Bab 2. Teknik Kelelawar
“Aku akan keluar, Agam. Dengan tangan kosong. Hanya gitar. Agar kita
bisa bicara baik-baik.” Orang di depan sana berseru, “Pastikan teman-temanmu
tidak melepas tembakan. Aku tahu, salah-satu dari mereka adalah penembak
ulung.”
Langit-langit gudang lengang sejenak.
Di balik kontainer satunya, aku saling tatap dengan Salonga, White dan
Si Kembar. Menimbang-nimbang.
“Jangan lakukan, Bujang. Kita tidak tahu apa tujuannya.” White
menggeleng, “Dia bisa sama liciknya seperti Basyir Si Pengkhianat. Tetap bawa
senjatamu.” (kisah Basyir ada di Novel PULANG)
Salonga menggeleng, tidak sependapat, “Orang itu, siapapun dia, jika
dia keluar tanpa senjata, Bujang juga harus keluar tanpa senjata.”
Yuki dan Kiko mengangkat bahu, tidak punya pendapat.
Baik. Aku tahu resiko berhadap-hadapan langsung dengan seorang tukang
pukul misterius ini. Kami berada di medan pertempuran yang tidak dikenali.
Boleh jadi dia punya rekan yang bersembunyi di luar sana dengan senjata
terarah, sniper, penembak jitu. Tapi rasa ingin tahuku lebih besar, dia
memanggilku Agam. Aku akan keluar menemuinya.
Aku menyerahkan pistol ke White—yang hendak protes. Melepas samurai
pendek di pinggang, menyerahkannya kepada Yuki. Setidaknya aku masih
mengantongi dua shuriken berbentuk kartu nama di celana. Tipis, terlihat
seperti kertas biasa, tapi itu adalah lembaran titanium, dilemparkan dari jarak
dua puluh meter, bisa sangat mematikan.
Aku melangkah keluar dari balik kontainer. Sementara White loncat ke
atas kontainer, gesit mencari lokasi mengintai, tiarap, AK-47-nya teracung, dia
berjaga-jaga jika kondisi memburuk. Salonga dan Si Kembar melangkah
mengikutiku, lantas berhenti, berdiri di belakang, juga berjaga-jaga dari jauh.
Orang itu juga keluar dari posisinya, sambil menyelempangkan gitar
kecil di punggungnya. Dia memenuhi kalimatnya, tidak membawa senjata apapun,
pistolnya dia lemparkan ke lantai. Kami terpisah jarak dua puluh meter. Dia
melangkah maju, bersamaan dengan aku melangkah maju.
Sepuluh meter.
Lima meter.
Suasana semakin menegangkan.
Dua meter.
Persis di tengah-tengah gudang, langkah kaki kami terhenti. Kami
berhenti di antara gelimpangan sicario El Pacho. Satu-dua tukang pukul itu
masih hidup, merintih kesakitan.
Salonga benar, orang itu mengenakan topeng yang menutupi mata. Juga
topi fedora lebar berwarna hitam. Tubuhnya tinggi besar, gagah. Lebih tinggi
beberapa senti dariku. Gudang hanya diterangi cahaya bulan, aku tidak bisa
melihat jelas wajahnya meski jarak kami tinggal beberapa langkah, topeng itu
menutupi separuh wajahnya.
“Buenas noches, Agam. Selamat malam.” Orang itu menyapa sekali lagi
dengan suara serak, sambil melepas topinya, mengangguk sopan.
“Selamat malam.” Aku berusaha menjawab sama baiknya—mataku terus
menyelidik. Aku tetap tidak punya ide siapa orang ini.
“Apakah kita pernah bertemu?” Aku bertanya.
Orang itu menggeleng, “Kita tidak pernah bertemu.”
“Siapa kamu? Bagaimana kamu tahu namaku?”
“Aku adalah El Espiritu, Agam. Tapi itu jelas bukan nama asliku. Sama
sepertimu, hanya sedikit sekali yang tahu nama asliku, dan mereka telah mati
semua. Jika kamu ingin tahu namaku, itu berarti kamu harus mati.”
Aku menatap tajam lawan bicaraku. Ditilik dari posturnya, dia berusia
tiga hingga empat puluh tahunan. Mungkin sepuluh atau lima belas tahun lebih
tua dariku. Intonasi suaranya mantap, meyakinkan, dia tidak takut meski kami
lebih banyak.
“Bagaimana aku tahu namamu? Tentu saja aku tahu, Agam. Tapi itu tidak
penting dijawab sekarang. Besok-besok dengan rasa ingin tahu sebesar itu, kamu
akan tahu sendiri. Sementara, anggap saja aku tidak sengaja pernah mengintip
catatan lama milik Keluarga Tong. Atau menyuap petugas imigrasi bandara Meksiko
untuk melihat hasil scan passport-mu. Mudah, bukan?” Orang itu memasang kembali
topinya. Tersenyum.
Aku mencerna kalimatnya.
Percakapan ini hanya basa-basi.
“Apa yang kamu inginkan? Prototype anti serangan siber itu?” Aku
berseru.
Orang itu tertawa pelan, “Benda itu, Agam? Bueno, si, semua orang
memang menginginkan benda itu…. Asal kamu tahu, aku menghabisi satu rombongan
yang juga hendak menuju kemari sebelum tiba di sini, mafia kokain dari Kolombia.
Tapi di atas segalanya, satu-satunya yang aku inginkan saat ini adalah bertemu
langsung denganmu. Menatap wajahmu. Bertahun-tahun aku ingin mendatangimu di
negerimu, menyeberangi lautan, tapi Mama bilang tidak. Berteriak melarangku.
Menangis. Dia selalu menangis, meratap hingga kematiannya, La Llorona. Tapi
malam ini, kamu datang sendiri dari jauh, Agam. Kita bertemu, dalam pekerjaan,
secara profesional—”
“Siapa kamu sebenarnya? Siapa yang membayarmu?” Aku memotong.
Orang itu menggeleng, “El Espiritu. Aku telah menjawabnya, Agam.
Temanmu yang jago tembak itu bisa menjelaskan nama itu, dia nampaknya pandai
berbahasa Spanyol. Siapa yang
membayarku. Kamu menghinaku dengan pertanyaan itu. Tidak ada yang bisa
membayarku. Aku memiliki duniaku sendiri. Aku memiliki agenda dan kepentingan
sendiri, termasuk kepentinganku atas benda ini. Siapapun yang menghalangi
jalanku, aku akan mencabut machete menyingkirkannya seperti menebas ilalang
pengganggu.”
“Prototype benda itu milik Keluarga Tong.” Aku berseru serius.
“Yeah. Aku tahu Keluarga Tong yang mendanai riset benda ini. Tapi
benda ini menjadi tidak bertuan saat diambil dari laboratorium profesor yang
kalian bayar. Itu hukum rimba kepemilikan, Agam. Kalian tidak menjaganya dengan
baik, benda ini dibawa lari, sekarang statusnya menjadi tidak bertuan. Bukankah
Tauke Besar pernah mengajarkan prinsip tersebut dulu kepadamu?”
“Omong kosong. Benda itu tetap milik Keluarga Tong.” Aku mendengus.
Orang itu tertawa, menggeleng, “Lazimnya, aku tidak pernah basa-basi
seperti sekarang, Agam. Aku akan menghabisi tanpa ampun siapapun yang
menghalangiku. Tapi karena aku mengenalmu, aku akan membuat pengecualian.
Bagaimana jika kita bertarung.”
Aku menatap tajam lawan bicaraku. Apa maksudnya?
“Perkelahian tangan kosong. Jika kamu bisa mengalahkanku, aku akan
pergi, silahkan bawa benda ini. Jika kamu kalah, aku juga akan pergi, tapi aku
akan membawa benda ini. Teknologi ini menjadi milikku, pemilik barunya yang
sah.”
White di atas kontainer reflek menggeleng, tidak setuju—meski aku tidak
melihatnya. Itu ide buruk, lebih baik biarkan dia melepas tembakan melumpuhkan
dari jarak-jauh, mumpung lawan kami tidak membawa senjata apapun.
Si Kembar saling tatap, sebaliknya. Ada yang mengajak Bujang bertarung
satu lawan satu dengan tangan kosong, demikian maksud tatapan mereka. Itu gila,
Bujang menguasai teknik ninja menghilang Guru Bushi, hanya orang nekad bunuh
diri yang menawarkan pertarungan itu. Salonga menghembuskan nafas perlahan, dia
melepas topi cowboy-nya. Jika aku bisa melihat ekspresi Salonga, wajah itu
jelas mengkhawatirkan sesuatu. Seseorang yang mengetahui nama asliku, itu bukan
perkara sepele.
“Bagaimana, Agam? Itu bisa jadi solusi yang efisien, bukan? Kamu tidak
harus melibatkan teman-temanmu, dan semua berakhir buruk. Cukup kita berdua.
Aturan mainnya sederhana, perkelahian satu lawan satu, tangan kosong. Tidak ada
yang boleh membantu. Siapa yang terbanting lebih dulu di lantai, terkapar tidak
berdaya, dia kalah.”
Aku menatap lawan bicaraku tanpa berkedip. Dari tadi aku sengaja mengulur
pembicaraan ini lebih panjang, untuk mencari tahu siapa orang bertopeng ini,
dia dari keluarga mana, siapa yang menyuruhnya, informasi sekecil apapun
mungkin berguna, tapi sejauh ini tidak ada sesuatu yang penting selain potongan
istilah Meksiko yang aku tidak tahu maksudnya. Siapapun orang ini, dia jelas
mengincar benda milik Keluarga Tong.
“Waktu kita tidak banyak, Agam. Segera putuskan. Persis kita berdiri
di sini sekarang, unit Secret Service Amerika Serikat sedang melintasi
perbatasan, lima belas menit lagi mereka tiba, mereka jelas tertarik dengan
benda ini, kejahatan keuangan, itu salah-satu spesialisasi mereka.”
Aku masih belum memutuskan.
“Atau kamu takut, Agam?”
Orang ini, siapapun dia, benar-benar telah mencungkil harga diriku.
“Aku tidak takut.” Aku menjawab dingin. Intonasi suaraku berubah.
“Bagus sekali. Karena aku juga tidak.” Orang di depan memperbaiki
posisi gitar di punggung—gitar itu tidak besar, lebih mirip ukulele ukurannya.
Aku menggeram.
“Jadi kita sepakat? Pertarungan tangan kosong, satu lawan satu?”
Jika itu yang dia inginkan, aku akan memberikannya.
***
Langit-langit gudang dipenuhi atmosfer menegangkan.
Lawan di depanku memasang kuda-kuda.
“Estas listo, kamu siap, Agam?” Dia menatapaku tajam, “Kita hanya
punya waktu hitungan menit sebelum Secret Service tiba.”
Aku menggeser kaki, ikut memasang kuda-kuda. Sudah lama aku tidak
bertarung satu lawan satu. Terakhir saat menghadapi Basyir, ketika dia
berkhianat. Aku melemaskan tangan.
“Aku siap.” Aku mendengus pelan.
Belum habis kalimatku, orang di depanku telah lompat, tangan kanannya
mengarah ke wajahku.
Serangan pertama. Pertarungan dimulai.
Aku menggeser kaki kiri, menghindar. Pukulan itu lewat lima senti,
mengenai udara kosong. Sambil menghindar, tangan kananku menghantam ke depan,
ke arah perut, balas menyerang. Orang dengan topeng tersebut cekatan menangkis.
Tanpa jeda, tangan kananku menyusul memukul, juga ditangkis. Jual-beli pukulan
dalam jarak dekat terjadi. Atas, bawah, kiri, kanan, tangkas tanganku
menyerang, mengejarnya, dia segera lincah menangkis, menghindar, aku
menggunakan teknik bertinju yang diajarkan Kopong. Tinjuku melesat mencari
celah kosong, konsentrasi penuh, tidak mudah menembus pertahanan orang itu,
tapi aku berada di atas angin.
Pukulan ke delapan. Pukulan ke sembilan.
BUKK! Tinjuku akhirnya berhasil menghantam perutnya.
Orang itu terbanting satu langkah ke belakang—tetap berdiri.
“Yess!” Yuki berseru di belakang sana.
“Habisi dia, Bujang!” Kiko menambahi, bertepuk tangan. Mereka santai,
seperti sedang menonton pertandingan tinju di arena resmi.
“No esta mal, tidak buruk, Agam.” Orang itu menyeringai, memperbaiki
posisi topinya.
Aku tidak menjawab, mataku menatap awas. Fokus.
“Giliranku sekarang!”
Orang itu merangsek maju, kali ini dia juga menggunakan teknik
bertinju, menyerangku.
Giliran dia yang mencecarku dengan tinju terkepal. Mengarah ke dagu,
aku menangkisnya. Mengarah ke bahu, aku berkelit, mengarah ke perut, aku
menepisnya sekali lagi. Kanan, kiri, cepat tangannya menyerang, lebih cepat
dari sebelumnya. Atas, bawah, gerakannya semakin sulit kuikuti.
BUKK!! Tinju kanannya yang mengarah ke bahu tidak sempat kuhindari.
Aku terjajar satu langkah ke belakang, bergegas menjaga keseimbangan agar tidak
terjengkang jatuh.
“Qué hay sobre eso, bagaimana?” Lawanku menatap tajam.
Aku mengepalkan tinju.
“Kecepatan, Agam. Adalah kunci pertarungan jarak dekat. Kamu memang
cepat, tapi itu tidak cukup. Perhatikan!”
Dia melangkah maju lagi.
Belum sempat kokoh kuda-kudaku, dia menyerang. Astaga, aku menggigit
bibir, kali ini cepat sekali dua tinjunya bergerak, lebih cepat dari
sebelumnya. Aku belum pernah melihat kecepatan seperti ini—dengan kecepatan
tersebut, dia bisa dengan mudah memukul KO petinju professional pemegang sabuk
juara bertahan manapun. Kanan, kiri, atas, bawah, aku bergerak mengimbangi,
menangkis, menghindar, tapi semakin keteteran.
BUKK!! Tinju kirinya telak menghantam perutku.
BUKK!! Menyusul tangan kanannya, mengenai pipiku.
“Bujang!!” Yuki berseru di belakang.
Juga Kiko. Wajah mereka berubah.
Aku terbanting dua langkah, kuda-kudaku goyah. Hampir terjatuh, segera
menghentakkan kaki kanan, tegak memasang posisi baru.
“Itulah yang disebut kecepatan.” Orang itu tersenyum, dua tinjunya
masih terkepal.
Baik, aku menggeram sambil menyeka darah di mulut, saatnya serius.
Aku merangsek maju, giliranku menyerang. Tinjuku melesat tidak kalah
cepat. Dia bilang kecepatan, akan kuperlihatkan kecepatanku.
Sekali lagi kami terlibat jual beli tinju dalam jarak dekat, kali ini
aku yang menyerang. Orang itu melayani dengan tangkisan, menghindar. Aku
menambah kecepatan serangan, silih berganti menghantamkan tinju ke depan,
mencari titik lemah. Sepuluh detik, dua puluh serangan beruntun, semua gagal.
Orang itu bahkan tidak mundur selangkah pun, dia membalas seranganku.
BUKK!! Saat aku ‘asyik’ menyerang, bahu kiriku justeru terbuka,
rentan, dia melihat celah tersebut, mengirim serangan dalam posisi sulit,
tinjunya menghantam, membuatku terbanting. Tidak cukup, tinju lainnya mengincar
daguku. Posisiku tanggung, jika tinju itu telak mengenai dagu, aku akan
terkapar jatuh.
Tidak ada waktu lagi, kakiku menghentak cepat, dalam gerakan ninja
yang terlatih, tubuhku seolah menghilang, aku melenting, melompat ke samping.
“Yess, teknik menghilang Kakek Bushi!” Yuki berseru senang.
Saudara kembarnya mengepalkan tinju.
Teknik itu sederhana, bergerak secepat mungkin, itulah kuncinya.
Saking cepatnya, seseorang seolah tidak terlihat telah pindah ke tempat lain.
Tinju lawanku mengenai udara kosong. Aku berdiri enam langkah darinya,
menyeka peluh di leher. Kemejaku berantakan, basah kuyup.
“Que es interesante, menarik, Agam.” Orang itu menatapku—dia tidak
terlihat terkejut apalagi gentar menyaksikan musuhnya barusaja menghilang, dia
antusias, seolah itu akan seru, “Aku sepertinya terlalu cepat menceramahimu
soal kecepatan. Aku tidak tahu kamu menguasai teknik tersebut. Mari kita lihat
seberapa cepat teknik ninja itu.”
Aku menggeser kaki, memutuskan menyerang lebih dulu. Kakiku menghentak
lantai gudang, tubuhku melesat ke depan. Tinjuku mengarah ke wajah. Itu
serangan yang sangat cepat, hanya ninja level tertinggi yang bisa
menghindarinya.
Lawanku berusaha menangkis secepat yang dia bisa lakukan, BUKK!!
Terlambat, tinjuku menghantam wajahnya lebih dulu. Dia terbanting ke kanan. Aku
melepas tinju berikutnya, mengincar perut. BUKK! Orang bertopeng itu terbanting
lagi dua langkah ke belakang. Dia tidak akan punya kesempatan menangkis atau
menghindar jika dia tidak bisa melihat gerakan tubuhku.
Yuki dan Kiko di belakang berseru senang.
Aku menahan sejenak serangan susulan, mengatur nafas, mengusap peluh.
“Muy bien, bagus sekali, Agam.” Orang itu menyeka ujung bibirnya yang
berdarah.
Si Kembar sekarang seratus persen yakin aku akan memenangkan
pertarungan, tidak ada yang bisa mengalahkan teknik menghilang Guru Bushi. Tapi
lawanku, dia sepertinya tidak cemas sedikit pun. Dia mengubah posisi gitar
kecilnya, menyelempangkannya di dada. Merentangkan tangan, seperti sengaja
membiarkan pertahannya terbuka.
“Sekali lagi, Agam. Silahkan serang aku dengan teknik itu.”
Aku menggeram, baik jika itu maunya.
Kakiku menghentak lantai, melenting maju.
Orang itu entah apa yang dia lakukan, dia justeru memejamkan matanya,
kemudian memetik gitar. Hanya sekali petikan. Dentingnya terdengar di
langit-langit gudang.
Sementara tinjuku mengarah ke rahangnya, itu pukulan mematikan, dengan
gerakan cepat seperti menghilang, tidak ada celah baginya untuk tahu di mana
posisi seranganku.
Keliru.
Entah bagaimana caranya, lawanku bukan hanya tahu persis posisi
tubuhku yang menghilang, dia juga tahu arah serangan, dia bergeser satu langkah
ke kiri, tinjuku meleset lima senti mengenai udara kosong, aku terperangah,
hei, bagaimana dia bisa menghindarinya dengan mudah, tidak hanya itu, saat
posisiku masih mengambang di udara, lawanku dengan gerakan mantap dan tangkas,
balas meninju perutku yang terbuka lebar.
BUKK!! Tubuhku yang mengambang di udara terpelanting.
“Bujang!!” Yuki berseru tertahan.
“Astaga!” Kiko menutup mulutnya dengan jemari tangan.
Lawanku bergerak, saat aku sedang bergegas memperbaiki posisi, dia
maju dengan tinjunya, dia berada di atas angin sekarang, mengendalikan
pertarungan. Aku bergegas menghentakkan kaki di lantai, melenting menghindar,
loncat menjauh. Tubuhku kembali menghilang tak terlihat.
Sia-sia.
Orang bertopeng itu sekali lagi memetik gitarnya, satu petikan,
nyaring, terdengar memenuhi seluruh gudang. Belum hilang gema petikan gitar
itu, dia melesat maju, petikan gitar tadi membuatnya tahu persis di mana
tubuhku akan muncul.
BUKK! Tinjunya menghantam wajahku.
BUKK!! Menyusul satu lagi mengenai dada.
Kali ini aku benar-benar kehilangan keseimbangan, badanku terbanting
ke lantai. Tersungkur bersama kepul debu. Aku telah kalah.
Orang dengan topeng itu melangkah mendekatiku.
“Bujang!!” White di atas kontainer berseru, dia hendak menarik pelatuk
AK-47.
“Jangan lakukan, White!” Salonga di bawah lebih dulu berteriak tegas.
“Kita harus membantu, Bujang.”
“Tidak.” Salonga menggeleng, “Pertarungan tangan kosong satu lawan
satu. Tidak ada yang boleh membantu. Kesepakatan adalah kesepakatan.”
White hendak balas berseru, tapi dia tidak bisa melakukan apapun. Itu
benar, itulah kesepakatan sebelumnya. White gemas mengepalkan tangannya.
“Bagaimana dia bisa membaca gerakan teknik Kakek Bushi.” Yuki berseru,
menatap tidak mengerti kepada saudara kembarnya, “Bagaimana dia tahu posisi
menghilang Bujang?”
Kiko mengusap wajahnya, dia juga tidak tahu. Beberapa detik lalu dia
masih yakin sekali teknik itu tidak ada yang bisa mengalahkannya.
Dari kejauhan, sirene mobil polisi terdengar. Melaju cepat menuju
gudang kontainer stasiun kereta api. Aku menyeka bibir yang berdarah.
“Lo siento, Agam,” Orang itu telah berdiri di depanku, “Kamu lupa satu
hal. Teknik ninja itu memang cepat, hingga aku tak bisa melihat gerakanmu. Tapi
aku tidak butuh melihat untuk mengalahkan teknik tersebut, aku hanya perlu tahu
gerakanmu. Gitar ini membantu, teknik kelelawar. Seekor kelelawar tidak berburu
dengan mata, dia mendengar, menggunakan pantulan suara, maka seekor serangga
hitam terbang dalam gelap sekalipun dia bisa tahu.
Menyambarnya secara akurat
tanpa perlu melihat.”
Aku beranjak duduk, kemejaku dipenuhi debu.
“Sayangnya, unit Secret Service itu telah dekat, Agam. Mereka
sepertinya datang bersama pasukan polisi Meksiko. Aku harus pergi. Adios,
Hermanito.” Orang bertopeng itu mengangguk ke arahku, lantas mengeluarkan
suitan panjang.
Sama seperti saat dia masuk, dia juga pergi dengan penuh gaya. Lepas
suitan panjang itu, seekor kuda berlarian ke dalam gudang. Orang bertopeng itu
membuka pintu kontainer dengan cepat, meraih prototype teknologi anti serangan
siber yang tersimpan di dalam koper baja, kemudian gesit lompat ke atas
kudanya, berderap meninggalkan gudang. Membawa benda itu.
White sekali lagi hendak menghentikan orang itu dengan menumpahkan
AK-47, Salonga mengangkat tangannya, menyuruh White tetap di posisi tidak
melakukan apapun. Menembaknya adalah tindakan yang tidak terhormat, demikian
maksud ekspresi wajah Salonga. Orang bertopeng itu hilang di kegelapan malam
bersama kudanya, menyisakan kepul debu.
Salonga bergegas mendekatiku. Juga Yuki dan Kiko. White turun dari
atas kontainer.
Aku beranjak berdiri. Menepuk-nepuk kemejaku. Nafasku masih tersengal.
“Kamu baik-baik saja, Bujang?” Salonga bertanya.
Aku mengangguk, aku baik-baik saja. Kondisi fisikku pernah lebih parah
dari ini. Yang tidak baik-baik saja adalah suasana hatiku. Buruk sekali. Aku
telah ditaklukkan oleh seseorang begitu mudah. Teknik ninja milik Guru Bushi
yang susah payah ku-kuasai telah kalah. Oleh seseorang yang tidak kukenal, dan
dia sekaligus membawa pergi benda berharga milik Keluarga Tong.
Sirene mobil polisi semakin lantang, mereka telah masuk ke komplek
Stasiun. Belasan mobil petugas mengepung pintu depan. Agen Secret Service dan
polisi Meksiko berlompatan turun, membawa senjata mesin.
“Kita akan membalasnya, Bujang. Kamu hanya sial—” White berusaha
menghiburku.
“Siapkan mobil, White. Kita harus segera meninggalkan tempat ini!
Tidak ada waktu memikirkan pertarungan tadi.” Salonga berseru.
White mengangguk, dia berlarian menuju mobil jeep.
_______________________________________________________________
bersambung ke Bab 3