Bab 12. Sersan Vasily Okhlopkov
Dua mobil tidak meluncur ke markas besar, melainkan berbelok masuk ke
hotel bintang lima. Aku yang menyuruhnya ke sana. Tukang pukul langsung
membanting setir.
Togar yang mendapatkan kabar terbaru tersebut juga tergopoh-gopoh
bersama pasukannya menuju hotel itu. Kami bertemu di lobi, dan tanpa banyak
bicara, langsung menuju Presidential Suite. Lift bergerak menuju lantai dua
puluh, berjalan cepat menuju pintu.
Direktur hotel terbirit-birit menemaniku, membungkuk-bungkuk sepanjang
jalan, kemudian membuka pintu dengan kunci yang dia bawa, aku segera melangkah
masuk, berteriak marah.
“YUKI!! KIKO!!”
Yuki muncul dengan piyama pink, rambutnya berantakan—dia sepertinya
baru bangun tidur. Kamar type ini luas, disekat-sekat menjadi ruang tamu, ruang
bersantai, kamar tidur dan sebagainya, bahkan ruang khusus untuk wardrobe
berukuran tiga kali empat meter.
“Ad-ha ap-pa, Bujang?” Yuki menguap.
“Dimana Kiko!” Aku membentaknya.
“Dia sedang mandi. Berendam.” Mata sipit Yuki membesar—lebih serius.
“Suruh dia keluar. Segera!”
“Tapi dia sedang mandi—”
“SURUH DIA KELUAR SEGERA, YUKI!”
Yuki terdiam. Menatap ngeri wajahku, dia bergegas masuk lagi, menuju
kamar mandi, mengetuk pintunya. Bicara sebentar dengan saudara kembarnya,
samar-samar terdengar dari ruang tamu. Satu menit, Kiko muncul dengan jubah
mandi.
“Hai, Bujang? Ada apa?” Cengar-cengir seperti biasanya.
“Apa yang kalian lakukan 24 jam terakhir, hah?” Suaraku terdengar
serius, mengancam. Bahkan Togar yang berdiri di belakangku terdiam mematung—dia
jerih mendengar suaraku. Juga Direktur hotel yang pucat.
“Berlibur, Bujang. Apalagi. Ini presidential suites—”
Yuki segera menyikut perut Kiko.
“Kalian kutugaskan untuk mencari tahu pembunuh bayaran yang datang ke
negara ini, agar Keluarga Tong bisa bersiap melakukan antisipasi. KALIAN TIDAK
SEDANG BERLIBUR!! Tiga jam lalu, apakah kalian tahu, seorang sniper telah
menunggu di sebuah gedung. Lantas dia melepas tembakan jarak-jauh saat aku
keluar dari pintu pesawat. Lihat bekas darah ini, Kiko! LIHAT!!”
Kiko terdiam. Dia menelan ludah. Dia baru mengerti ini serius sekali.
“Apakah, eh apakah kamu baik-baik saja, Bujang?”
“Aku baik-baik saja, DAN TUTUP MULUTMU, KIKO!! Baru bicara jika aku
menyuruhmu bicara. Lihat kemejaku, ini darah seorang remaja usia tujuh belas
tahun bernama Rambang. Jika dia tidak berdiri di depanku saat turun dari
pesawat, maka akulah yang sekarang terkapar tewas. LIHAT DARAH INI KIKO! Kepala
remaja itu ditembus peluru, darahnya bermuncratan membasahi dinding dan
menggenangi lantai pesawat. Dia tewas karena kalian bukannya bekerja dengan
baik, malah santai berlibur! KALIAN SEHARUSNYA tahu bahwa seorang sniper telah
masuk ke negara ini. Kalian bisa mengaktifkan peringatan. Atau kalian lebih suka
melihatku mati terkapar, hah?”
Si Kembar tertunduk. Kehabisan kata-kata.
“Aku beri kalian waktu lima belas menit mencari tahu siapa sniper itu.
Gunakan semua jaringan kalian selama ini. Telepon siapapun yang kalian kenal
dan bisa memberikan informasi, termasuk presiden bila perlu. Jika lima belas
menit kalian tidak mengetahui siapa sniper itu, aku akan mengirim kalian
kembali ke Jepang, dan kita, catat baik-baik, KITA TIDAK AKAN PERNAH
BERKERJASAMA LAGI! Aku juga akan mengirim notifikasi ke seluruh pihak, bahwa
kalian masuk dalam daftar hitam tukang pukul bayaran Keluarga Tong. Guru Bushi
akan malu sekali di alam kuburnya saat tahu dua cucunya masuk daftar hitam
tersebut. Tidak akan ada lagi yang mau memperkerjakan kalian.”
Yuki dan Kiko terdiam. Wajah mereka pias.
“SEGERA YUKI, KIKO!” Aku membentaknya.
Si Kembar rebah jimpah segera berlarian menuju gadget mereka—Kiko
bahkan sempat terjatuh, menginjak jubah mandinya. Segera bangkit menyusul kakak
kembarnya, melakukan apapun, apapun yang bisa mereka lakukan untuk mencari tahu
siapa pembunuh bayaran tersebut.
“Nyalakan timer, Salonga. Lima belas menit.”
Salonga mengangguk takjim.
“Dan hubungi Lubai, Togar. Aku akan berbicara dengannya sekarang.”
Togar segera mengeluarkan telepon genggam, menekan nomor. Nada panggil
tiga kali.
“Hallo, Togar. Ada apa?” Suara Lubai terdengar ramah.
“Tauke Besar hendak berbicara, Lubai.”
“Oh, Bujang. Ada apa? Aku baru bertemu dengannya tiga jam lalu.
Sambungkan, Togar.”
Togar maju, tangannya sedikit gemetar saat memberikan telepon. Dia
belum pernah melihatku marah seperti ini. Aku menerima telepon.
Memperbaiki posisi berdiri.
“Selamat pagi, Lubai.” Aku berusaha mengendalikan intonasi bicaraku.
“Pagi, Bujang.”
“Posisimu di mana, Lubai?”
“Di rumah, Bujang. Tepatnya di dapur, menemani Bibi Kim menyiapkan
makanan. Aku baru saja pulang dari kampus, Profesor itu dengan senang hati
membantu. Dua tukang pukul menunggui Profesor itu, siap membantu, apapun yang
dibutuhkan olehnya agar bisa membaca surat-surat lama itu, kami akan siapkan. Hei,
Kim, ada Bujang di telepon.”
Aku mengeluh dalam hati. Di seberang sana, Lubai justeru mengaktifkan
loudspeaker.
“Hallo, Bujang. Apa kabarmu, Nak?” Suara Bibi Kim terdengar ramah—aku
ingat intonasi suara itu; selama aku di ibukota provinsi, Bibi Kim menganggapku
seperti anaknya.
Aku menelan ludah, “Kabarku baik.”
“Aduh, Bujang. Aku kaget sekali saat Lubai bilang Rambang ikut
denganmu ke markas besar. Aku keberatan anakku menjadi tukang pukul seperti
Bapaknya. Tapi tadi pagi, saat Lubai bilang kamu sendiri yang akan mendidiknya,
itu sungguh sebuah kehormatan bagi kami, Bujang. Terima kasih banyak—” Suara
Bibi Kim tersendat, dia terharu.
Aku menyeka pelipis. Ini menjadi rumit.
Tapi aku harus segera menyampaikan berita duka cita itu.
Aku diam berapa saat. Hingga suasana menjadi canggung.
“Hallo, Bujang, kamu masih di sana?” Bibi Kim bertanya.
“Iya, aku masih di sini.”
“Ada apa sebenarnya, Bujang? Kenapa mendadak menelepon?” Lubai
bertanya, tertawa kecil, “Kita baru saja bertemu tiga jam lalu. Tidak masuk
akal jika kamu mendadak rindu padaku.”
“Aku membawa kabar tentang Rambang, Lubai.” Aku bicara.
“Iya, ada apa dengan Rambang?” Lubai bertanya.
“Apakah dia sudah sampai di markas, Bujang? Dia menyukainya?” Bibi Kim
ikut bertanya.
Baiklah. Cepat atau lambat aku tetap harus menyampaikan kabar buruk
ini. Maka lebih cepat lebih baik, biarlah seperti sembilu, mengiris hati. Pasti
perih saat mendengarnya pertama kali.
“Rambang telah meninggal, Bibi Kim, Lubai. Pagi ini. Tiga jam lalu.
Dia melakukan tindakan paling terhormat yang bisa dilakukan oleh seorang
anggota Keluarga Tong. Dia adalah anggota Keluarga Tong paling hebat. Dia
berdiri di depanku, melindungi Tauke Besar-nya dari tembakan sniper jarak jauh.
Putra bungsumu telah meninggal—”
Belum habis kalimat itu, Bibi Kim sudah menjerit histeris.
***
Percakapan itu berjalan buruk sekali.
Bibi Kim terus menjerit tidak percaya, sementara Lubai seperti
kehilangan kata-kata, berusaha menenangkan istrinya—tapi dia sendiri tak kuasa
menerima kabar itu. Aku meremas jemari. Aku bilang jasad Rambang sedang dibawa
ke markas besar Keluarga Tong. Setelah diurus, dimandikan, paling telat sore
ini akan diterbangkan ke ibukota provinsi. Kami akan menyiapkan pemakaman yang
pantas baginya.
“Aku berjanji akan membalasnya, Lubai. Luka dibalas luka. Darah
dibalas darah. Nyawa dibalas nyawa. Aku akan membalas pembunuh itu. Sebelum
tubuh Rambang dikebumikan, dia akan menyesal telah berurusan dengan Keluarga
Tong.”
Bibi Kim masih menangis kencang di seberang sana.
“Balaskan sakit hati ini, Bujang. Balaskan.” Lubai berkata dengan
suara bergetar.
Aku menutup telepon. Memutus pembicaraan.
Salonga terpekur menatap lantai. Togar terdiam, sekali lagi dengan
tangan bergetar menerima telepon genggam. Ruangan itu lengang sejenak.
***
Tujuh menit, Yuki dan Kiko keluar dari kamar mereka.
Yuki maju patah-patah, membawa gadget. Kiko berdiri di belakangnya,
menunduk.
“Pertama-tama, aku sungguh minta maaf atas kejadian ini, Bujang.
Sungguh. Aku dan Kiko mengaku bersalah—”
“SIAPA SNIPER ITU, YUKI!” Aku membentaknya.
Yuki menyerahkan gadget di tangannya, “Sersan Vasily Okhlopkov. Lewat
kontakku di imigrasi beberapa negara, Sersan Vasily Okhlopkov satu hari lalu
tercatat telah terbang dari Polandia, menuju kota ini. Dia transit sebentar di
Singapura. Manifest perjalanannya terkonfirmasi, positif. Dia tiba tadi malam,
pukul satu dinihari, dan setelah mendapatkan perlengkapan serta senjata M24,
dia segera menuju salah-satu gedung di dekat bandara.”
Aku menatap foto di gadget. Wajah sniper itu terlihat. Laki-laki berusia
lima puluh tahun. Mengenakan seragam militer bekas Uni Soviet. Wajahnya dingin,
ada bekas luka di pipi kanannya. Dia persis seperti seorang pembunuh bayaran,
sniper, yang bisa dibayangkan oleh orang lain.
“Aku mengenal dia,” Salonga menghela nafas, “Vasily adalah salah-satu
penembak jitu dari bekas negara Uni Soviet. Dia bisa menembak jitu dari jarak
2.000 meter, salah-satu yang terbaik. Karir militernya mentok di pangkat Sersan
saat Uni Soviet bubar, tapi karirnya sebagai pembunuh bayaran moncer tak terkira.
Pembunuhan seorang Presiden di Afrika beberapa bulan lalu dikaitkan dengannya.
Rekornya adalah seratus peresn, dari lima puluh lebih korbannya, tidak pernah
ada targetnya yang gagal. Dan dia salah-satu dari tiga pembunuh dengan bayaran
terbesar di dunia. Kontraknya minimal 5 juta dollar, tidak ada negosiasi, take
it or leave it, dibayar dalam bentuk batang emas murni.”
Yuki mengangguk, “Menurut informasi terpercaya, dia dibayar 25 juta
dollar oleh Master Dragon jika berhasil membunuh Bujang. Lima kali lipat dari
kontrak minimalnya. Separuh dibayar dimuka, sisanya setelah misi selesai.”
“Kalian tahu di mana posisinya sekarang?”
Yuki menggeleng, “Dia boleh jadi berada di mana pun saat ini, Bujang.
Mengintai. Menunggu kesempatan berikutnya.”
“Bagaimana dia tahu pesawat Tauke Besar akan mendarat pagi ini? Apakah
ada pengkhianat yang membocorkan jadwal mendarat.” Togar bertanya—akhirnya ikut
dalam percakapan.
“Dia sepertinya tidak tahu persis, Togar. Dia kemungkinan besar hanya
menebak. Tebakan yang akurat. Hanya aku, Bujang dan Lubai yang tahu pesawat itu
mendarat di sana pagi ini. Tapi informan Master Dragon jelas tahu bandara
tersebut sering digunakan pesawat jet Keluarga Tong. Chen mungkin telah
membocorkan informasi itu. Tapi itu lebih dari memadai, hanya soal waktu,
kapanpun pesawat yang dinaiki Bujang terparkir di sana. Dia sabar
menunggu—tidak lama, hanya dua-tiga jam, hadiah besarnya datang.”
Togar mengangguk—itu masuk akal.
Aku berpikir cepat. Fokusku sekarang bukan tentang bagaimana pembunuh
itu tahu aku mendarat di sana, fokusku adalah bagaimana menghabisi orang ini
secepat mungkin. Aku teringat sesuatu. Cara terbaik menaklukkan sniper adalah
dengan memancingnya keluar sekali lagi.
“Apakah hari ini aku ada janji pertemuan dengan seseorang, Togar?”
“Ada, Tauke Besar. Bertemu Jim Sang Kolektor, di salah-satu restoran
jalan protokoler.”
Aku ingat janji pertemuan itu. Jim Sang Kolektor, dia yang selama ini
membantu Keluarga Tong mengumpulkan lukisan, arca, keramik, benda-benda seni
terbaik di dunia. Pertemuan itu, di restoran terbaik kota ini, lokasinya di
lantai tiga, menghadap jalan protokoler, ada tiga atau empat gedung tinggi di
seberangnya. Itu sepertinya lokasi yang ideal.
“Baik. Bocorkan informasi itu secara sengaja, Togar. Aku ingin Si
Vasily ini tahu jika aku akan muncul di sana.”
“Apa yang sedang kamu rencanakan, Bujang?” Salonga menatapku serius.
“Menghabisi Si Vasily.”
“Tidak, Bujang. Muncul secara terang-terangan di tempat umum adalah
langkah terburuk menghadapi seorang sniper. Kamu harus memikirkan strategi
counter sniper. Mulai dari menyatu dengan sekitar, tidak mencolok, juga
mengubah jadwal perjalanan. Menggunakan decoy. Tidak menggunakan pola yang
sama—”
“Oh ya?” Aku berseru memotong kalimat Salonga, “Lantas kita membiarkan
dia mengintimidasi kita? Aku punya rencana, Salonga. Aku akan menghabisi Si
Vasily ini. Aku sudah berjanji kepada Lubai dan Bibi Kim, pembunuh itu akan
mendapatkan balasan sebelum Rambang dikebumikan. Kita akan menjebaknya. Yuki,
Kiko kalian ikut dalam rencana ini. Togar, sekali lagi segera bocorkan rencana
pertemuan itu, lakukan sebaik mungkin, agar tidak mengudang kecurigaan
siapapun. Si Vasily ini jelas akan menyambar informasi itu, dia tidak mau
rekornya rusak. Saat dia terlalu percaya diri, kita akan mengajarinya
sopan-santun Keluarga Tong.”
Si Kembar mengangguk.
“Detail semua rencana akan kuberikan beberapa saat lagi. Pertemuan
bubar.”
Aku melangkah keluar dari Presidential Suite hotel bintang lima. Yang
bergegas mengikuti. Meninggalkan Yuki dan Kiko yang menghembuskan nafas lega.
Mereka terduduk di kursi, dan tetap diam di atas kursi itu lima menit kemudian.
***
Aku sendiri yang mengantar jasad Rambang ke bandara. Remaja usia tujuh
belas tahun itu terbujur kaku di dalam peti. Dia telah dimandikan, diurus, lubang
peluru di kepalanya ditutup sedemikian rupa, tidak terlihat lagi. Pesawat
segera membawa jasad Rambang pergi.
Lubai lewat telepon bilang, mereka akan menguburkan Rambang malam ini
juga, pukul 19.00 setiba di ibukota Provinsi. Itu lebih baik, dengan segera
dikubur, rasa sakit itu semoga berkurang sedikit. Ratusan tukang pukul telah
berkumpul di sana, mereka menyiapkan prosesi pemakaman yang megah.
Iring-iringan mobil telah menunggu di bandara ibukota.
Itu berarti sebelum pukul 19.00, pembunuh Kim harus sudah mati.
Setelah dari bandara, pukul empat sore, aku meluncur menuju restoran
tersebut, janji bertemu dengan Jim Sang Kolektor. Rencanaku berjalan. Dan kabar
baiknya, Salonga akhirnya menyetujuinya, dia menambahkan beberapa sentuhan agar
jebakan itu tidak terdeteksi oleh Sersan Vasily—saran yang sangat penting,
karena Salonga tahu psikis seorang pembunuh bayaran, dia pernah melakukan
profesi itu, meski bedanya dia adalah penembak pistol jarak dekat. Rencanaku
harus berjalan senormal mungkin.
Yang pertama, informasi itu tidak dibocorkan oleh Keluarga Tong dari
kota ini. White di Hong Kong yang membocorkannya, dia mengirimkan kabar itu
melalui salah-satu rekan marinirnya, kemudian seperti kartu remi yang roboh
berbaris, berita itu akhirnya tiba di telinga Master Dragon. Lantas Master
Dragon sendiri yang menelepon Vasily. Itu jelas akan disambar Vasily, karena
yang memberitahu adalah Master Dragon. Dia tidak berpikir sesenti pun kalau itu
jebakan.
Yang kedua, restoran itu ditutup untuk umum, lantas dibanjiri oleh
banyak tukang pukul. Keberadaan tukang pukul itu seolah sebagai pesan, kami
serius menanggapi kejadian tadi pagi. Tukang pukul berbaris, menjadi pagar
hidup. “Vasily akan melihatnya dari jarak jauh. Bujang benar, Vasily terkenal
congkak dan kadangkala terlalu percaya diri. Saat melihat kerumunan pagar
hidup, dia akan tertawa meremehkan.”
Pukul 16.45, lima belas menit sebelum pertemuan. Vasily sudah berada
di salah-satu dari tiga gedung di seberang restoran ternama. Dia tertawa kecil
saat melihat lewat teleskopnya.
“Глупый, я все равно могу убить даже сотни солдат, dasar
bodoh, aku tetap bisa membunuh seseorang meski dengan ratusan pasukan
melindunginya.”
Dia memang bisa tetap membidik kursi sasaran di celah-celah tukang
pukul.
Yang ketiga, aku sengaja datang terlambat. Jim Sang Kolektor tiba
16.57. Manajer restoran mengantarnya ke meja paling baik. Jim Sang Kolektor
duduk menunggu di sana. Berkali-kali melihat jam, berkali-kali bertanya kepada
tukang pukul di sekitarnya, masih berapa lama lagi Tauke Besar tiba? Tukang
pukul bilang tidak tahu. Itu juga saran dari Salonga. “Vasily akan sabar
menunggu. Dia justeru memang berekspektasi kali ini tidak semudah sebelumnya.
Dia akan menduga Tauke Besar mungkin ragu datang, mungkin membatalkan
pertemuan. Persis dia akhirnya melihatmu, dia akan tertawa kecil lagi.”
Pukul 17.50, hampir lewat satu jam dari janji bertemu, aku akhirnya
muncul. Vasily bisa melihatnya dari teleskop, dia tertawa, “Ублюдок наконец
пришел, bajingan ini akhirnya datang juga.”
Vasily memastikan sekali lagi arah dan kecepatan angin. Senjata
M24-nya telah siap dari tadi.
Di restoran aku bersalaman dengan Jim Sang Kolektor.
Vasily berhasil menemukan celah terbaik, di antara dua kepala tukang
pukul yang menjadi pagar hidup, dia persis membidik jantungku.
Pukul 17.52, Vasily tersenyum, “Прощай мой друг, selamat
tinggal, Kawan.” Dia menarik pelatuk senjata. Peluru melesat cepat di atas jalan
protokol, menghancurkan kaca restoran, melewati celah dua kepala tukang pukul.
“KLONTANG!!” Menabrak sesuatu. Peluru itu terpelanting jatuh.
Yang keempat, Salonga menyarankan memasang kaca anti peluru persis di
dekat meja tempatku bertemu dengan Jim Sang Kolektor. Peluru memang tepat
mengincar jantungku, tapi tidak berhasil menembus banteng terakhir. Tergeletak
di lantai restoran.
Vasily menelan ludah. Apa yang terjadi? Kenapa tembakannya gagal? Aku
terlihat sehat walfiat di kursi. Dia berpikir cepat.
Lima detik, dia tahu, ada kaca anti peluru di bawah sana. Dua detik
kemudian, dia tahu, ini jebakan. Dia segera bangkit, berdiri, mengambil koper
senjata, membereskan peralatan.
Tapi dia telah terlambat. Di bawah sana, aku, Yuki dan Kiko telah tahu
di mana persis posisinya menembak. White mengirimkan “Boomerang” dari Hong
Kong. Benda itu dikembangkan oleh DARPA Amerika Serikat, alat counter sniper.
Alat itu menggunakan sensor super untuk mendeteksi ‘sonic shock wave’ yang
dikeluarkan oleh peluru yang melesat cepat. Sensor akan segera mengklasifikasi,
melokalisasi, lantas menunjukkan dari mana titik tembakan berasal. Togar yang bertugas
membaca alat itu dari salah-satu mobil van di dekat restoran, kemudian dia
memberitahuku di lima belas detik pertama setelah tembakan. Tembakan itu
berasal dari gedung lima belas lantai di seberang restoran, persis dari sayap
kanan lantai enam. Salah-satu jendela kaca terbuka di sana, Vasily mengintai di
situ.
Aku telah melesat cepat dari bawah gedung, disusul Yuki dan Kiko.
Aku? Yeah, itu saran terakhir dari Salonga. Yang kelima, aku
menggunakan body double. Itu bukan aku yang menemui Jim Sang Kolektor,
melainkan model, seorang aktor dengan perawakan mirip denganku, lantas make up
artist kelas Hollywood membuat wajah, rambut, tampilannya 99% seperti aku.
Vasily terlalu percaya diri, dia bahkan tidak perlu memastikan sedetik apakah
itu sungguhan targetnya atau bukan—karena percaya telepon Master Dragon
sebelumnya. Dia telah melepas tembakan, itu berarti dia telah memukul lonceng
kematian sendiri. Lokasinya diketahui.
Aku justeru bersiap di seberang bersama Yuki dan Kiko,
sekarang berlarian menaiki anak tangga darurat—pintu lift telah dimatikan oleh
tukang pukul yang sejak tadi berjaga di tiga kemungkinan gedung lokasi Vasily. Tubuhku melenting
cepat terus naik. Di bawah, Yuki dan Kiko tidak kalah sigap, Si Kembar kali ini
mengenakan pakaian hitam-hitam, bebat hitam di kepala, tampilan mereka amat
serius, mereka adalah ninja terbaik didikan langsung dari Guru Bushi, bergerak
begitu mengagumkan di belakangku, meniti pegangan tangga, berlarian dengan
mudah.
Kami tiba di lantai enam, langsung melewati lorong, menuju lokasi
Vasily.
Alat itu akurat sekali.
Persis aku mendobrak pintu terakhir, Vasily telah selesai berkemas.
Dia terkejut melihat kedatangan kami, tidak menduga secepat itu lokasinya
ditemukan, Vasily berseru panik, dia berusaha menembakkan pistol ke arahku.
Dasar bodoh. Dia adalah penembak jarak jauh, itulah keahliannya. Dalam
perkelahian jarak dekat, dia bukan siapa-siapa. Yuki lebih dulu loncat penuh
gaya, sambil melepas shuriken, menghantam telak tangannya, tembus, pistol itu
terlepas jatuh, Kiko sudah menyusul, dia mencabut samurai, bahkan sebelum
Vasily menyadarinya, samurai dingin itu telah menempel di lehernya. Membuatnya
mematung. Darah merembes dari luka tipis di leher.
“Jangan coba-coba bergerak, Sersan Vasily!” Kiko mendesis. Sekali Kiko
menekan samurainya, kepalanya akan menggelinding di lantai.
Vasily tidak bisa melakukan apapun lagi.
Perlawanannya telah selesai—bahkan sebelum dia memulainya.
“Bawa dia, Yuki!” Aku berseru.
Yuki mengangguk, membuat gerakan cepat, mengikat tangan Vasily. Lantas
menariknya paksa agar mulai melangkah. Kami tidak turun, kami justeru naik ke
lantai paling atas. Vasily tersuruk-suruk seperti seekor kerbau diseret. Dia
sesekali mengaduh, minta lebih lambat, Kiko akan menghunus samurainya,
mengancam, membuatnya terus berjalan menaiki anak tangga. Persis kami tiba di
atap gedung, Togar datang bersama helikopter.
“Apa yang akan kalian lakukan kepadaku?” Vasily berseru dalam bahasa
Inggris, wajahnya pias.
Aku tidak menjawab. Dia bahkan tidak layak bicara denganku secara
langsung. Levelnya terlalu rendah. Seorang pengecut yang membunuh dari
jarak-jauh.
“Aku mohon, Tauke Besar, apa yang akan kalian lakukan kepadaku?”
Yuki menampar pipinya agar diam. Memaksanya naik helikopter.
“Aku akan melakukan apapun. Apapun! Tapi jangan bunuh aku, Tauke
Besar.” Vasily berteriak serak, dia sudah di atas helikopter.
Aku mengangkat tangan, memberi perintah. Helikopter segera pergi,
meninggalkan atap gedung. Ada Togar di sana bersama dua tukang pukul, membawa
Vasily.
“AKU MOHON!!” Suara Vasily masih terdengar samar, sebelum helikopter
itu menghilang dari balik gedung-gedung.
Matahari bersiap tumbang di kaki barat sana.
Atap gedung lengang.
Lima menit tetap lengang—hanya kesiur angin pelan menerpa wajah.
“Bujang, sekali lagi aku sungguh minta maaf.” Kiko akhirnya berkata
padaku, membungkuk, memasang posisi seorang ninja, “Aku akan menebusnya.” Kiko
menyerahkan samurainya kepadaku. Dia bersedia menerima hukuman apapun, termasuk
kematian—itu makna dari samurai yang diserahkan. Juga Yuki, ikut membungkuk,
ikut menyerahkan samurai miliknya.
Jika menurutkan emosi, aku akan memukul Kiko dan Yuki
dengan sisi tumpul samurai seratus kali, seperti yang dilakukan Guru Bushi
kepada mereka waktu kecil dulu, memukuli si kembar dengan bambu saat mereka terus
bermain-main bukannya berlatih. Tapi tidak, aku adalah Tauke Besar sekarang, aku
harus bertindak seperti seorang Tauke.
“Aku memaafkan kalian.” Aku berkata pelan, mengembalikan samurai itu
ke tangan Yuki dan Kiko, “Lagipula, kalaupun kalian berhasil mendeteksi
kehadiran sniper itu, memberikan peringatan, tetap tidak ada yang bisa
mencegahnya melepas tembakan pagi tadi. Dia bisa ada di manapun. Ini adalah
peperangan, apapun bisa terjadi. Waktu, tempat, pelaku, kita tidak bisa
mengendalikan semuanya. Itu bukan seluruhnya kesalahan kalian.”
Yuki dan Kiko saling pandang, lantas menatapku.
Aku mengangguk.
Aku memaafkan mereka.
“Terima kasih, Bujang.” Kiko mengangguk pelan—diikuti oleh Yuki.
“Kembali ke basecamp kalian, Yuki, Kiko, dan kali ini pastikan kalian
bekerja dengan baik. Sebarkan ke seluruh dunia, Vasily gagal melaksanakan
tugas. Tauke Besar Keluarga Tong sendiri yang menghabisinya.”
Si kembar menurut, segera meninggalkan atap gedung.
Tapi besok-besok, setelah kasus ini selesai, Si Kembar tetap tidak
berubah. Mereka selalu bermain-main, itu sudah menjadi tabiat cucu Guru Bushi.
***
Aku masih di sana hingga pukul tujuh malam. Menunggu kabar dari Togar
dan kabar dari ibukota provinsi.
Togar akhirnya menelepon. Tugasnya telak dilaksanakan. Jam tujuh persis.
Saat jasad Rambang akhirnya tiba di ibukota provinsi.
Saat Bibi Kim menangis memeluk peti mati putra bungsunya, aku
menelepon Lubai. Sambil menatap lampu gedung-gedung, lampu mobil-mobil di
jalanan yang padat. Langit gelap, ada awan hitam bergumpal menutupi bulan dan
bintang di atas sana. Segelap hatiku sekarang.
“Pembunuh putramu barusaja menerima pembalasannya, Lubai.”
“Apakah dia telah tewas?”
“Iya. Tapi aku tidak menembak kepalanya, juga tidak menebas lehernya
dengan pedang. Dia dibawa oleh Togar dengan helikopter ke gunung berbatu. Dari
ketinggian seribu meter lebih, tubuhnya telah dijatuhkan hidup-hidup, dengan
mata terbuka, tangan dan kaki tidak diikat, satu menit lalu.
“Dia telah merasakan sensasi saat kematian itu tiba, Lubai. Itu
pembalasan baginya. Seribu meter lebih, itu berarti lima belas detik sebelum
tubuhnya menghantam batu. Dan sebagai tambahan, Togar menyemprotkan obat
pencipta halusinasi waktu terasa berjalan lebih lambat 10 kali kepadanya. Itu
berarti, bedebah itu akan merasakan sensasi seolah selama 150 detik sebelum
tubuhnya menghantam cadas bebatuan. Dia tahu persis bagaimana merasakan
kematian menjemputnya. Detik demi detik, selama 150 detik dalam halusinasi
terburuk yang pernah ada. Sama seperti saat dia membidik target sasarannya
selama ini. Kali ini dialah yang dalam posisi itu. Kematian menjemputnya, tak
bisa dihindari.
“Dari video yang dikirimkan oleh Togar, pengecut itu
menangis terisak, terkencing-kencing membuat lantai helikopter tergenang air
kencingnya, memohonan ampunan, tapi Togar menendangnya tanpa ampun keluar dari
helikopter, tubuhnya meluncur jatuh di gelap malam. Hancur seperti
sebuah apel dilindas truk besar di bebatuan gunung.”
“Semoga Rambang bersitirahat damai di sana, Lubai. Dia telah
membuktikan posisinya sebagai anggota Keluarga Tong. Melakukan tindakan paling
terhormat yang bisa dilakukan seorang tukang pukul terbaik. Dia pergi dengan
segenap kehormatan.”
“Terima kasih, Bujang. Terima kasih telah membalaskan sakit hati ini—”
Lubai berkata lirih.
Samar di belakang sana, Bibi Kim terdengar menangis.
Aku menutup telepon.
Malam ini, aku telah menjadi monster yang tak lagi kukenali. Rasa
marah, dendam, isak tangis Bibi Kim, membuatku menyuruh sebuah pembalasan tak
terperi—aku tadi siang bahkan nyaris menyuruh Togar mengirim pembunuh untuk
menghabisi keluarga Vasily di Belarusia (pecahan Uni Soviet) sana, membunuh
empat putrinya, istrinya. Beruntung Salonga bergegas merangkul bahuku, berbisik
agar aku tidak melakukannya atau besok-besok menyesali perintah tersebut.
Aku mengusap wajahku yang kebas. Setelah persitiwa ini, apapun hasil
peperangan dengan Master Dragon, maka kemanakah aku akan membawa Keluarga Tong
pergi? Dan lebih penting lagi, kemanakah aku sendiri akan pergi? Apakah aku
akan menjadi monster seperti itu terus-menerus?
Aku akan PERGI kemana?
Aku tidak tahu jawabannya sekarang. Semua masih segelap langit malam.
___________________
bersambung ke Bab 13
Komentar
Posting Komentar