Bab 7. Sop Ikan Yang Berbahaya



Sekolah agama itu ada di perkampungan nelayan, bangunan-bangunan panjang dua-tiga lantai, beratap genteng, dengan cat putih, menghadap pantai. Sesore ini, sepanjang jalan perkampungan terlihat ramai, penduduk berkumpul, duduk-duduk, mengobrol, anak-anak bermain kejar-kejaran, juga di pantai, banyak yang menghabiskan waktu sambil menatap sunset sebentar lagi. Pucuk-pucuk pohon nyiur terlihat di atas atap rumah. Perahu-perahu tertambat rapi, angin bertiup pelan, membawa aroma masakan dari rumah-rumah nelayan.

Mobil Jeep yang kukemudikan perlahan memasuki pintu gerbang sekolah, beberapa santri terlihat sedang mengerjakan tugas mereka di salah-satu bangunan, membawa peralatan masak, karung-karung bahan masakan, menyiapkan makan malam. Satu-dua sedang menyapu halaman, membersihkan teras-teras panjang, juga mengangkat jemuran. Aku mendongak, masjid dan menara tingginya terlihat gagah.

Turun dari mobil, salah-satu santri yang mengenaliku bilang kalau Tuanku Imam sedang mengisi kajian kitab kuning di aula sekolah. Aku mengangguk, aku beberapa kali ke sekolah ini, cukup hafal dengan bangunannya, melangkah menuju ke sana. Salonga di sampingku, dia melepas topi cowboy-nya, menatap sekitar, berkomentar santai, “Tempat ini tidak buruk juga, Bujang. Mirip seminari di Filipina. Bedanya, di sini pantainya indah, dan muridnya memakai sarung.”

Aku mengangguk sekilas.

Ada sekitar seratusan santri duduk rapat lesehan di aula, mereka memperhatikan takjim ke depan, sesekali sibuk mencatat, sesekali memeriksa buku yang mereka bawa. Tuanku Imam sedang bicara di sana, duduk di kursi dengan meja kayu. Di atas meja itu, sebuah buku tua kekuning-kuningan terbuka lebar—dari sanalah istilah ‘kitab kuning’ berasal, karena kertasnya kuning. Kitab kuning itu sebenarnya buku-buku pelajaran agama, mulai dari soal fiqh, akidah, akhlak, ilmu nahwu sharf, dan sebagainya. Ditulis dengan huruf Arab gundul. Suara Tuanku Imam terdengar lembut nan lantang saat menjelaskan, wajahnya teduh dan berwibawa. Sesekali dia membaca kitab kuning di depannya, kemudian melanjutkan penjelasan. Petang ini, dia mengenakan sorban putih dengan pakaian abu-abu, tubuhnya tinggi kurus, dia terlihat menawan laksana foto pahlawan di uang lama.

Setengah jam sebelum adzan Maghrib, kajian itu selesai. Ratusan murid segera meninggalkan aula, berjalan menuju pondok masing-masing, melewati kami yang berdiri di pintu aula. Aku dan Salonga akhirnya melangkah maju setelah aula beranjak lengang, mengucap salam.

“Waalaikumussalam,” Tuanku Imam menoleh, wajahnya nampak riang, “Agam, kejutan yang menyenangkan.”

Aku mengangguk, sambil menunjuk ke samping, “Perkenalkan, Salonga.”

“Ah, aku tahu siapa dia,” Tuanku Imam bicara dalam bahasa Inggris, “Dia penembak ulung dari Tondo, guru menembakmu. Tauke Besar dan Kopong pernah menceritakannya. Senang sekali akhirnya kita bertemu. Mabuhay, selamat datang di sekolah kami yang sederhana, Tuan Salonga. Anggap saja rumah sendiri.”

“Maraming Salamat Po Imam, terima kasih atas sambutannya yang ramah.” Salonga balas mengangguk takjim, mereka berdua saling bersalaman.

“Kalian menyetir langsung dari ibukota, bukan?”

Aku mengangguk.

“Apakah kamu sudah shalat Ashar, Agam?”

Aku menelan ludah.

“Jika belum, masih sempat. Meski sebentar lagi adzan Maghrib. Aku tahu kamu biasanya selalu terburu-buru, tapi malam ini kita bisa makan malam bersama. Tuan Salonga harus merasakan masakan spesial para santri. Akan menyenangkan mengobrol sambil menghabiskan semangkok sop ikan. Dan bicara tentang shalat Mahrib, kamu bertugas mengumandangkan adzan sore ini, Agam. Midah pernah bilang, suaramu bagus sekali.”

Aku sekali lagi menelan ludah.

Inilah bagian yang rumit dalam hidupku.

Buat kalian yang belum mengetahuinya, aku memiliki garis keturunan yang sangat unik. Bapakku, Kakekku dari garis Bapak, terus ke atas dan ke atasnya lagi, adalah perewa mahsyur di Sumatera. Sejak jaman penjajahan Belanda dulu, sudah terkenal sebagai keluarga bandit besar. Tapi Ibuku, namanya Midah, kakeknya, terus ke atas dan ke atasnya lagi, adalah ulama besar di Pulau Sumatera, dipanggil dengan Tuanku Imam. Gelar itu diwariskan ke bawah, Tuanku Imam sekarang adalah kakak kandung Ibuku, dia memiliki dua sekolah agama, satu di Sumatera yang sekarang diurus oleh anaknya, juga bergelar Tuanku Imam, satu lagi di sini, didirikan khusus olehnya agar dia bisa melaksanakan wasiat dari Bapak, mengawasiku dari jauh. Itulah pula yang membuat kisah cinta Bapak berliku, penuh dan tanjakan dan duri. Bapak dan Mamak tidak disetujui menikah karena perbedaan garis keturunan, meski mereka telah saling suka sejak kecil. Yang kemudian membuat Bapak pergi, dan sisi gelap keturunan itu muncul, dia menjadi tukang pukul Keluarga Tong selama lima belas tahun, sebelum kembali lagi. (Kisah ini ada di Novel PULANG)

Sejak aku berhasil mengalahkan Basyir, mengambil alih kendali Keluarga Tong, menjadi Tauke Besar, sudah tak terbilang Tuanku Imam mengingatkan tentang sisi terang dalam aliran darahku. Tapi apa yang dia harapkan? Aku mendadak menjadi alim? Senantiasa shalat lima waktu, berpuasa, membayar zakat, rajin mengaji dan belajar agama? Atau dia mengharapkanku menjadi penerus Tuanku Imam berikutnya? Menjadi ustadz pengajian begitu? Itu tidak sesederhana yang orang bayangkan. Mamak dulu memang diam-diam mengajariku ilmu agama, aku bisa membaca kitab suci, bahkan tulisan Arab gundul, aku bisa shalat, aku hafal sedikit banyak nasihat agama, dan sebagainya, tapi setelah berpuluh tahun hidup di Keluarga Tong, situasinya tidak mudah. Aku dibesarkan di keluarga penguasa shadow economy. Aku bisa menjaga perutku dari alkohol, babi dan semua makanan haram lainnya, tapi bisnis Keluarga Tong adalah shadow economy.

Tuanku Imam tidak pernah berputus-asa soal itu, tentu saja, karena itulah tugasnya. Sejauh ini, setidaknya kami menyepakati beberapa hal. Satu, Keluarga Tong tidak lagi berbisnis perjudian, minuman keras, obat-obatan terlarang, pencurian, penipuan dan sejenisnya. Dua, Keluarga Tong tidak lagi membunuh, menyiksa, menyakiti kecuali diserang terlebih dahulu. Tiga, Keluarga Tong akan mengurangi cara-cara kekerasan, kami akan bertransformasi menjadi terang, legal, dan terhormat. Tapi tetap saja kami bukan perusahaan syar’i yang memenuhi kaidah agama. Keluarga Tong adalah satu diantara delapan keluarga penguasa shadow economy. Kami memang bukan El Pacho dengan bisnis narkobanya, juga bukan Keluarga Lin dengan perjudiannya, kami adalah kami, Keluarga Tong.

Ratusan santri mulai bergerak menuju masjid besar. Suara mengaji terdengar dari speaker besarnya. Penduduk di perkampungan juga mulai berdatangan ke masjid, ikut shalat.

“Mari, Agam, shalat maghrib sebentar lagi. Dan Tuan Salonga, jika berkenan, bisa menunggu sebentar di kantor, lebih nyaman di sana.”

Salonga mengangguk.

“Tolong antar Tuan Salonga.” Tuanku Imam menyuruh salah-satu santri.

“Ayo, Agam.” Taunku Imam melambaikan tangan.

Aku menelan ludah, baik, aku mengikuti langkahnya.

***

Setelah shalat Maghrib dan Isya. Makan malam di ruangan kantor.

Aku, Salonga dan Tuanku Imam duduk mengelilingi meja kayu berbentuk bundar berukuran kecil. Bakul nasi, kuali berisi sop ikan, serta piring sayur kangkung, sambal, dan tempe goreng telah disiapkan oleh santri sebelumnya. Santri juga menyiapkan mangkok-mangkok kecil khas itu—mangkok dengan gambar ayam jago.

“Ini lezat sekali, Po Imam.” Salonga terkekeh, menghirup kuah sop—panggilan Po adalah sebutan menghargai di Filipina, seperti Sir dalam bahasa Inggris.

“Tentu saja, Tuang Salonga.” Tuanku Imam menjawab ramah, dalam bahasa Inggris yang lancar, “Ikan ini ditangkap langsung oleh santri, juga bumbu-bumbu dan bahan masakannya, ditanam sendiri oleh santri, sop ini memang segar sekali.”

Salonga mengangguk-angguk, menumpahkan lebih banyak kuah ke mangkoknya. Mengambil bakul nasi yang terbuat dari anyaman rotan.

Tanpa sambutan, kami mulai makan malam.

“Tadi aku mendengar suara dari menara masjid, indah sekali. Terutama yang kedua.” Salonga telah mencomot topik percakapan—sembarang saja, sambil menyendok nasi.

“Itu suara adzan, Tuan Salonga. Dan Agam yang mengumandangkannya.”

“Dia?” Salonga menunjukku—tidak percaya.

“Iya. Suaranya memang merdu. Jika Midah mendidik ilmu agamanya hingga dewasa, boleh jadi dia menjadi Imam Masjid mahsyur di Arab sana, alih-alih seorang tukang pukul.” 

Aku tidak menjawab—tepatnya berharap topik percakapan akan pindah segera jika aku tidak menanggapinya. Tadi, aku berhasil menolak mengumandangkan adzan saat shalat Maghrib—pura-pura terlambat dari tempat wudhu, tapi tidak untuk shalat Isya. Tuanku Imam menyuruhku tegas, dan tidak ada santri yang berani menggantikannya. Suasana yang amat ganjil, tidak ada yang akan adzan padahal waktu shalat Isya telah tiba. Aku mengalah.

“Kamu harus lebih sering shalat, Agam. Itu perintah agama. Bahkan tiang agama.”

Tidak. Aku menghela nafas perlahan, percakapan ini tidak akan kemana-mana, tetap tentang shalat.

“Aku setuju, Po Imam.” Salonga ikut bicara, “Aku sendiri tidak pernah alfa setiap minggu menghadiri Misa di Gereja Tondo. Itu penting untuk membuat jalan hidup kita tetap lurus. Tersambung dengan kuasa Tuhan.”

Astaga? Aku menatap Salonga. Apanya yang lurus? Kenapa Salonga malah ikut-ikutan membicarakan tentang itu? Kami adalah keluarga penguasa shadow economy. Dan Salonga adalah pembunuh bayaran dulu. Apanya yang tetap lurus? Kami penjahat menurut definisi tertentu.

“Kamu tidak percaya, Bujang?” Salonga mengangkat bahu, “Aku aktif di gereja Tondo. Tanyakan saja ke jemaat di sana.”

Aku mendengus.

“Aku tahu apa yang kamu pikirkan, Agam.” Tuanku Imam menatapaku, tersenyum, “Tapi begitulah rumus kehidupan. Dalam perkara shalat ini, terlepas dari apakah seseorang itu pendusta, pembunuh, penjahat, dia tetap harus shalat, kewajiban itu tidak luntur. Maka semoga entah di shalat yang ke berapa, dia akhirnya benar-benar berubah. Shalat itu berhasil mengubahnya. Midah pasti pernah bilang itu kepadamu.”

Aku tetap diam—itu lebih aman.

Suara denting sendok terdengar. Hirupan kuah sop oleh Salonga. Di luar sana, para santri juga sedang makan malam di meja-meja panjang. Mereka berbaris tertib, mengambil jatah makanan, juga menghabiskannya dengan tertib.

“Kehidupanmu ada di persimpangan berikutnya, Agam. Dulu kamu bertanya tentang definisi pulang, dan kamu berhasil menemukannya, bahwa siapapun pasti akan pulang ke hakikat kehidupan. Kamu akhirnya pulang menjenguk pusara Bapak dan Mamakmu, berdamai dengan masa lalu menyakitkan. Tapi lebih dari itu, ada pertanyaan penting berikutnya yang menunggu dijawab. Pergi. Sejatinya kemana kita akan pergi setelah tahu definisi pulang tersebut. Apa yang harus dilakukan? Berangkat kemana? Bersama siapa? Apa ‘kendaraannya’? Dan kemana tujuannya? Apa sebenarnya tujuan hidup kita. Itulah persimpangan hidupmu sekarang, Bujang. Menemukan jawaban tersebut. Kamu akan pergi kemana, Nak.”

Aku menunduk, menatap mangkok sop ikanku.

Kadang kala, aku benci sekali percakapan ini, hendak menghentikannya. Tuanku Imam yang selalu sabar dan penuh pengharapan kepadaku, sekali lagi, sekali lagi dan sekali lagi mengurusi hdupku. Tapi aku tidak bisa melawan atau mengabaikannya. Aku berhutang nyawa kepada Tuanku Imam, dan dia adalah satu-satunya kakak kandung Mamak. Tapi dalam situasi tertentu, percakapan ini memiliki poin pentingnya. Tuanku Imam seperti bisa memahami hidupku. Dia benar, itulah pertanyaanku sekarang. Kemana aku akan pergi? Kemana Keluarga Tong akan kubawa pergi?

Lengang sejenak ruangan kantor itu.

“Dengan tidak melupakan darah yang mengalir di tubuhmu, semoga kamu berhasil menemukan jawabannya, Agam.” Tuanku Imam menatapku lembut.

Aku mengangguk samar.

“Bukan main, aku sudah lama sekali tidak makan malam selahap ini.” Salonga berseru di depanku, terkekeh, “Sop ikan ini berbahaya, Po Imam.”

“Berbahaya?”

“Iya. Membuatku lupa diri. Aku sepertinya terlalu banyak makan.”

Tuanku Imam tertawa pelan, “Tuan Salonga belum menikmati versi ikan bakarnya, itu lebih lezat lagi. Dengan perasan jeruk nipis. Dipanggang di atas bara tempurung kelapa. Fresh tak terkira.”

“Astaga? Aku harus mencobanya suatu saat nanti.”

Kami akhirnya loncat ke topik lainnya. Membahas tentang masakan para santri.

Setengah jam kemudian, beberapa santri datang untuk membereskan meja, mereka juga membawa kendi tanah berisi wedang jahe dan gelas-gelas kaleng. Udara malam terasa menyenangkan, Salonga menyandarkan punggung di kursi, membuka kancing atas kemejanya, kekenyangan.

“Baiklah, apa sebenarnya tujuanmu kemari, Agam?” Tuanku Imam bertanya, “Aku tahu, kamu tidak datang hanya karena ingin mengunjungiku, apalagi karena rindu bertemu dengan orang tua ini. Ada sesuatu yang menjadi pikiranmu sekarang.”


Aku mengangguk. Akhirnya topik percakapan terpenting dimulai.
____________________

bersambung ke Bab 8

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bab 5. Aplikasi Keluarga Tong

Bab 10. Ingin Menjadi Seperti Si Babi Hutan

Bab 13. Kondangan Raisa