Bab 13. Kondangan Raisa



Pukul sepuluh malam.

Setelah prosesi pemakaman Rambang di ibukota provinsi selesai dilaksanakan, aku mengumpulkan seluruh anggota penting Keluarga Tong di markas besar.

Untuk kalian yang belum tahu, markas itu berada di jantung paling elit pemukiman kota ini. Di depannya hanya tampak barisan rumah-rumah mewah, besar, megah. Setiap hari ribuan orang lewat di jalanan depannya, tanpa menyadari apa sejatinya yang berada di sana. Karena puluhan rumah itu hanya decoy, memang ada penghuninya, tapi itu adalah keluarga tukang pukul, atau kerabat ‘pemilik’ bisnis legal Keluarga Tong, orang-orang hebat yang sering masuk koran—mereka hanya suruhan kami, seolah itu perusahaan raksasa milik mereka. Di belakang rumah-rumah itu, dalam kawasan seluas sepuluh hektar, juga berbentuk rumah-rumah elit lainnya, di situlah markas Keluarg Tong berlokasi. Dari atas satelit, hanya nampak seperti perumahan biasa, normal. Di bawah atapnya, aktivitas satu dari delapan penguasa shadow economy Asia Pasifik berputar kencang seperti mesin.

Seratus tukang pukul tinggal di markas besar, berkoordinasi menjaga kepentingan bisnis, puluhan staf juga bekerja tiap hari mengkonsolidasi seluruh bisnis Keluarga Tong. Termasuk yang mengurus keperluan rumah tangga, logistik, dan pernak-pernik kecil lainnya. Semua dilakukan dengan aplikasi tingkat tinggi. Mereka tinggal di rumah-rumah elit—lagi-lagi seperti rumah biasa. Percaya atau tidak, kami juga punya RT, RW tersendiri sebagai kamuflase. Salah-satu Letnan adalah ketua RW—Togar yang menyuruhnya. Kami sedang menertawakan sistem. Tertawa di balik bayangan.

Pintu masuk ke markas besar itu berada di sebuah rumah besar pinggir jalan, yang depannya ada plang kantor. Puluhan mobil parkir di sana, ratusan lain tidak, langsung meluncur ke garasi besar, dan saat garasi di depan ditutup, dinding belakangnya yang seolah terbuat dari beton kokoh, mulai bergeser terbuka, mobil meluncur masuk ke komplek markas, disambut jalanan besar, pohon-pohon besar. Rumah-rumah yang sebenarnya ditata sedemikian rupa menjadi divisi, departemen, sesuai organisasi Keluara Tong.

Kantorku sekaligus merangkap tempat tinggal Tauke Besar berada di tengah komplek, rumah tiga lantai, dengan tiang-tiang tinggi putih. Aku sebenarnya tidak selalu tinggal di sini, aku secara acak rutin berpindah-pindah tempat tidur. Ada ribuan properti milik Keluarga Tong di kota, dengan mudah aku bisa menuju salah-satunya. Sejak dulu aku tidak suka menetap di salah-satu rumah.

Tapi terlepas dari kebiasaan itu, aku punya visi baru atas markas besar. Itulah kenapa aku menyuruh membangun kota satelit ribuan hektar di dekat kota. Kami membutuhkan area dan kawasan lebih luas. Kota itu akan menampung ribuan anggota Keluarga Tong. Dan karena kami sendiri yang mendesain semuanya sejak awal, diam-diam bagian bawah tanah kota itu juga akan dibangun. Akan ada “dua kota” di kota satelit tersebut, satu di atasnya kota normal, satu lagi di bawahnya, markas baru Keluarga Tong, itu akan persis seperti kota, kami akan mengeduk tanah sedalam tiga puluh meter, lantas menutupnya dengan rangka baja, sistem pencahayaan terbaik, sirkulasi udara, kemudian ratusan rumah, bangunan, dengan jalan-jalan lapang dibangun di dalam perut bumi.

Pukul sepuluh persis.

Di ruang kantor Tauke Besar, telah berkumpul Salonga, Si Kembar, Togar, enam Letnan, termasuk Payong, Parwez, beberapa staf penting Parwez, dan beberapa tukang pukul senior. Kami akan membicarakan kabar terakhir, dan langkah yang harus diambil terkait Master Dragon. Itu ruangan lama milik Tauke Besar sebelumnya, ada kursi-kursi dari kayu dan meja asli warisan Kerajaan Demak. Guci-guci tua, lukisan termahal dunia, juga terpajang di ruangan itu, koleksi Tauke lama. Aku membiarkannya seperti semula, tidak menyentuhnya, sebagai kenangan masa lalu.

“Selamat malam, Tauke Besar.” Peserta pertemuan berdiri saat aku melangkah masuk—kecuali Salonga, dia tetap duduk, hanya melepas topi cowboy-nya.

Aku mengangguk, menuju kursiku, menyuruh mereka duduk kembali.

“Yuki, Kiko, ada informasi terbaru?” Aku bertanya—tanpa salam apalagi sambutan pertemuan resmi dimulai.

Yuki mengangguk, “Aku telah menyebar video Vasily saat dilemparkan dari helikopter ke perkumpulan para pembunuh bayaran, Togar yang memberikan video itu. Sepertinya itu berhasil membuat ciut banyak pembunuh bayaran profesional di luar sana. Tidak ada yang berani mengambil kontrak dari Master Dragon—bahkan tidak meskipun harganya telah dinaikkan dua kali lipat. Video itu memang horor sekali, Bujang. Saat Vasily ditendang keluar helikopter, dia yang terkencing-kencing…. Hanya saja, kami barusan mendapatkan informasi penting, Yurii Kharlistov meninggalkan kotanya Kiev, enam jam lalu.”

“Siapa Yurii Kharlistov?” Aku bertanya.

“Perakit bom ternama dunia.” Kiko menjawab, dia mengetuk gadget-nya, menyerahkannya kepadaku. Nampak foto Seseorang dengan usia mungkin enam puluh tahun, berkaca-mata, tampilannya lebih mirip seperti seorang akademisi dibanding apa yang Kiko bilang tadi, perakit bom?

“Jangan keliru melihat penampilannya, Bujang. Dia adalah yang terbaik di planet bumi. Baginya merakit bom seperti membuat pesawat terbang atau kapal-kapalan dari kertas. Mudah. Sederhana. Putra dari perakit bom ternama di jaman perang dunia kedua Yurri Gargarnov. Sejak kecil dia sudah dibiasakan bermain-main bom, sama seperti anak-anak bermain mobil-mobilan. Dia bisa menciptakan bom hanya dari benda-benda di sekitarnya, unbelievable. Dan amat mematikan, bom-nya tidak perlu besar untuk menghabisi sasaran secara efektif. Tiga bulan lalu, tewasnya salah-satu hakim Mahkamah Agung Jerman diduga adalah pekerjaannya. Hakim itu tewas karena bom yang terbuat dari manset dasi. Yurii Kharlistov adalah master perakit bom. Memiliki dua gelar doktor dari institut teknik terkemuka dunia, pernah bekerja di NKVD, bekas agen rahasia Uni Soviet.”

“Apakah orang ini menuju ke kota ini, Kiko?” Aku bertanya.

“Tidak, Bujang. Positif tidak ada manifest perjalanannya ke sini” Kiko menggeleng, “Tapi menurut informasi dari sumber terpercaya, Yurii menerima kontrak dari Master Dragon. Kami tidak tahu apa tugas kontrak tersebut, tapi itu pasti sesuatu yang penting.”

“Atau dia menggunakan rute lain? Perjalanan diam-diam?” Togar ikut bicara.

“Tidak. Penerbangan terakhirnya menuju Hong Kong, ke markas Master Dragon.”

“Perlintasan lewat laut, Kiko?”

Kiko mengangguk, “Kami telah dan akan terus memantau perlintasan laut. Aku memiliki informan di banyak pelabuhan, sekali Yurii menaiki sebuah kapal, kita akan tahu segera kemana tujuannya, siapa yang bersamanya.”

“Atau boleh jadi dia membantu Master Dragon menyiapkan pertahanan di Hong Kong. Khawatir Keluarga Tong menyerang balik, dia memperkuat pertahanan mereka.” Yuki memikirkan kemungkinan lain.

“Tentu saja. Bedebah itu pastilah takut sekarang. Sudah saatnya kita menyerang balik, Tauke Besar.” Togar mengepalkan tangannya, “Berikan perintah itu, aku akan mengirim seratus tukang pukul terbaik Keluarga Tong mendarat di pelabuhan Hong Kong, meluluhlantakkan gedung markas mereka.”

Salonga tertawa pelan, menggeleng, “Aku selalu menghormati keberanianmu, Togar. Juga keberanian tukang pukul anak buahmu. Tapi itu sia-sia, kalian hanya akan bunuh diri.”

“Kenapa tidak, Tuan Salonga. Jika masih kurang, aku akan mengirim empat ratus tukang pukul ke sana! Serangan besar, seluruh tukang pukul berangkat.”

“Jika semua tukang pukul berangkat, lantas siapa yang akan menjaga bisnis Keluarga Tong di negara ini, Togar? Pertahananmu terbuka, kamu sama saja membukakan pintu lebar-lebar, musuh dengan mudah mengambil-alih semuanya.”

“Eh—” Togar mengusap wajahnya. Dia tidak berpikir sejauh itu—Togar sama seperti Kopong dulu. Dia adalah kepala tukang pukul yang hebat, tapi bukan pemikir terbaik. Dalam sejarah Keluarga Tong, Basyir adalah kepala tukang pukul yang paling lengkap soal strategi perang dan paling hebat berkelahi—sayangnya Basyir mengkhianati Tauke Besar.

“Tapi kita tidak akan diam saja sementara si bedebah Master Dragon terus menyerang, Tuan Salonga. Menyerang adalah strategi bertahan terbaik, bukan?” Payong ikut bersuara—dia jelas mendukung ide Togar.

“Aku tidak bilang kita akan diam saja, Nak.” Salonga melambaikan tangan, “Tapi menurut hemat orang tua ini, jika Keluarga Tong ingin berperang secara terbuka dengan Master Dragon, saatnya Bujang mencari sekutu serius. Master Dragon adalah keluarga terkuat dari delapan penguasa shadow economy, bisnisnya menggurita di Asia Pasifik, dan pemimpin negara-negara besar dalam genggamannya. Dia punya ribuan tukang pukul di Hong Kong dan tambahkan belasan ribu lagi di seluruh daratan China.

“Catat baik-baik, Keluarga Wong, penguasa shadow econmy di Beijing adalah besan Master Dragon, jadi jelas Wong akan mendukung Hong Kong. Menyerang Hong Kong tidak akan mudah, tambahkan Keluarga Lin di Makau, El Pacho di Meksiko mendukungnya terang-terangan—walaupun dua keluarga tersebut secara internal sedang memiliki masalah masing-masing. Master Dragon tetap memiliki tiga sekutu, dia dalam posisi lebih kuat dibanding Keluarga Tong. Kegagalan Vasily hanya membuatnya semakin marah. Kita tidak tahu gerakan pion apa yang akan dia lakukan beberapa hari ke depan. Usianya memang sudah delapan puluh, tapi Master Dragon adalah ahli strategi. Dia masih segarang saat usianya separuhnya, empat puluh tahun,”

“Nah, peta peperangan akan berubah jika Keluarga Tong bersekutu dengan dua keluarga penguasa shadow economy lain. Yamaguchi di Jepang akan mendukung kalian, karena mereka sejak lama tidak suka dengan Master Dragon, mereka lebih dekat dengan Tauke Besar lama. Satu lagi, Krestniy Otets, pimpinan Bratva, brotherhood Rusia. Tidak mudah mengambil hati, tapi jika Bujang bisa membujuknya dengan tepat, menawarkan sesuatu yang dia incar selama ini, dia akan bersedia bersekutu dengan Keluarga Tong. Tiga keluarga bergabung, Bratva menyerang dari utara, Yamaguchi dari selatan, Keluarga Tong menyerang langsung jantung Hong Kong—itu maunya Togar, hanya soal waktu Master Dragon tumbang.”

“Bagaimana dengan Keluarga J.J. Costello di Florida, Tuang Salonga?” Togar menyebut satu lagi dari delapan keluarga penguasa shadow econmy.

“Mereka tidak akan berperang, Togar.” Salonga menggeleng, “Mereka tidak peduli dengan keluarga lain, mereka hanya fokus dengan bisnis di kawasan mereka. Setiap kali terjadi perebutan pimpinan shadow economy, Costello mengambil posisi netral. Mereka lebih tertarik berekspansi ke Eropa, Australia dan dan Afrika, bukan Asia Pasifik. Kuncinya ada di Yamaguchi dan Bratva. Segera temui mereka, Bujang, resmikan aliansi Keluarga Tong, kalian bisa membuat Master Dragon berpikir dua kali sebelum meneruskan peperangan.”

Ruangan lengang sejenak.

Satu-dua tukang pukul senior mengangguk takjim. Mengaminkan saran Salonga.

Aku mematut-matut sebentar. Aku juga telah lama memikirkan saran Salonga. Itu bisa jadi solusi: membentuk aliansi.

“Baik, Salonga. Besok pagi-pagi aku akan menghadiri pernikahan putri bungsu Yamaguchi di Tokyo, itu bisa menjadi kesempatan emas bicara dengannya. Dia mengundang Keluarga Tong dalam acara keluarga, itu jelas menunjukkan posisinya. Kamu akan menemaniku menemui Yamaguchi. Sementara Yuki, Kiko, teruskan pekerjaan kalian, pastikan tidak ada yang terlewatkan, pantau terus si pembuat bom itu, aku tidak mau dia diam-diam menyuruh delivery pizza meletakkan kotak pizza berisi bom di salah-satu gedung milik kita. Togar, tetap fokus pada pertahanan Keluarga Tong, periksa lagi, lagi dan lagi semua sistem dan prosedur keamanan. Payong, menjaga markas ini, jangan pernah meninggalkannya. Sementara Parwez, pastikan bisnis Keluarga Tong berjalan sebagaimana mestinya, business as usual. Jika ada sesuatu yang mencurigakan, segera informasikan kepada Togar, dan Togar akan mengabarkannya kepadaku jika situasi itu memang penting dan mendesak.”

Peserta rapat mengangguk.

“Pertemuan selesai. Kembali ke pos masing-masing.” Aku membubarkan pertemuan.

“Pronto, Tauke Besar.”

Peserta rapat beranjak berdiri, membungkuk memberikan salam hormat.

Aku ikut berdiri, kemudian melangkah keluar lebih dulu diikuti oleh Salonga, melewati bingkai pintu, berjalan di lorong panjang, menuju anak tangga.

“Apakah kamu baik-baik saja, Bujang?” Salonga bertanya, dia berjalan di sampingku.

Aku mengangguk. Aku baik-baik saja. Fisikku prima, jika itu pertanyaan Salonga.

“Maksudku bukan fisikmu, Bujang.” Salonga bisa membaca ekspresi wajahku, “Tapi jiwamu. Apakah ada yang mengganggu pikiranmu setelah kematian remaja itu? Dan setelah pembalasan kepada Vasily?”

Aku menggeleng. Tidak ada.

“Baiklah jika demikian. Kita bisa fokus ke perjalanan besok pagi. Jangan khawatir perakit bom itu, aku bertaruh dia tidak akan berani menginjakkan kaki ke negeri ini. Video kematian Vasily telah menakuti seluruh pembunuh bayaran.”

Aku mengangguk. Menuruni anak tangga pualam. Ada belasan guci terpajang rapi di sisi anak tangga dengan motif naga dan burung phoenix—guci-guci antik dan bernilai tinggi dari jaman Dinasti Han.

“By the way, Bujang, sudah lama sekali aku tidak menghadiri resepsi pernikahan. Tolong suruh staf rumah tangga Keluarga Tong menyiapkan satu stel jas rapi dan sepatu yang pantas. Aku tidak mungkin ke sana dengan kaos oblong dan sandal jepit, bukan? Aku tidak mau terlihat malu-maluin di acara tersebut, nanti mereka malah menyangkaku pelayan yang membawa baki minuman.”

Aku tertawa kecil, mengangguk.

“Aku juga perlu menyiapkan hadiah atau angpau, bukan? Tolong suruh staf Parwez menyiapkan cek empat puluh atau lima puluh ribu dollar, memasukkannya dalam angpau. Siapa nama anak Yamaguchi yang akan menikah besok? Agar aku bisa menulis namanya di angpau tersebut.” Salonga memasang topinya, bertanya santai.

“Raisa Sakura.” Aku menjawab pendek.

“Raisa Sakura? Well yeah, baiklah, jika demikian, besok kita akan pergi kondangan ke pernikahan Raisa. Itu bisa jadi refreshing sejenak.” Salonga memasukkan kedua tangannya di saku celana, berjalan di sampingku, menuju mobil yang telah menunggu.


Aku ikut mengangguk tipis. Malam ini, kami akan bermalam di tempat lain—secara acak, agar tidak ada yang tahu Tauke Besar Keluarga Tong tinggal. 
___________________

bersambung ke Bab 14

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bab 5. Aplikasi Keluarga Tong

Bab 10. Ingin Menjadi Seperti Si Babi Hutan