di talang terpencil—hingga Tauker Besar
menjemputku. Aku tidak pernah dekat dengan Bapak, dia sering memukulku jika aku
melanggar peraturannya, apalagi saat mengetahui aku belajar mengaji pada Mamak,
belajar ilmu agama, pernah dia menangkap basah aku yang sedang belajar adzan,
tak pelak dia langsung berteriak marah bagai babi terluka, memecut punggungku
dengan rotan berkali-kali, membuat Mamak hanya bisa menangis menyaksikannya.
Aku juga pernah dihukum berdiri di luar rumah panggung semalaman. Hujan turun
deras, tubuhku menggigil kedinginan, tak semili daun pintu dibuka untukku,
hanya karena Bapak menemukanku sedang membuka buku belajar shalat yang diberikan
Mamak. Buku itu dibakar Bapak. (Kisah ini ada di Novel PULANG)
Dan sekarang aku tahu, Bapak kemungkinan besar pernah menikah dengan
seseorang sebelum pulang ke Talang, rimba pedalaman Sumatera. Itu bukan kisah
yang menyenangkan, apalagi menyedihkan. Omong kosong. Jika aku masih bisa
bertanya, aku hendak berteriak pada Bapak, apakah Mamak tahu fakta tersebut,
apakah Bapak pernah bercerita terus terang jika dia punya anak dengan istri
sebelumnya? Lantas di mana istrinya tersebut? Apakah Bapak tahu tentang
anaknya? Boleh jadi Bapak meninggalkannya begitu saja. Sama seperti dia
menganggapku tidak penting, memukuliku, meneriaki Mamak. Kenangan itu melesat
berkumpul di kepalaku. Mamak yang memelukku, melindungiku, sambil berbisik,
“Minta maaf, Bujang. Minta maaf kepada Bapak-mu. Berlutut….” Hal paling
membahagiakanku selama hidup di Talang adalah: saat Tauke Besar menjemputku.
Aku berlarian meninggalkan Bapak—bahkan saat Mamak menangis terisak tidak rela
melepasku, aku tetap berlarian pergi.
Pesawat jet terus melintasi Samudera Pasifik.
Aku menatap keluar jendela. Gumpalan awan hitam menutup bulan purnama.
Menghela nafas perlahan. Aku tahu kehidupan Bapak rumit. Ambisinya.
Kisah cintanya. Dia bukan orang yang sempurna, hidupnya dipenuhi kekecewaan.
Aku tahu, lebih banyak luka di hati Bapakku dibanding di tubuhnya. Juga
Mamakku, lebih banyak tangis di hati Mamakku dibanding di matanya.
Tapi sekarang, aku tidak tahu lagi, berapa banyak air mata yang pernah
disebabkan oleh Bapak dalam kehidupannya.
__________________________________________________________________
saya tahu, pembaca suka googling jika menemukan hal baru. Biar tidak repot, saya berikan saja link lagu “Historia de un amor”, https://www.youtube.com/watch?v=u5g6AExjoUM, kalian bisa setel lagu ini setiap kali baca episode khusus membahas tentang masa lalu Bapak dan Kakak Bujang.
__________________________________________________________________
bersambung ke Bab 5
Komentar
Posting Komentar