Bab 8. Mamak Tahu



“Apakah Bapak pernah menikah sebelum dia pulang dan menikah dengan Mamak?”

Aku langsung ke inti pertanyaan—tidak ada gunanya basa-basi pengantar lagi. Toh, inilah tujuanku datang ke perkampungan nelayan ini.

Tuanku Imam terdiam di ujung kalimatku, tangannya yang sedang menuangkan wedang jahe dari kendi tanah ke gelas kaleng terhenti, dia menatapku lamat-lamat.

Ruangan kantor sekolah mendadak lengang, menyisakan asap mengepul wedang jahe.

“Bagaimana kamu tahu itu, Agam?” Akhirnya Tuanku Imam bicara, meletakkan kendi.

“Aku tahu…. Tidak penting bagaimana caranya.” Aku menjawab dengan intonasi berubah—secara tidak langsung, Tuanku Imam sudah mengonfirmasi pertanyaanku. Jawabannya adalah “iya”. Bapak memang pernah menikah.

Tuanku Imam memperbaiki sorbannya, juga posisi duduknya.

Dari kursinya, Salonga memperhatikan seksama percakapan. Aku sengaja berbicara dengan bahasa Inggris, agar Salonga bisa ikut mengerti.

“Ya Rabbi,” Tuanku Imam menghela nafas perlahan, “Aku pikir itu akan menjadi catatan hidup Samad yang terlupakan. Seperti buku tua, diletakkan di dalam peti, berdebu, terlupakan, tidak ada lagi yang mengingatnya. Tapi hari ini…. Buku tua itu kembali dijenguk—”

“Kenapa Tuanku Imam tidak pernah memberitahuku soal itu?” Aku memotong.

“Pertama karena kamu tidak pernah bertanya, Agam. Dan yang lebih penting lagi, biarlah itu menjadi masa lalu. Tidak semua harus kita ketahui. Tidak semua—”

“Tapi informasi sepenting itu aku berhak tahu.” Aku memotong lagi.

Tuanku Imam mengangguk.

“Boleh jadi iya, tapi boleh jadi tidak, Agam. Karena kalaupun kamu tahu, lantas buat apa informasi itu. Pernikahan pertama Samad sama seperti pernikahan pertama Midah, Mamak-mu. Kita semua tahu sama tahu, setelah belajar ilmu agama di surau Tuanku Imam ayahku, di usia dua puluh tahun, Samad datang melamar Midah, lamarannya ditolak mentah-mentah oleh keluarga. Samad patah-hati, dia pergi ke ibukota provinsi, lima belas tahun, apapun mungkin terjadi di sana, termasuk dia menikah dengan wanita lain. Sementara Midah di perkampungan sekolah agama juga akhirnya menerima perjodohan dengan orang lain, jodoh pilihan Ayahku, meski itu tidak bertahan lama, hanya enam bulan, mereka bercerai baik-baik tanpa anak. Kamu tidak pernah bertanya tentang pernikahan pertama Mamak-mu, Agam, tidak ingin tahu siapa laki-laki yang menjadi suami pertamanya, jadi aku tidak merasa perlu menjelaskan kepadamu tentang pernikahan pertama Samad. Itu hanya pernikahan, masa lalu, sudah selesai, bukan hal besar, Agam.”

“Ini berbeda dengan pernikahan pertama Mamak, Tuanku Imam…. Ini menjadi hal besar sekarang.” Aku menggeleng, menyisir rambut dengan jemari, “Karena Bapak punya anak laki-laki di pernikahan pertamanya.”

Wajah Tuanku Imam berubah—seketika. Dia terkejut.

“Kamu tidak bergurau, Agam?”

Aku menggeleng, aku tidak akan datang jauh-jauh bertanya hal ini jika aku sedang bergurau.

“Samad punya anak lain?” Tuanku Imam menghela nafas.

“Dua puluh enam jam lalu, Bujang bersamaku dan beberapa teman menyelesaikan misi di Meksiko, Po Imam. Ada seseorang mengenakan topeng datang di lokasi misi, hebat sekali anak itu, mengacaukan misi, bahkan mengalahkan Bujang dalam pertarungan tangan kosong. Yang lebih mengejutkan, anak itu mengenal Bujang, menyebut nama aslinya. Sedikit sekali orang di dunia ini yang tahu nama asli Bujang, boleh jadi dia telah menyelidiki serius tentang Keluarga Tong, atau kemungkinan berikutnya, dia memang punya hubungan darah dan tahu soal itu. Anak itu usianya tak terpaut jauh dengan Bujang, paling hanya berbeda dua-tiga tahun, postur tubuhnya sama, tatapan mata, gesture wajah—meski wajahnya tertutup topeng aku bisa menilainya. Sebelum pergi, dia memanggil Bujang dengan sebutan hermanito, dalam bahasa Spanyol, itu artinya adik laki-laki. Itulah kenapa Bujang datang sore ini, Po Imam. Dia hendak bertanya soal itu.” Salonga menjelaskan dengan kalimat lebih baik.

“Meksiko?”

Salonga mengangguk.

“Anak laki-laki, berbeda dua-tiga tahun dari Agam?”

Salonga mengangguk lagi.

Tuanku Imam mengusap wajahnya.

“Aku benar-benar tidak tahu jika Samad punya anak laki-laki dengan istri pertamanya, Tuan Salonga. Aku hanya tahu dia memang pernah menikah. Samad menceritakan perkara itu dalam satu-dua kesempatan saat bertemu denganku. Menurut ceritanya, gadis itu dia temui saat Tauke Besar sering menyuruhnya ke Singapura. Meksiko…. Iya, gadis itu berbahasa Spanyol, sama seperti negara Meksiko. Tapi hanya itu yang aku tahu. Mereka menikah setahun sebelum Samad lumpuh. Itu masa jaya-jayanya Tauke Besar, juga masa jaya-jayanya Samad. Menurut Samad, mereka tidak punya anak di pernikahan tersebut. Seminggu setelah penyerangan di markas Keluarga Tong, sebelum Samad pulang ke perkampungan sekolah agama, mereka berpisah baik-baik, bercerai baik-baik.”

Aku menggeleng. Itu tidak benar. Aku tidak yakin Bapak berpisah baik-baik dengan istri pertamanya. Fakta bahwa Bapak bilang dia tidak punya anak kepada Tuanku Imam menjelaskan hal tersebut—

“Itu mungkin sulit dipercaya, Agam.” Tuanku Imam menatapku, “Tapi aku bisa memastikan Samad sendiri yang bilang dia memang tidak punya anak atas pernikahan tersebut.”

“Dia berbohong.” Aku berkata pelan.

“Samad bukan seorang pembohong, Agam.” Tuanku Imam meluruskan.

“Apa susahnya? Dia bandit besar, berbohong mudah saja baginya.”

“Tidak, Bujang.” Salonga kali ini yang menimpali, “Bapakmu memang bandit besar, tapi dia tidak berbohong, dan lebih dari itu, setahuku dia tidak mempermainkan perasaan perempuan.”

“Lantas bagaimana dia bisa bilang dia tidak punya anak di pernikahan pertamanya, Salonga? Jelas-jelas dia punya anak laki-laki. Dia mengingkarinya, bukan?” Aku berseru.

“Kita belum bisa memastikan itu, Bujang. Orang bertopeng itu belum tentu anak Samad—meski aku sendiri meyakini itu memang anaknya Samad.” Salonga menggeleng, “Tapi semua pasti ada penjelasan baiknya. Kita hanya belum tahu kenapa Samad mengingkari anaknya. Samad adalah Samad. Hidupnya rumit. Kisah cintanya juga rumit. Bukankah kamu sendiri yang bilang soal itu. Lagipula pernikahan, urusan perasaan, cinta, kebencian, itu semua tidak sesederhana yang dilihat. Kadangkala tidak bisa dijelaskan, kadangkala dipenuhi kesalah-pahaman, kadangkala dipenuhi kesedihan dan kemalangan.”

Aku mendengus pelan. Untuk seseorang yang pernah menjadi pembunuh bayaran paling top seluruh Asia Pasifik, Salonga lebih mirip seperti seorang motivator picisan sekarang. Membahas tentang nasihat lama, wisdom cinta dan omong-kosong itu, padahal dia sendiri tidak pernah menikah seumur hidupnya. Atau sok tahu menasihati tentang keluarga, sementara masalah keluarga dia sendiri tidak bisa dia urus—Salonga juga berasal dari keluarga berantakan. Aku diam, menatap kendi tanah yang moncongnya mengeluarkan asap. Dari tadi, tidak ada yang menyentuh gelas-gelas kaleng, membiarkan wedang jahe perlahan dingin.

“Apakah kalian tidak bisa menemui orang bertopeng itu lagi, Tuang Salonga? Bertanya langsung secara baik-baik dengannya? Untuk meluruskan urusan ini.” Tuanku Imam bertanya.

Aku menepuk meja kayu pelan, itu tidak mungkin.

“Itu tidak bisa dilakukan dengan mudah, Po Imam.” Salonga kembali menjelaskan dengan lebih baik, “Anak itu boleh jadi bergabung dengan keluarga shadow economy musuh Keluarga Tong, atau dia adalah tukang pukul bayaran kelas dunia, atau kemungkinan buruk lainnya, dia memiliki agenda dan kepentingan tersendiri yang kita tidak tahu. Aku khawatir, bertemu kembali dengannya boleh jadi itu berarti situasi hidup-mati berikutnya. Apalagi dia membawa pergi benda berharga milik Keluarga Tong. Dan perlu aku tambahkan, situasi sekarang juga serius. Hubungan antara delapan keluarga penguasa shadow economy sedang mengalami krisis, Po Imam. Master Dragon, penguasa di Hong Kong telah melancarkan serangan ke Keluarga Tong. Perang telah meletus.”

“Perang?” Tuanku Imam tertegun.

Salonga mengangguk, “Lebih besar dibanding sebelumnya.”

“Jika demikian, rumit adanya Tuan Salonga.”

Aku masih diam, menatap gelas kaleng.

“Atau begini saja, apalagi yang Tuanku Imam ketahui tentang pernikahan itu? Siapa nama wanita itu? Siapa keluarganya. Dulu sebelum menikah dengan Samad tinggal di mana persisnya di Singapura?” Salonga menambahkan. Maksudnya, dari informasi tersebut, boleh jadi kami bisa menelusuri catatan lama.

“Sayangnya, hanya itu yang aku ketahui Tuan Salonga. Aku hanya mendengar cerita dari Samad, dan aku tidak bertanya lebih detail. Bahkan aku tidak tahu nama wanita itu.”

“Atau adakah orang lain yang tahu tentang hal tersebut? Tempat Bujang bertanya.”

Tuanku Imam diam sejenak.

Menggeleng, “Tidak ada lagi yang tahu soal itu, Tuan Salonga. Tauke Besar, Kopong, semua telah meninggal.”

“Atau tempat yang menyimpan kesaksian lama? Rumah yang bisa ditelusuri kembali? Apapun itu, Po Imam. Sekecil apapun informasinya, mungkin berguna.”

Tuanku Imam berusaha mengingat-ingat.


“Boleh jadi masih ada, Tuan Salonga.”

“Ah!” Salonga berseru riang.

“Samad pernah bercerita jika dia punya rumah di pinggiran Ibukota Provinsi. Rumah menghadap sungai berbatu, berlatarkan pegunungan berkabut. Aku tahu, rumah dan markas Keluarga Tong di ibukota Provinsi sudah banyak yang dirubuhkan diganti bangunan lebih besar dan megah, tapi yang satu itu, boleh jadi masih berdiri. Samad pernah menjadikan rumah itu sebagai tempat tinggalnya tahun-tahun terakhir sebelum kakinya lumpuh. Aku punya alamat rumah tersebut, bisa kuberikan kepada kalian.”

Aku mendongak—itu informasi yang menarik.

“Napakahusay, bagus sekali, Po Imam.” Salonga mengangguk senang, “Tempat itu mungkin menyimpan cerita masa lalu. Menjadi saksi kisah cinta seorang Don Samad. Bagaimana Bujang? Apa yang kita lakukan sekarang?”

Aku beranjak berdiri. Kami harus mendatangi tempat itu. Pronto.

***

Setelah menyerahkan alamat rumah itu, Tuanku Imam mengantar kami hingga halaman sekolah.

Sekolah agama itu nampak hidup pukul sembilan malam. Santri masih sibuk beraktivitas, masih ada kajian-kajian malam, juga membaca buku secara mandiri, mengerjakan tugas, atau berkumpul, berdiskusi. Beberapa santri melintas di halaman, membawa buku tebal, memakai sarung, mereka menyapa kami ramah. Lampu di menara masjid terlihat kerlap-kerlip.

“Maraming salamat, Po Imam.” Salonga menyalami Tuanku Imam, berpamitan, “Besok-besok jika ada kesempatan aku akan berkunjung kembali. Ikan bakar itu, adalah target serius yang harus kudapatkan.”

Tuanku Imam tertawa—hingga terlihat giginya.

“Sekolah ini mengingatkanku pada seminari di Filipina, Po Imam. Damai. Tenang. Percaya atau tidak, aku pernah enam bulan bersekolah di seminari. Tapi pistol memanggilku lebih kencang dibanding kitab suci. Sampai bertemu lagi.” Salonga menaiki mobil.

“Paalam, Tuan Salonga.” Tuanku Imam melambaikan tangan.

Aku sudah naik ke mobil jeep, sudah menekan pedal gas, mobil telah melaju dua meter, saat aku teringat sesuatu, memutuskan menginjak rem, menetralkan persneling, turun lagi.

“Hei, Bujang? Ada apa?” Kali ini Salonga tidak bisa menebak apa yang akan kulakukan.

Aku kembali menemui Tuanku Imam yang masih berdiri di sana, langkah di depannya.

Masih ada satu pertanyaan yang hendak kusampaikan.

“Apakah,” Aku menelan ludah, “Apakah Mamak tahu jika Bapak pernah menikah di ibukota provinsi?”

Tuanku Imam tersenyum, mengangguk, “Tentu saja. Midah tahu. Samad sendiri yang memberitahunya sebelum mereka menikah lagi.”

Aku terdiam. Menyeka pelipis—jawaban itu membuatku sedikit lega.

“Aku tahu, fakta baru ini membuatmu menyemai bibit benci baru kepada Samad, Agam. Tapi jangan teruskan, jangan pernah kamu siram kecambah kebencian itu, Nak. Ketahuilah, dalam urusan yang satu ini, Samad selalu terus-terang kepada Midah. Baginya, Mamak-mu adalah cinta pertama dan terakhirnya. Dia tidak menyimpan satu pun rahasia kepada Midah.”

Angin malam bertiup pelan, menerpa wajah.

“Orang tua ini minta maaf tidak pernah bilang soal itu, Agam. Aku pikir itu tidak penting, karena aku sungguh tidak tahu jika Samad pernah punya anak laki-laki sebelumnya. Semoga kamu menemukan penjelasan terbaiknya. Semoga kamu bisa bertemu kembali dengan kakakmu, mengenal Ibu tiri-mu, dan kalian bisa akur satu sama lain. Jika Samad, Midah dan Ibu tirimu masih hidup, mereka bisa menatap bahagia anak-anaknya yang telah tumbuh besar, setelah perjalanan kehidupan mereka yang berliku dan menyakitkan.”

Aku mengangguk, balik kanan, kembali naik mobil Jeep.

Mobil segera meninggalkan perkampungan nelayan. Melaju cepat di jalanan lengang.


Tuanku Imam benar, aku kembali menyemai kebencian baru. Tapi setidaknya, ada satu hal yang membuatku lega. Mamak tahu jika Bapak pernah menikah sebelumnya.
____________________

bersambung ke Bab 9

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bab 5. Aplikasi Keluarga Tong

Bab 10. Ingin Menjadi Seperti Si Babi Hutan

Bab 13. Kondangan Raisa