Bab 6. Interogasi Tingkat Tinggi


Pesawat jet mendarat mulus di bandara lima jam kemudian. Pukul dua siang.

Dua mobil jeep hitam metalik dengan kaca anti peluru merapat di anak tangga pesawat. Kami segera naik, Salonga duduk di kursi depan, Aku dan Kiko di tengah, White dan Yuki di kursi belakang. Mobil satunya mengawal di belakang, ada enam tukang pukul Keluarga Tong bersenjata lengkap di sana, bersiap atas segala kemungkinan.

Aku mengenali pengemudi mobil yang kunaiki, salah-satu Letnan, Payong. Usianya masih dua puluh tahun, ikut Keluarga Tong sejak umur enam tahun, Tauke dulu yang merekrutnya langsung, asalnya satu kampung dengan Kopong. Otaknya cerdas, ototnya kuat, jangan tanya hatinya. Se-muda itu dia telah menduduki posisi tinggi, salah-satu bintang terang Keluarga Tong. Rekor Letnan paling muda.

“Togar menunggu di kantor pusat bank, Tauke Besar.” Payong memberitahu.

“Segera menuju ke sana.”

“Pronto, Tauke Besar.”

Jalanan kota macet, Payong gesit membawa mobil meliuk kesana-kemari. Konsentrasi penuh. Jeep satunya terus mengikuti.

“Apakah bom itu sudah berhasil ditangani?”

“Sudah, Tauke Besar. Bom sudah dipindahkan ke lokasi aman.” Payong mengangguk, tangannya tetap kokoh di kemudi, matanya awas menatap depan, “Kami juga sudah berhasil menangkap Chen, dia hendak kabur ke luar negeri. Sekarang dia ditahan di kantor pusat bank.”

Aku mengangguk. Itu dua kabar baik sekaligus.

“Aktivitas kantor juga telah dibuka sejak pukul dua belas, Tauke Besar. Hanya bagian basemen yang masih di-isolir, tidak ada yang boleh mendekat. Kebocoran gas, berbahaya bagi siapapun, itu alasannya.”

Aku mengangguk lagi. Meluruskan kaki. Dengan macet di jalanan, mungkin butuh setengah jam tiba di kantor pusat bank. Aku bisa istirahat sejenak.

“Hei, kamu, siapa namamu?” Kepala Kiko lebih dulu melongok ke depan.

“Payong, Nyonya.”

“Astaga, aku dipanggil Nyonya.” Kiko menepuk dahinya, “Apakah aku terlihat seperti ibu-ibu, heh? Bawa gelang emas sekilo, menor? Lihat, penampilan kami sangat modis dan berjiwa muda. Berapa sih usiamu?”

“Jangan ganggu dia, Kiko.” Aku menegur.

“Eh, aku hanya bertanya, Bujang, siapa yang mengganggu.” Kiko memperbaiki bando hello kitty-nya.

Aku melotot—alamat aku tidak bisa istirahat jika Kiko berisik.

“Berapa usiamu, Payong?” Kiko tetap menjulurkan kepala ke depan.

“Dua puluh tahun, Ma’am.” Payong menjawab—dia lebih dari pandai bercakap bahasa Inggris.

“Kalau begitu, jangan panggil Ma’am. Panggil Kakak, oke? Kakak Kiko. Nah itu yang di belakang Kakak Yuki. Paham, Adik Payong?” Kiko tertawa—dia jelas memang sengaja menjahili Payong.

“Pronto, Kakak Kiko. Aku akan memanggil demikian.” Payong menjawab mantap. Sama sekali tidak ada perubahan ekspresi di wajahnya. Tetap konsentrasi mengemudi.

Kiko terdiam, menyelidik, “Eh, hanya begitu saja tanggapanmu?”

Payong mengangguk. Iya, hanya begitu saja.

Kali ini Kiko kena batunya, tidak semua orang akan bereaksi atas tingkahnya. Jangan coba-coba menjahili Payong, dia sama seperti Kopong dulu. Dingin. Tenang. Selalu fokus.

“Tidak asyik mengobrol denganmu, Payong.” Kiko merebahkan lagi punggung di sandaran kursi. Yuki tertawa di belakang.

Aku meluruskan kaki kembali, nampaknya aku bisa istirahat sebentar.

***
Mobil jeep langsung meluncur ke basemen gedung empat puluh lantai. Basemen yang biasanya digunakan untuk parkiran lengang, hanya ada beberapa mobil Keluarga Tong di sana. Pembatas jalan terpasang di ramp, tanda dilarang masuk ada di setiap sudut.

Togar menungguku turun. Ada beberapa Letnan menemaninya.

“Di mana Chen?” Aku bertanya.

“Ruang security, Tauke Besar.”

Aku mengangguk, melangkah menuju ruangan itu.

“Empat jam terakhir, dia sama sekali tidak mau bicara.”

Tentu saja. Aku mengangguk.

“Di mana mereka menaruh bom?”

“Mereka meletakkan empat mobil van berisi instalasi bom di sebelah empat tiang utama gedung. Sekali bom itu meledak, tiang runtuh, gedung hancur.” Togar menjelaskan.

Aku mengangguk lagi, sambil terus berjalan cepat menatap sekitar, mobil van itu telah dibawa pergi, bom telah dijinakkan.

Salah-satu tukang pukul membuka pintu ruangan tujuan.

Ruangan security itu tidak besar, hanya enam kali enam meter. Itu tempat petugas keamanan dan parkir gedung beristirahat, yang sekarang disulap menjadi tempat interogasi.

Ada empat tukang pukul berjaga di sana, Chen didudukkan di kursi dengan tangan dan kaki terikat. Wajahnya sembab, hidungnya patah, mulutnya berdarah. Kemejanya juga kotor oleh bercak darah. Togar nampaknya kesulitan memaksa dia bicara.

“Lepaskan ikatan tangannya.” Aku menyuruh.

Salah-satu tukang pukul melangkah maju, melepas ikatan.

Kondisi Chen buruk. Tapi dia masih bisa bicara. Kepalanya mendongak saat ikatannya di lepas. Menatapku dengan mata bengkak. Tatapan benci. Aku berdiri dua langkah darinya.

“Hallo, Chen.” Aku balas menatapnya.

Dia mendengus pelan.

“Sejak kapan Master Dragon menjadikanmu mata-mata, Chen? Sebelum bergabung dengan Keluarga Tong, atau setelah itu?”

Dia mendengus kasar. Tidak menjawab.

Aku mengangguk. Itu ‘boleh jadi’ berarti sebelum bergabung. Dia telah disiapkan jauh-jauh hari, jika demikian itu juga berarti sudah besar informasi yang dia bocorkan ke Hong Kong.

“Apa sebenarnya rencana Master Dragon, Chen?”

Cuih! Dia meludah ke depan. Payong hendak meninju wajahnya, aku segera mengangkat tangan, menahannya. Aku masih punya cara lain mengeduk informasi darinya, tidak perlu dengan kekerasan. Melainkan cara yang lebih berkelas, interogasi tingkat tinggi.

“Apakah orang-orang Master Dragon diam-diam telah tiba di sini, Chen?”

Chen menggeram.

“Berapa jumlahnya? Banyak? Sedikit? Tim Utama? Tim pendahulu?”

Chen menggeram lebih kencang di ujung kalimatku.

“Orang-orang El Pacho?”

Chen meludah. Cuih!

“Keluarga Lin?”

Chen mendengus lagi.

Respon dari Chen hanya dengusan dan geraman, dan atau meludah.

“Ada keluarga lain yang ikut membantu Master Dragon?”

Cuih! Chen meludah lagi.

Aku tersenyum, “Baik. Terima kasih banyak atas informasinya, Chen.”

Wajah Chen merah-padam. Aku tahu maksud ekspresinya, dia merasa sama sekali tidak menjawab atau memberikan informasi apapun. Bagaimana mungkin, aku justeru bilang terima kasih atas informasinya. Dia hanya diam sejak tadi. Tidak berkata sepatah kata pun.

Aku melangkah maju, menepuk-nepuk pipinya, “Tanpa kamu sadari, kamu jelas telah menjawab pertanyaanku.”

Wajah Chen semakin merah padam. Dia separuh bingung, separuh marah.

Aku tertawa, “Baiklah, akan kujelaskan agar kamu mengerti. Aku bertanya, sejak kapan kamu dijadikan mata-mata, jawabanmu adalah mendengus. Itu bisa “iya” juga bisa “tidak” maksudnya. Tapi aku punya pertanyaan jebakan, aku bertanya, apa sebenarnya rencana Master Dragon, jawabanmu meludah. Well, aku segera menemukan polanya. Meludah adalah respon negatif, tidak. Mendengus, menggeram adalah iya. Kemudian kita mulai bercakap-cakap. Apakah orang-orang Master Dragon telah di sini. Kamu menjawabnya ‘iya’. Berapa jumlahnya? Kamu menggeram kencang saat aku menyebut Tim Pendahulu, itu berarti masih tim awal. Apakah orang-orang El Pacho juga datang? Kamu meludah, itu berarti ‘tidak’. Masuk akal, tentu merepotkan bagi El Pacho mengirim sumber daya ke sini, mereka sendiri sedang berperang dengan sindikat narkoba Kolombia. Keluarga Lin? Kamu menjawab “iya” dengan mendengus. Ada keluarga lain di luar itu? Kamu menjawab “tidak”, dengan meludah.”

“Nah, aku sudah mendapatkan informasi penting yang hendak kuketahui, Chen. Aku tahu semua itu dari jawabanmu, bahwa sejauh ini, hanya El Pacho dan Lin yang bersekutu dengan Master Dragon, yang lain belum. Empat keluarga lain belum mengambil sikap, atau boleh jadi berseberangan dengan Master Dragon. Inilah yang disebut dengan interogasi tingkat tinggi, Chen. Kita tidak selalu harus meninju, menggunting, atau memotong badan seseorang agar dia mau bicara, dan lihatlah, kamu telah bicara. Efektif sekali. Terima kasih banyak.”

Wajah Chen terlihat marah, dia sekali lagi hendak meludahiku—lagi-lagi itu konfirmasi pola jawabannya, meludah berarti reaksi ‘negatif’ atau jawaban ‘tidak setuju’. Malang sekali nasib Chen, dia terlalu percaya diri, dia bukan hanya gagal meledakkan kantor bank pusat, dia juga membocorkan rahasia situasi terkini. Cuih— BUK!! Payong lebih dulu meninju wajahnya sebelum ludahnya mengenaiku.

Tidak ada lagi yang bisa kulakukan.

Aku segera balik kanan, beranjak meninggalkan ruangan security. Diikuti oleh yang lain, menyisakan empat penjaga ruangan security.

“KELUARGA TONG TIDAK AKAN MENANG MELAWAN MASTER DRAGON!!” Chen berteriak—akhirnya si pengkhianat ini membuka mulutnya.

Aku hanya melambaikan tangan, terus melangkah.

“KALIAN AKAN DIHABISI!!”

Aku sudah melintasi pintu ruangan.

“SI BABI HUTAN AKAN JADI BABI PANGGANG!!”

Aku tertawa. Kalimat itu, olok-olok yang lucu.

“KALIAN SEMUA—”

Pintu ruangan telah ditutup, samar teriakan Chen terdengar. Entah dia sedang mengamuk tentang apa. Ironis sekali, berjam-jam dia tidak membuka mulut, sekarang dia berteriak mengamuk saat menyadari telah melakukan kesalahan.

“Apa yang harus kami lakukan kepadanya, Tauke Besar?” Togar bertanya. Kami berjalan menuju mobil jeep.

“Biarkan dia kembali ke Hong Kong.” Aku menjawab.

“Eh?” Wajah Togar terlipat—juga Payong dan letnan lainnya. Bagaimana mungkin aku membiarkan pengkhianat bebas begitu saja.

Aku menepuk bahu Togar, “Kamu lupa, Togar. Pertama, aku sudah sepakat dengan Tuanku Imam, Keluarga Tong tidak akan membunuh kecuali kita diserang dan terpaksa melakukannya. Keluarga Tong akan berubah, bertransformasi. Kedua, yang lebih penting lagi, kenapa kita harus mengotori tangan sendiri? Biarkan dia kembali ke Hong Kong, hanya hitungan menit dia tiba di sana, tukang pukul Master Dragon akan menghabisinya. Dia gagal menjalankan tugas, posisinya sebagai pengkhianat telah diketahui, tidak akan ada yang bersedia membantunya.”

Togar diam sebentar, baru mengangguk, “Pronto, Tauke Besar.”

“Gandakan semua penjagaan di setiap lokasi bisnis Keluarga Tong, Togar. Terutama pelabuhan, kantor pusat bisnis,” Aku memberi instruksi, “Hingga masalah ini selesai, semua tukang pukul harus bertugas penuh. Pemeriksaan dilakukan berkali-kali. Hal-hal ganjil, diluar kebiasaan, mencurigakan, segera laporkan ke atas, untuk ditindaklanjuti. Berkoordinasi dengan Parwez agar semua tidak mencolok.”

“Periksa kembali satu-persatu latar-belakang Letnan, pastikan tidak ada lagi pengkhianat. Juga periksa alat komunikasi Chen, rumahnya, orang dekatnya, agar kita tahu seberapa persis informasi yang telah dia berikan, seberapa serius kerusakan yang telah terjadi. Jika Chen, misalnya, telah membocorkan daftar riset teknologi yang sedang didanai Keluarga Tong, itu berarti kita harus segera mengontak semua Kampus dan Universitas tempat riset itu berlangsung.”

Togar mengangguk mantap.

Aku menoleh, “Payong, berjaga penuh di markas besar Keluarga Tong. Itu tanggung-jawabmu, jangankan tukang pukul Master Dragon, lalat pun tidak boleh masuk. Aku tahu kamu Letnan paling muda, tapi Kopong, bahkan lebih muda dibandingmu, dia telah dipercaya menjaga keselamatan Tauke sebelumnya.”

“Pronto, Tauke Besar.” Payong menjawab, dia melangkah di belakangku.

Si Kembar berjalan di sampingku.

“Aku minta maaf terpaksa merepotkan kalian lagi, Yuki, Kiko. Kalian tidak bisa pulang segera, tetap tinggal di kota ini, membantuku. Aku akan menganggap itu tugas jangka panjang, bayaran kalian akan digandakan. Tugas kalian memeriksa semua pembunuh bayaran yang melakukan perjalanan ke negara ini. Siapapun dia, masuk dalam daftar waspada. Master Dragon jelas akan mengirim pembunuh bayaran. Dalam setiap peperangan antar keluarga, mereka selalu ada. Kita membutuhkan kewaspadaan seorang Ninja menghadapinya. Cegat dan habisi mereka sebelum melakukan apapun.”

Si Kembar mengangguk—penampilan mereka berdua yang santai memakai baju warna-warni, kontras sekali dengan rombongan yang berpakaian gelap dengan wajah serius.

“Dan White, aku juga minta maaf, Kawan. Aku meminta bantuanmu lagi. Segera kembali ke Hong Kong segera, jadikan restoranmu sebagai basis mata-mata, awasi gerak-gerik Master Dragon dan orang-orangnya di sana. Bilang ke Frank, gunakan jaringannya yang luas di diplomat pemerintahan, boleh jadi ada informasi berguna. Aku tahu, Frank sudah pensiun, tapi Keluarga Tong memanggil kesetian dan bantuan siapapun.”

“Aye-aye, Bujang.” White mengangguk, tertawa pelan, “Ayahku tidak akan keberatan, bahkan aku khawatir dia sendirian membawa senjata ke markas Master Dragon…. Aku dan ayahku akan membantumu menendang pantat Master Dragon hingga dia tidak bisa bangun lagi.”

Kami telah tiba di mobil jeep. Ini adalah briefing cepat dan efisien. Dalam situasi krisis, semua harus dilaksanakan secara taktis.

“Antar White ke bandara. Juga antar Yuki dan Kiko. Terserah mau kemana mereka, ada banyak base camp yang bisa digunakan Yuki dan Kiko, termasuk hotel bintang lima milik Keluarga Tong, peralatan, dan sebagainya Togar yang akan mengurusnya.”

Para Letnan mengangguk, dua di antaranya segera mengambil mobil.

“Semua kembali ke pos masing-masing. Laksanakan!”

Rombongan bubar jalan.

Payong berlarian kecil, hendak mengambil posisi di balik setir kemudi Jeep.

“Tidak usah. Aku akan menyetir sendiri. Kamu kembali ke markas, Payong.”

“Tauke Besar mau kemana?” Togar menatap tidak mengerti.

“Aku harus mengurus sesuatu, Togar.” Aku menoleh ke samping, “Dan Salonga, apakah kamu bisa menemaniku? Kita harus menjenguk masa lalu itu. Tidak ada teman yang paling baik selain orang paling tua.”

Salonga memasang topi cowboy-nya, menyeringai, “Kamu selalu merepotkanku sejak pertama kali kita bertemu, Bujang. Jadi tidak masalah ditambah beberapa kerepotan lainnya. Orang tua ini akan menemanimu.”

Aku tertawa. Terima kasih.

“Tapi Tauke Besar, tidak ada yang mengawal?” Togar mengingatkan.

“Jangan cemaskan itu, Togar. Mereka membutuhkan selusin pembunuh bayaran untuk mengalahkanku. Kamu lupa, akulah tukang pukul nomor satu di Keluarga Tong ini. Aku tidak akan bersembunyi atau menyuruh puluhan tukang pukul mengawalku.” Aku sudah naik ke mobil jeep. Salonga juga naik.

Pintu mobil ditutup.

“Guru mengaji itu. Kamu hendak bertanya sesuatu kepadanya, bukan?” Salonga menatapku.

Aku mengangguk, menekan pedal gas, mobil jeep segera meninggalkan basemen gedung. Salonga selalu bisa menebak dengan jitu apa yang akan kulakukan.

Aku tadi tidak sengaja menyebut nama Tuanku Imam dalam percakapan—dan tiba-tiba aku menyadarinya, hei, jika aku ingin menanyakan tentang masa lalu Bapak dan istri tuanya, Tuanku Imam boleh jadi mengetahuinya. Situasi memang genting, tapi singgah sejenak menemui dia di pesantrennya tidak ada salahnya.

“Jika demikian, mari kita menjenguk masa lalu itu, Bujang.” Salonga menyandarkan punggungnya, duduk santai.


Mobil jeep melaju meninggalkan kantor pusat bank Keluarga Tong.
____________________

bersambung ke Bab 7

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bab 5. Aplikasi Keluarga Tong

Bab 10. Ingin Menjadi Seperti Si Babi Hutan

Bab 13. Kondangan Raisa