Bab 15. Keluarga Yamaguchi



Keluarga Yamaguchi adalah salah-satu dari delapan penguasa shadow economy di kawasan Asia Pasifik.

Generasi pertama, kakek dari kepala keluarga mereka sekarang, memulai imperium keluarga mereka dari ‘bisnis’ kecil simpan-pinjam, di sudut sebuah kota, selepas dua bom atom menghancurkan Jepang tahun 1945. Mereka meminjamkan uang seribu yen (misalnya) kepada pedagang, petani, nelayan, lantas, satu bulan kemudian, uang itu harus dikembalikan menjadi seribu lima ratus yen. Itu transaksi yang ‘sangat legal’, bukan? Terlepas dari betapa tinggi bunga yang harus dibayar, sekali pemijam dan pemberi pinjaman sepakat, transaksi sah-sah saja. Tidak ada yang menyuruh orang-orang meminjam kepada keluarga Yamaguchi, tidak ada paksaan, tidak ada ancaman.

Masalahnya, saat itu, kalah dalam perang dunia, pilihan meminjam uang amat terbatas di Jepang, dan keluarga Yamaguchi mudah sekali memberikan uang pinjaman tanpa perlu pemeriksaan latar belakang, appraisal, jaminan, dan kerepotan lainnya. Tinggal datang ke rumah mereka, bilang butuh uang seribu yen, saat itu juga diberikan, hanya dicatat dalam buku besar. Tidak ada yang mengalahkan betapa ‘pemurah’ nan ‘baik-hati’nya keluarga Yamaguchi saat memberikan pinjaman. Tidak ada. Mereka seperti malaikat. Orang-orang berbondong meminjam uang.

Akan tetapi, malaikat itu berubah menjadi iblis mengerikan saat hutang tersebut jatuh tempo. Dan dimulailah bagian paling gelap dari bisnis simpan-pinjam keluarga Yamaguchi. Mereka akan mengirim tukang pukul menyita seluruh harta benda tersisa milik si penghutang, memotong jarinya, menyakiti keluarganya, apapun dilakukan agar uang itu kembali. Dan sama seperti rentenir lainnya, hutang itu terus beranak-pinak. Tidak dibayar, seminggu kemudian menjadi dua ribu yen. Tidak dibayar lagi, sebulan menjadi dua kali lipatnya empat ribu yen.

Itulah bisnis awal keluarga Yamaguchi. Mereka tidak menyentuh hal-hal ‘haram’ seperti narkoba—bahkan mereka membenci bisnis itu. Juga tidak perjudian, prostitusi, human trafficking dan bisnis hitam lainnya. Mereka hanya berbisnis ‘simpan pinjam’ biasa—jika kalian sempat datang ke rumah pertama tempat bisnis mereka dimulai, di ruang tamu, di sana ditulis dengan sangat indah visi bisnis simpan pinjam itu, “Meringankan yang kesusahan. Membantu yang membutuhkan. Yamaguchi.” Walaupun definisi meringankan dan membantu itu berbeda bumi-langit saat hutang jatuh tempo. Tapi salah siapa mereka pinjam ke Keluarga Yamaguchi?

Jepang kemudian melesat cepat sebagai naga Asia. Mereka pulih dari ledakan bom atom dan kalahnya di PD II. Perekonomian Jepang loncat, dari sektor pertanian, agrobisnis, menjadi manufaktur, pabrik, untuk kemudian loncat lagi ke sektor jasa, perbankan dan keuangan. Tentu saja, hal itu membuat lebih banyak tempat alternatif meminjam uang, Yamaguchi bukan satu-satunya lagi. Kantor bank berdiri hingga sudut-sudut kota dan desa, memang repot memenuhi syarat dari lembaga keuangan resmi, tapi tidak apalah repot sedikit, yang penting tidak ada samurai yang ditempelkan ke leher jika gagal mencicil. Staf bank lebih sopan.

Bapaknya dari kepala keluarga Yamaguchi sekarang melihat angin perubahan tersebut, dan dia memutuskan merubah haluan bisnis keluarga. Sudah tidak jaman lagi menjadi rentenir. Saatnya berubah. Dengan uang yang banyak yang mereka miliki, Yamaguchi mulai mendirikan pabrik-pabrik besar. Kulkas, televisi, motor, mobil, apapun yang kalian lihat hari ini dan bertuliskan made in Jepang, itu dibuat di pabrik milik keluarga Yamaguchi. Haluan baru itu dengan cepat tumbuh, karena sejatinya, mereka tetap saja adalah keluarga yakuza. Jika ada pesaing yang mengancam, mereka habisi dengan kekerasan. Jika ada lokasi tanah yang tidak dijual, mereka kirim tukang pukul. Nampak depan bisnis mereka terlihat baik-baik, iklan televisi mereka menggunakan artis terkenal di jaman itu, di belakang, Yamaguchi menyumpal banyak orang, termasuk jika perlu membunuhnya. Itu bukan persaingan bisnis normal, jadilah keluarga ini besar sekali.

Kepala keluarga Yamaguchi sekarang bernama Hiro Yamaguchi.

Generasi ketiga dari sejarah panjang keluarga mereka. Usianya enam puluh tahun, wajahnya ramah dan menyenangkan. Tidak akan ada yang menyangka dia kepala keluarga penguasa shadow economy. Tetapi sejatinya dia telah melewati banyak badai untuk mempertahankan posisinya. Dua kali pengkhianatan—yang semuanya dilakukan oleh saudara tirinya. Berkali-kali percobaan pembunuhan. Dia telah banyak makan asam-garam dunia hitam. Termasuk saat bencana alam besar menghantam Jepang, seperti gempa bumi skala 9 (yang membuat puluhan pabriknya berhenti berproduksi), tsunami menghabisi bisnis di pesisir, dan sebagainya.

Bagi sebagian besar penduduk Jepang, Hiro Yamaguchi adalah pahlawan. Saat gempa bumi hebat tahun 2011, ketika perekonomian Jepang diperkirakan mengalami kerugian 200 milyar dollar, Hiro memutuskan memberikan banyak bantuan. Dia bahkan mengalirkan aliran listrik dari pembangkit milik keluarga ke kota-kota yang gelap gulita karena krisis listrik. Tukang pukulnya lebih gesit dan lebih cepat datang dibanding militer Jepang dalam memberikan pertolongan pertama ke pemukiman yang terkena bencana. Menumpuk tinggi bantuan sembako, pakaian dan obat-obatan. Hiro Yamaguchi menjadi pahlawan nasional.

Hiro Yamaguchi dekat dengan Tauke Besar lama. Satu, karena mereka memiliki visi yang sama, transformasi keluarga penguasa shadow economy menjadi lebih terang dan legal—mesti kekerasan tetap ada di sana-sini. Dua, mereka berdua fokus pada pengembangan bisnis, bukan perebutan kekuasan apalagi intrik-intrik licik antar keluarga, setiap kali bertemu, mereka membahas bisnis, bukan tentang kekuasaan. Cocok satu sama lain. Tiga, sosok Guru Bushi. Hiro Yamaguchi menghormati Guru Bushi karena puluhan tahun lalu, Guru Bushi menyelamatkan berkali-kali keluarga mereka, dan fakta Guru Bushi juga dekat dengan Tauke Besar lama, bahkan menjadi guru samuraiku, itu membuat Hiro Yamaguchi menghormati Keluarga Tong. Aku sudah tiga kali bertemu dengannya, tiga-tiganya bersama dengan Tauke Besar lama.

***

Lampu safety belt dinyalakan Edwin.

Aku menutup laptop, meletakkannya di bangku sebelah, beranjak menepuk bahu Salonga.

“Apakah kita sudah sampai, Bujang?” Salonga menggeliat, memperbaiki posisi.

Aku mengangguk.

“Pukul berapa sekarang?”

“Hampir pukul empat sore,” Aku melirik pergelangan tangan, masih beberapa jam lagi resepsi pernikahan tersebut. Waktu kami masih longgar.

Salonga memasang sabuk pengaman.

Lima belas menit, pendaratan yang mulus, moncong pesawat jet telah menuju apron khusus.

Setiba di parkiran, tiga sedan berwarna gelap telah menunggu persis di bawah anak tangga.

Akashi, kepala tukang pukul Yamaguchi menjemputku langsung.

“Selamat datang di Tokyo, Tuan Bujang.” Akashi memelukku saat aku turun.

Aku balas memeluknya hangat. Aku mengenalnya, dia adalah salah-satu ninja hebat yang tersisa, usianya hampir lima puluh tahun, tapi tampilan fisiknya yang gagah seperti masih tiga puluhan. Mengenakan stelan jas rapi, sepatu mengkilap, dia adalah ninja modern. Samurai? Jangan keliru, dia tetap membawanya, dijadikan ikat pinggang, melengkung di dalam sabuk. Sekali Akashi melepas sabuknya, mencabut samurai super tipis yang terbuat dari titanium lentur, benda itu amat mematikan. Itu bukan pedang biasa, itu pedang fleksibel yang bisa keras dan kokoh, untuk kemudian seketika berubah menjadi amat lentur, meliuk laksana ular.

“Selamat datang di Tokyo, Tuan Salonga.” Akashi membungkuk.

Salonga balas membungkuk.

“Tuan Hiro menunggu di kediamannya, Tuan Bujang, Tuan Salonga. Masih tiga jam lagi resepsi tersebut, masih sempat melakukan pembicaraan. Tuan Hiro harus memimpin acara keluarga setelah resepsi, jadi lebih baik dilakukan sekarang.”

Aku mengangguk—setuju. Itu lebih baik, agar kami bisa fokus pada resepsi pernikahan setelah pembicaraan.

Tiga sedan segera beriringan, melesat membelah jalanan kota Tokyo menuju kediaman Yamaguchi.

“Aku sempat melihat video kematian Vasily.” Akashi bicara, mengisi suasana lengang di dalam mobil, “Itu pesan yang sangat kuat kepada Master Dragon, Tuan Bujang.”

Aku mengangguk.

“Apakah benar Tuan Bujang menangkap bedebah itu sendirian.”

“Aku dibantu Yuki dan Kiko.”

“Ah, cucu Guru Bushi.” Akashi berseru.

Aku mengangguk lagi.

“Aku sudah lama tidak bertemu dengan si kembar. Apakah mereka masih suka bermain-
main menyebalkan seperti dulu, Tuan Bujang?”

Aku tertawa—itu berarti iya.

Akashi ikut tertawa.

“Sebagai informasi, Tuan Hiro akhirnya mengikuti saranmu, Tuan Bujang.” Akashi bicara lagi setelah tawanya reda.

“Saran?”

“Haik. Tentang resepsi pernikahan. Tuan Hiro memutuskan untuk membuat acaranya lebih tertutup. Kejadian Vasily itu membuatnya berubah pikiran. Kami akhirnya hanya mengundang keluarga dekat, kolega dan orang-orang yang memang layak hadir. Acara tetap dilaksanakan di Kuil Meiji, tapi kami akan menutup seluruh kuil dan jalan-jalan radius satu kilometer. Otoritas kota juga membantu pengamanan, mereka menganggap Tuan Hiro sebagai tokoh penting di Tokyo.”

“Itu keputusan bijak, Akashi. Lebih sedikit yang hadir, tidak akan mengurangi sakralnya prosesi pernikahan tersebut. Situasi ini, kita tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Master Dragon. Boleh jadi belalai guritanya diam-diam sudah tiba di sini.”

“Bedebah itu, dia akan tumbang pada akhirnya, Tuan Bujang. Usianya sudah delapan puluh tahun, kakek-kakek tua, seharusnya dia lebih asyik bermain dengan cucu-cucunya, bukan justeru hendak mengobarkan perang antar keluarga penguasa shadow economy.”  

“Akashi, aku juga sudah tujuh puluh tahun, kakek-kakek, maksudmu itu juga berarti aku?” Salonga ikut bicara.

“Eh,” Akashi terdiam, salah-tingkah, “Tentu tidak, Tuan Salonga. Dalam kasus ini, Tuan Salonga berbeda, lihatlah, masih gagah perkasa. Master Dragon, terakhir informasi yang kami terima, dia jatuh sakit.”

Salonga meluruskan kakinya.

“Master Dragon jatuh sakit?” Aku bertanya—aku tertarik sekali dengan ujung kalimat Akashi.

“Haik. Tapi itu informasi yang masih membutuhkan konfirmasi, Tuan Bujang, mata-mata kami di Hong Kong barusaja mengabarkan hal tersebut. Sedikit sekali yang tahu dan punya akses langsung kepada Master Dragon sekarang. Jadi informasi apapun, tidak bisa dipercaya begitu saja.”

Aku mengangguk. Tapi tetap saja itu informasi menarik. Terakhir aku bertemu dengan Master Dragon adalah beberapa bulan lalu, saat mengurus Keluarga Lin yang mencuri benda milik kami. Di perayaan ulang tahun ke-80 Master Dragon. Dia masih terlihat sehat, fisiknya prima, wajahnya segar, suaranya lantang berwibawa. Penampilannya tetap tidak bisa dibantah sebagai kepala delapan keluarga penguasa shadow economy. Dia dikabarkan jatuh sakit? Aku sulit mempercayainya.

“Kita tidak bisa mengalahkan usia, Tuan Bujang.” Akashi berseru—seperti tahu apa yang kupikirkan, “Peperangan ini, pasti menjadi beban pikirannya. Usianya jelas tidak muda lagi, fisiknya tidak sekuat dulu. Banyak kakek-kakek lain di usia itu yang terkena stroke, jantungan, sakit pinggang, punggung, asam urat di usia tersebut.”

“Hei, Akashi, kamu menyindirku lagi? Aku juga menderita asam urat.”

“Eh,” Akashi menoleh, “Tentu tidak, Tuan Salonga. Tapi, eh, apakah benar Tuan Salonga menderita asam urat?”

***

Kediaman Hiro Yamaguchi adalah sebuah rumah dengan halaman luas, terletak di utara kota Tokyo. Rumah itu adalah rumah tradisional Jepang, dengan dinding kayu dan atap genteng. Pintunya menggunakan pintu geser.

Sekilas lalu, rumah itu tidak cocok untuk menjadi tempat tinggal kepala keluarga salah-satu penguasa shadow economy, karena rentan dan mudah ditembus. Apalah kekuatan dinding kertas, mudah saja merobeknya dengan tangan. Masalahnya, dari gerbang pagar rumah tersebut, penyerang harus melewati pepohonan rapat, berganti hutan bambu, diikuti hamparan rumput yang terpangkas rapi, gemericik sungai, hamparan koral, diselingi bebatuan, taman bonsai dan taman bunga, total sepanjang dua kilometer barulah tiba di rumah tersebut. Dan setiap jengkal perjalanan tersebut ada tukang pukul Yamaguchi yang berjaga. Itu jelas pertahanan yang tidak mudah dilewati. Serangan udara juga tidak mudah, karena halaman luas itu dilengkapi persenjataan yang bahkan bisa melumpuhkan pesawat F-22.

Tiga sedan gelap terus meluncur memasuki jalan pribadi, menuju rumah tradisional tersebut.

Berhenti persis di depan bonsai-bonsai yang ditata rapi.

“Kita sudah tiba, Tuan Bujang, Tuan Salonga.” Akashi memberitahu.

Aku dan Salonga beranjak turun.

Hiro Yamaguchi langsung yang menungguku di depan pintu rumahnya. Melangkah mendekat, tertawa lebar. Untuk seorang Jepang, dia cukup tinggi, wajahnya juga adalah campuran, tidak khas Jepang—karena Ibunya dari kepulauan Maldives.

“Bujang-kun, selamat datang.” Hiro berseru riang, membungkuk.

Aku ikut membungkuk dalam-dalam.

“Terima kasih banyak atas sambutannya yang hangat, Hiro-san. Terima kasih banyak”

Berpelukan erat, Hiro Yamaguchi menepuk-nepuk bahuku.

“Sejak pertama kali melihatmu diajak Tauke Besar ke pertemuan, aku tahu suatu saat kelak, kamu akan menjadi penerus Keluarga Tong, Bujang-kun…. Ah, aku juga turut berduka cita atas kematian Tauke Besar, Keluarga Yamaguchi kehilangan sahabat terbaik. Dia selalu ada jika kami membutuhkannya. Dia lebih dari sahabat, dia adalah keluarga.”

Aku mengangguk, “Terima kasih, Hiro-san…. Dan aku minta maaf jika pertemuan ini mengganggu persiapan pernikahan, Hiro-san. Di waktu yang keliru.”

“Tidak, Bujang-kun, dalam banyak hal kita tidak bisa memilih waktu terbaik. Saat sesuatu itu datang, kita hanya bisa bersiap menghadapinya. Mari, Bujang-kun, Tuan Salonga, kita bicara di dalam.” Hiro Yamaguchi mempersilahkan kami masuk. Enam-delapan tukang pukul senior dan kepala bisnis Keluarga Yamaguchi berdiri di sekitar kami, mereka ikut melangkah masuk saat aku, Salonga dan Hiro melewati pintu geser.

Kami duduk bersila di sebuah ruangan washitsu, dengan alas tatami (tikar tebal yang dibuat dari jerami). Meja panjang dari kayu jati dengan ukiran indah di kelilingi oleh peserta pertemuan. Aku mengenali beberapa wajah mereka—pernah bertemu satu-dua kali dalam urusan bisnis. Yang duduk di sebelah kiri Hiro Yamaguchi adalah Akashi, kepala tukang pukul. Di sebelah kanan Hiro adalah Kaeda, putri tertua Hiro Yamaguchi—usianya empat puluh tahun, kepala seluruh bisnis, seperti Parwez dalam struktur Keluarga Tong. Sisanya adalah orang-orang kepercayaan Hiro.

Pemandangan dari ruangan washitsu ini indah tak terkira, shoji (pintu geser dari kertas) di belakangnya sengaja dibuka, memperlihatkan danau kecil, pepohonan bonsai, dan gemericik air dari instalasi bambu. Beberapa ekor flamingo nampak sedang berenang. Juga burung-burung berkicau riang. Udara pinggiran kota Tokyo terasa segar.

Pelayan mengantarkan mangkok, menuangkan teh hangat. Saat mereka beringsut keluar, Hiro Yamaguchi langsung memulai pertemuan.

“Bujang-kun, aku turut bersimpati atas kejadian percobaan pembunuhan tersebut.”

“Terima kasih, Hiro-san.”

“Situasi ini serius dan pelik. Master Dragon jelas-jelas menunjukkan niat buruknya. Dia tidak lagi diam-diam, dia telah terang-terangan memutuskan berperang dengan Keluarga Tong. Aku memiliki hubungan yang erat dengan Tauke Besar sebelumnya, maka dengan situasi terkini, aku menawarkan bantuan kepada Keluarga Tong. Kita tidak bisa membiarkan Master Dragon merusak keseimbangan yang ada. Cepat atau lambat, dia juga akan menyerang kami.”

Aku mengangguk, itulah tujuanku datang kemari.

“Itu sungguh baik hati, Hiro-san—bahkan sebelum aku menyampaikan permintaan tersebut. Maka dengan ini, aku mewakili Keluarga Tong menawarkan aliansi resmi dengan Keluarga Yamaguchi untuk melawan Hong Kong dan Beijing yang didukung Keluarga Lin dan El Pacho.” Aku mengangkat mangkok teh ke arah Hiro Yamaguchi.

“Well, kamu sudah mendapatkannya, Bujang-Kun. Aku secara resmi menyetujui aliansi tersebut.” Hiro Yamaguchi mengangkat mangkok. Diikuti oleh seluruh peserta pertemuan.

“Baik, kapan kita akan menyerbu Hong Kong, Bujang-Kun. Berikan kami perintah, aku akan mengirim ratusan ninja terbaik ke sana.” Akashi langsung berseru setelah mangkok diletakkan kembali, “Bedebah Master Dragon itu, semakin lama dibiarkan, kakek tua itu semakin lupa sopan-santun. Tidak semua keluarga bisa dia atur-atur semaunya.”

Salonga segera melambaikan tangan, menggeleng, “Tidak begitu cara kita berperang, Akashi. Dan berhentilah memaki lawan. Itu tidak terhormat…. Ini bukan jaman Edo dengan Shogun-Shogun-nya. Tidak suka, hunuskan pedang, bertarung hidup mati. Aliansi ini tetap belum cukup kuat melawan Master Dragon dan besannya di Beijing.”

“Ninja kami sangat mematikan, Tuan Salonga. Kita tidak bisa hanya menunggu diserang duluan.” Akashi bersikeras—dia sama seperti Togar, baginya berperang demi membela kehormatan keluarga adalah jalan suci, kalah atau menang urusan belakang. Puncak pengabdian tukang pukul adalah mati demi membela Tauke Besar.

“Aku tahu itu, Akashi. Tapi tukang pukul Master Dragon juga terlatih dan lebih banyak. Dia didukung Beijing, Keluarga Lin dan El pacho. Kita membutuhkan satu keluarga lagi.”

“Salonga benar, kita tidak bisa tergesa-gesa menyerang, Akashi.” Hiro Yamaguchi mengangguk takjim, “Bratva di Moskow. Mereka kunci peperangan ini. Jika dia bersedia bergabung dengan aliansi kita, poros Hong Kong akan tumbang. Aku sendiri yang seharusnya menemui mereka segera, membicarakan persoalan ini, tapi hari-hari ini, aku tidak bisa meninggalkan Tokyo.”

“Jika Hiro-san mengijinkan, aku yang akan menemui mereka. Setelah dari Tokyo, aku bisa terbang ke Moskow. Begitulah rencananya.”

“Ah, itu bagus sekali. Mungkin memang lebih baik Bujang-kun yang menemui mereka. Bratva menyukai anak muda dengan visi cemerlang dan terbuka…. Kaeda, putri sulungku bisa menemani-mu, sebagai wakil dari Keluarga Yamaguchi.”

Kaeda, yang duduk di sebelah Hiro, mengangguk mantap.

“Sekarang persoalannya, bagaimana meyakinkan Moskow. Aku belum tahu bagaimana membujuk Bratva, tapi mereka tidak akan berdiam diri dalam krisis ini. Jika Master Dragon hendak mengenyahkan Keluarga Tong, dan itu berarti hanya soal waktu juga menghabisi Keluarga Yamaguchi, itu berarti keseimbangan akan berubah di Asia Pasifik. Bisnis, konsesi, teritorial, semua akan berubah, membentuk keseimbangan baru. Itu akan mempengaruhi kekuasaan Bratva. Sekarang pertanyaannya, apakah Bratva akan bergabung dengan Master Dragon, atau menentangnya. Aku belum tahu apakah orang-orang Master Dragon telah singgah di Moskow mengajak mereka bicara, menawarkan sesuatu.”

“Orang-orang Master Dragon telah tiba di sana, Otōsan. Sejak 12 jam lalu.” Kaeda ikut bicara, “Tapi menurut mata-mata kita di Moskow, kepala Bratva belum bersedia menemui mereka. Keluarga Krestniy Otets masih melihat situasi terkini, mereka masih menakar kekuatan.”

“Baik. Itu berarti kesempatan terbuka lebar bagi kita. Sepanjang kita tahu apa keinginan Bratva. Tawaran apa yang dia inginkan.”

“Aku sudah memiliki tawaran yang tidak akan bisa ditolak mereka, Hiro-san. Serahkan padaku pertemuan tersebut, Moskow akan bergabung dengan kita.” Aku menjawab tegas.

“Bagus sekali, Bujang-kun.” Hiro Yamaguchi mengangguk, “Besok pagi-pagi, setelah acara pernikahan selesai, kalian bisa segera berangkat ke Moskow. Sekali tiga keluarga resmi bergabung, kita akan menentukan lebih detail strategi peperangan ini. Aku tidak ingin peperangan ini menelan banyak korban, biaya dan waktu. Tapi aku juga tidak mau kita jadi seorang pengecut, menyerang dengan cara licik. Keluarga Yamaguchi sudah lama tidak melakukan itu. Semakin kecil dampaknya, semakin efisien strategi kita, itu semakin baik.”

Aku mengangguk.

Hiro Yamaguchi mengangkat mangkoknya, berseru lantang, “Banzai, Keluarga Yamaguchi.”

Peserta pertemuan ikut berseru, “BANZAI!!”

Aku dan Salonga ikut berseru, “Banzai!!”

“Banzai, Keluarga Tong,” Hiro Yamaguchi mengangkat mangkoknya ke arahku.

“BANZAI!”

Aku dan Salonga sekali lagi berseru, “Banzai!”

Pertemuan itu telah selesai.

***

Peserta pertemuan bubar, menyisakan Hiro Yamaguchi dan Kaeda.

Hiro mengajakku dan Salonga berjalan kaki menuju bangunan satunya lagi, terpisah oleh danau kecil yang indah, taman bonsai, serta hamparan kerikil, bangunan tempat tinggal keluarga Yamaguchi.

Dari jauh, kesibukan persiapan resepsi nanti malam terlihat kontras—dengan bangunan sebelumnya yang justeru dipenuhi tukang pukul dan membahas tentang peperangan.

“Akashi bilang, Master Dragon jatuh sakit, Hiro-san. Apakah kabar itu benar?” Aku bertanya, kami berjalan bersisian di atas jalan setapak.

“Haik. Kabar itu kami terima enam jam lalu, Bujang-senpai.” Kaeda yang menjawab, “Tapi kami belum bisa memastikannya. Lagipula, itu tidak akan berpengaruh banyak. Perang tetap meletus meskipun dia terbaring di atas ranjang.”

 “Siapa informan kalian di Hong Kong?”

“Paman Shiro—beliau lima tahun terakhir menetap di Hong Kong. Menjadi dokter di sana.”

Aku mengangguk. Aku tahu Hiro Yamaguchi memiliki belasan saudara laki-laki dari dua empat ibu tiri—yang juga menjadi sebab pengkhianatan dalam keluarga sebelumnya. Tidak semua berkecimpung dalam dunia shadow economy, beberapa memiliki profesi yang amat bertolak-belakang. Shiro Yamaguchi misalnya, dia adalah dokter bedah jantung ternama di Asia, aku pernah bertemu dengannya.

“Kami sedang menunggu kabar terbaru dari Hong Kong. Paman Shiro memiliki informan di rumah sakit pemerintah dan swasta, jika Master Dragon memanggil dokter ke kediamannya, Paman Shiro bisa segera mengonfirmasi hal tersebut.”

Aku mengangguk lagi, jika demikian, itu berarti informan yang terpercaya dan akurat.

Kami terus berjalan di samping danau. Cahaya senja lembut membasuh wajah. Sebentar lagi matahari tenggelam, lampu-lampu telah dinyalakan, membuat semakin indah sekitar.

“Apakah kalian tahu jika Yurii si pembuat bom menerima kontrak dari Master Dragon?” Aku teringat isu lain yang tidak kalah penting.

“Haik, kami tahu, Bujang-senpai. Cucu Guru Bushi memberikan informasi tersebut.” Kaeda menjawab, “Aku tahu maksudmu, tapi jangan cemaskan acara pernikahan malam ini, Akashi dan tukang pukulnya telah menambah lapisan pemeriksaan. Detektor, anjing pelacak, teknologi sensor bom terbaik sudah siap di kuil tempat acara pernikahan. Kami menutup Kuil Meiji, hanya orang yang benar-benar kami kenal yang boleh masuk. Dan sebagai rencana darurat, Akashi juga menyiapkan tim penjinak bom serta alat berat untuk lainnya.”

“Yurii bisa membuat bom dalam bentuk benda kecil, Kaeda. Itu bisa luput dari perhatian.”

“Haik, kami sudah siap dengan kemungkinan itu, Bujang-senpai. Semua pernak-pernik pernikahan, sendok, piring, garpu, apapun itu diperiksa berkali-kali. Tidak akan ada benda asing yang bisa masuk ke kuil Meiji tanpa pemeriksaan kami.” 

“Mari kita lupakan sejenak urusan pekerjaan, Bujang-kun,” Hiro tersenyum, memotong percakapanku dengan Kaeda, melambaikan tangannya, “Mari kita bertemu dengan calon pengantin, putri bungsuku.”

Kami telah tiba di halaman rumah tujuan. Di sana puluhan wanita muda memakai kimono, pakaian tradisional Jepang telah berkumpul. Warna-warna cerah, senyum bahagia mengembang. Mereka membawa buket bunga-bunga, kipas, kotak-kotak putih. Suasana riang terhampar di depan kami. Ini sudah hampir pukul enam sore, rombongan pengantin perempuan telah siap berangkat menuju kuil.

Kerumunan wanita muda itu tersibak, seseorang melangkah maju.

“Bujang-kun, akhirnya kamu tiba.” Ayako—istri dari Hiro Yamaguchi menyapaku. Dia terlihat anggun dengan kimono berwarna kuning keemasan. Usianya kurang lebih sama dengan Hiro, enam puluh. Wajahnya lembut, keibuan—seperti menatap tokoh utama serial Oshin jaman lama. Dia menyapaku dengan riang.

Aku balas membungkuk.

“Terima kasih banyak sudah datang jauh-jauh, Bujang-kun. Apalagi setelah kabar buruk itu.”

“Akulah yang seharusnya berterima-kasih telah diundang, Ayako-san.”

Ayako tersenyum, “Hari ini, genap sudah empat putri kami telah menikah, Bujang-Kun. Kira-kira kapan kamu juga akan menikah, agar kami bisa membalas kunjungan ini?”

Aku tersedak kecil dengan pertanyaan itu.

Salonga seketika tertawa lebar di sebelahku.

Aku mengangkat bahu, sedikit kikuk, itu sungguh pertanyaan tak terduga, “Mungkin suatu saat, Ayako-san. Boleh jadi segera, boleh jadi masih lama.”

Hiro Yamaguchi ikut tertawa, “Ayolah, jangan ganggu dia soal itu, Ayako. Dia adalah Tauke Besar Keluarga Tong sekarang, dia bukan tukang pukul biasa, atau anak muda yang dulu polos sekali wajahnya ketika dididik oleh Guru Bushi di sini. Aku ingat sekali waktu itu, dia menatap bingung Guru Bushi, hendak protes, apa hubungannya belajar samurai dengan ritual minum teh.”

“Tapi usia Bujang-Kun sudah tiga puluh lima, Hiro. Dia sudah seharusnya menikah. Aku tahu, Tauke Besar dulu tidak sempat mengurus soal itu, keluarga mereka memang tidak ada sosok ibu yang mengurus anak-anaknya. Begini saja, kamu mau aku carikan gadis Jepang, Bujang-kun.” Ayako tersenyum menatapku, “Empat putriku sudah terlanjur menikah, jadi Keluarga Yamaguchi tidak bisa berbesanan dengan Keluarga Tong. Tapi masih banyak putri cantik di keluarga ini, sepupu Kaeda dan Sakura ada belasan. Mereka cantik, cerdas, berpendidikan tinggi, dan tidak akan kaget lagi memahami dunia kita. Apa kriteria-mu Bujang-kun, sebutkan saja.”

Wajahku memerah.

Salonga semakin terkekeh di sebelahku. Jika saja acara ini lebih santai, dan tidak ada puluhan pengiring pengantin perempuan di sekitar kami, aku aku menyikut perut Salonga agar dia diam segera.

“Eh, aku akan memikirkan hal itu, Ayako-san. Terima kasih banyak telah berbaik hati kepadaku. Sungguh terima kasih.” Aku menjawab seadanya, membungkuk kikuk.

Percakapan itu baru terhenti –dan aku terselamatkan—saat calon pengantin wanita keluar dari ruangan. Itulah Sakura, dia mengenakan gaun pengantin tradisional Jepang, uchikake, kimono berwarna putih, dengan tutup kepala putih berukuran besar. Sakura terlihat menawan di hari paling penting dalam hidupnya. Sakura membungkuk ke arahku. Aku membalasnya. Tersenyum.

Beberapa staf Keluarga Yamaguchi nampak berkomunikasi dengan staf di Kuil Meiji dan rombongan pengantin laki-laki yang berangkat dari tempat lain. Salah-seorang staf bicara dengan Ayako, memberitahu persiapan telah selesai.

“Baik. Jika semua sudah siap, kita bisa segera berangkat ke Kuil Meiji.” Ayako mengangguk, menoleh ke puluhan pengiring pengantin perempuan, “Chop, chop, anak-anak. Siapkan keberangkatan.”

Keramaian di bangunan itu semakin meningkat.

Semangat pernikahan mulai terasa sakral di langit-langit. Wajah-wajah bahagia. Senyum terkembang. Kalimat penuh doa dan pengharapan.

Puluhan sedan hitam merapat di samping bangunan.


Rombongan pengantin segera berangkat menuju lokasi pernikahan dengan wajah gembira—untuk satu jam lagi, ternyata semua berakhir sebaliknya.
___________________

bersambung ke Bab 15

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bab 5. Aplikasi Keluarga Tong

Bab 10. Ingin Menjadi Seperti Si Babi Hutan

Bab 13. Kondangan Raisa